Pengawai Negeri Sipil atau PNS dalam kacamata masyarakat luas memiliki stigma tak bagus lantaran kurang produktif, kurang kompeten dan malas bekerja meskipun berbagai upaya dan wacana dilakukan untuk mendongkrak kinerja para PNS semisal perampingan struktur birokrasi, sistem pensiun diperpendek, penggunaan sistem daring dalam pekerjaan sesuai tupoksinya dan lain sebagainya.
Anggapan miring tersebut sepertinya perlu dicermati agar nantinya profesi tersebut tidak selalu menjadi kambing hitam buruknya layanan publik di Indonesia.
PNS adalah pegawai yang bekerja di organisasi sektor publik. Organisasi sektor publik sendiri dibedakan menjadi sektor layanan dasar dan sektor layanan profit dalam hal ini BUMN atau BUMD.
Adapun layanan dasar dibedakan layanan sosial, kesehatan, pendidikan, tenaga kerja. Keberhasilan layanan dasar tersebut dinilai bukan berdasarkan produktifitas melainkan efektifitas. Efektifitas ini menjadi acuan ketika layanan dasar tersebut mampu dinikmati atau tepat sasaran dan memiliki impact secara sosial.
Artinya layanan dasar diperuntukkan untuk meng-cover kebutuhan dasar masyarakat meskipun organisasi berpotensi merugi. Dalam hal ini layanan dasar langsung seperti kesehatan dan pendidikan memberikan subsidi bagi masyarakat kelas bawah dan layanan tersebut dapat bekerja secara efektif jika tepat sasaran dan memiliki impact.
Ada juga layanan yang sifatnya mengurusi administrasi semisal izin usaha, izin mendirikan bangunan, dan izin lainnya yang berkaitan dengan geliat ekonomi. Para PNS yang berkerja di layanan usaha ini juga dituntut efektif dalam memberikan layanan prima katakanlah hingga 24 jam.
Sedangkan PNS yang bekerja untuk organisasi seperti BUMN atau BUMD merupakan pegawai yang bertugas mengelola kekayaan sumberdaya alam baik yang dapat diperbarui maupun yang tidak dapat diperbarui.
Badan usaha milik negara ini dituntut produkfif (berorientasi profit) karena dana yang didapat untuk kelangsungan hidup badan usaha. Namun badan usaha negara ini juga berperan dalam distribusi pendapatan dan kesejahteraan untuk masyarakat secara luas. Dengan contoh yang diuraikan, perlu dipertanyakan lagi PNS yang seperti apa yang tidak produktif?
Terminologi produktif sangatlah tidak tepat bila disematkan pada PNS atau ASN karena label yang melekat pada PNS yaitu service atau layanan. Produktif merujuk pada arti bertambah dalam hal ini bisa penghasilan, bisa kuantitas kerja yang dicapai, bisa profit yang didapat.
Oleh karena itu sering kita dengan kalimat usia produktif yang mana pada usia tertentu seseorang mampu menghasilkan pendapatan, menyelesaikan pekerjaan bahkan keuntungan dari setiap aktivitasnya. Jika produktif disematkan pada services maka yang terjadi adalah klasterisasi pada layanan dasar vital seperti kesehatan (BPJS).
Dalam contoh kasus ini, orang miskin justru mengantri berhari-hari untuk mendapatkan layanan langsung karena mereka berada di kelas III. Padahal layanan dasar ini tidak memandang fisik, harta, jabatan. Kecuali Rumah sakit swasta yang murni mengandalkan kemampuan orang berpenghasilan tinggi.
Jika ditelusuri lebih jauh lagi, keberadaan pemerintah pusat dan pemerintah daerah telah menjadi keharusan era demokrasi sehingga dibagilah kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Pemerintah daerah disini sering disebut street bureucracy level dengan dinas sebagai pelaksana kebijakan untuk diteruskan di masyarakat. Sementara pemerintah pusat berperan sebagai perumus dan koordinator kebijakan dengan mempertimbangkan kondisi local level. Sehingga PNS yang dicap tidak produktif yang mana?. Kita jangan terjebak pada pandangan deterministik yang menganggap satu untuk semua. Pandangan seperti ini sangat rawan untuk dipoles demi kepentingan-kepentingan tertentu.
Layanan publik yang melekat pada PNS telah diungkapkan oleh Perry dan Wise (1990) bahwa seseorang yang bekerja di sektor publik memiliki motivasi yaitu tertarik pada pembuatan kebijakan publik, komitmen terhadap kewajiban sebagai warga negara, sikap empati dan sikap rela berkorban.
Dengan mempertimbangkan motivasi tersebut akan sangat bertentangan dengan perilaku produktif. Sehingga perlu diluruskan bahwa produktifitas PNS dapat dilihat dari dimana organisasi PNS tersebut bekerja (pusat atau daerah), PNS tersebut sebagai kepala atau staf, sifat layanan dasarnya sebagai apa (kesehatan, pendidikan, sosial) serta motivasi apa yang mendorong sebagai PNS.
Jika yang dipermasalahkan terkait perilaku sebagai seorang PNS masih dapat dimungkinkan untuk dikoreksi secara bersama-sama. Perilaku ini menjadi indentitas PNS di masyarakat karena bagaimanapun juga PNS merupakan abdi negara dan orang yang paling pertama membela kepentingan negera daripada kepentingan pribadi dan golongan.
Karena kode etik sebagai PNS harus diterapkan dimanapun berada dan menjadi contoh yang baik di masyarakat. Kode etik ini menjadi patokan seorang PNS dalam bekerja dan melayani masyarakat. Selain kode etik, sistem akuntabilitas juga menjadi kewajiban PNS dalam menjalankan kewajibannya baik akuntabilitas secara tertulis (laporan) maupun tidak tertulis (etika birokrasi dan etika sosial).