Bagaimana peran agama dan sains dalam pandemi covid-19? Bisakah memasangkan kedua elemen ini dalam memberi slusi sosial di saat pandemi?
Terhitung hampir 9 bulan Indonesia dilanda pandemi virus SARS-CoV-2 atau orang awam lebih mengenalnya dengan virus Corona atau covid-19 yang pertama kali dikonfirmasi oleh Jokowi pada 2 Maret lalu. Wabah ini pertama kali ditemukan di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China.
Salah satu surat kabar China mengungkapkan kasus pertama muncul pada pertengahan November 2019 tetapi dokter di China baru menyadari bahwa itu adalah virus baru pada akhir Desember 2019. Rumor beredar bahwa virus ini pertama kali ditemukan di pasar hewan di kota Wuhan, tetapi beberapa ilmuwan berpendapat bahwa virus ini diimpor dari tempat lain dan dibawa ke pasar Wuhan.
Tak berselang lama virus ini mulai menyebar hampir di seluruh wilayah China dan menyebar secara global. Lebih dari 200 negara termasuk Indonesia terdampak covid-19 dan terhitung pada tanggal 8 November hampir 50 juta kasus yang terkonfirmasi secara global dan lebih dari 1,2 juta orang meninggal akibat virus berbahaya ini. Dampak dari pandemi ini tidak main-main, mulai dari aspek kesehatan, ekonomi, bahkan sosial-budaya.
Karena susahnya mengendalikan penyebaran dari virus SARS-CoV-2 ini, maka banyak negara berinisiatif untuk mengubah tatanan sosial masyarakat, salah satu contohnya adalah penerapan jaga jarak atau social distancing dengan membatasi interaksi antara dua atau lebih orang di tempat umum. Selain itu, banyak negara yang melakukan Lockdown atau sistem pembatasan skala besar untuk mencegah perpindahan orang khususnya pada jalur dan akses transportasi di satu wilayah tertentu.
Kemunculan virus baru ini menimbulkan silang pendapat berbagai kalangan baik kalangan tokoh agama, ilmuwan, bahkan masyarakat awam. Sebagian orang berpendapat bahwa virus ini adalah virus baru yang berasal dari kelelawar, sebagian berpendapat bahwa virus ini muncul karena kesalahan pada laboratorium biologi yang ada di Wuhan, dan sebagian orang berpendapat bahwa virus ini adalah tentara Tuhan yang muncul untuk memperingatkan umat manusia.
Seorang ahli virologi bernama Dr. Li-Meng Yan percaya bahwa virus Corona berawal dari laboratorium di Wuhan dan bukan berasal dari pasar seperti yang dipercaya banyak orang. Ia juga mengklaim mempunyai bukti ilmiah terhadap argumen tersebut.
Dalam makalah ilmiah berjudul ‘Unusual Features of the SARS-CoV-2 Genome Suggesting Sophisticated Laboratory Modification Rather Than Natural Evolution and Delineation of Its Probable Synthetic Route’ Dr. Yan menulis bahwa virus SARS-CoV-2 dibuat dalam waktu 6 bulan di laboratorium dan menurutnya karakteristik dari virus ini berbeda dengan virus yang berpindah dari hewan ke manusia pada umumnya. Namun, klaim dari Dr. Yan banyak mendapat kritik dari para ilmuwan lain dan menyebut bahwa klaim tersebut tidak berdasar dan penelitiannya masih sangat lemah.
Berbeda halnya dengan ilmuwan, beberapa tokoh agama berpendapat bahwa kemunculan virus Corona adalah sebuah peringatan dari Tuhan. Pemuka agama lain mengklaim bahwa virus Corona adalah kiriman dari malaikat maut untuk membersihkan bumi dari para pendosa. Para tokoh lain juga berpendapat bahwa masa pandemi adalah waktu yang terbaik untuk mendekatkan diri kepada Tuhan YME.
Dengan teknologi yang melesat maju, beberapa ilmuwan dengan percaya diri menyombongkan hasil karya mereka dan mengaku memberi sumbangsih besar terhadap teknologi dan pengetahuan. Dengan teknologi ini mereka dapat meringankan pekerja medis, menciptakan alat bantu pernafasan, menemukan obat dan lain sebagainya. Asumsi seperti ini memojokkan agama yang seakan-akan tidak berkontribusi secara langsung dalam memberantas virus SARS-CoV-2 ini.
Menurut Ulil Abshar Abdalla seorang tokoh islam liberal Indonesia yang terkenal mengklaim bahwa asumsi tentang sains telah mengalahkan agama ini jelas salah, seolah-olah berasumsi bahwa tindakan beriman berarti meninggalkan sains.
Silang pendapat antara ilmuwan dengan tokoh agama seakan mengisyaratkan adanya tembok besar yang menghalangi keduanya, seakan agama adalah musuh bebuyutan dari sains. Dalam buku berjudul ‘Sains “Religius” Agama “Saintifik”’, Ulil menyebutkan sekurang-kurangnya ada 4 model hubungan antara sains dan agama yaitu ada konflik, independensi, dialog, dan integrasi.
Menurut pria yang kerap disapa Gus Ulil ini tidak seharusnya agama dan sains dibenturkan, karena model hubungan konflik antara agama dan sains sebenarnya khas dari Eropa Barat yang memiliki trauma terhadap agama. Salah satu alasannya adalah karena dulu gereja bekerja sama dengan raja-raja, negara dan politik yang mempraktikan agama yang kejam terhadap sains.
Umat Islam tidak berhubungan dengan ini karena tidak memiliki trauma terhadap agama seperti orang-orang Barat. Namun sayangnya, saat ini orang-orang Barat mengungguli di segala aspek kehidupan seperti ekonomi, teknologi, bahkan sains itu sendiri. Hal ini dapat berpengaruh terhadap orang banyak mengenai penilaian orang Eropa Barat terhadap agama. Maka dari itu, seperti yang dikatakan Al-Ghazali dalam kitab Al-Munqidz min al-Dhalal bahwa orang-orang yang belajar sains harus berhati-hati agar tidak menerima dengan mudah apapun yang dikatakan para saintis, termasuk dalam hal teologi.
Pandemi ini tidak hanya berimbas ke satu golongan saja tetapi ke semua orang. Bila tidak mematuhi protokol kesehatan maka virus ini akan menyerang dengan mudah. Menurut Gus Ulil hal tersebut karena hukum Allah bersifat objektif yang berarti tidak membeda-bedakan muslim dan non-muslim. Untuk itu penting bagi umat dalam beragama secara intelek, karena agama khususnya Islam hadir dalam sejarah tidak hanya sebagai agama, tetapi juga sebagai peradaban ilmu.
Dalam agama khususnya islam, terdapat istilah silaturahmi yang bertujuan menjaga hubungan baik dengan orang lain. Di masa pandemi seperti saat ini kemungkinan bertemu dengan kerabat dan sahabat menjadi lebih sulit. Jadi, peran sains di sini adalah dengan memanfaatkan pengetahuan dan teknologinya yang dapat membantu manusia dapat berkomunikasi tanpa harus bertemu. Dari contoh tersebut menandakan bahwa ada kesinambungan antara agama dan sains. Untuk itu, tidak ada istilah agama dan sains itu bertolak belakang dan tidak dapat disatukan.
Cara yang paling tepat dalam menjalani kehidupan selama pandemi adalah dengan memperkuat iman karena iman adalah podasi manusia dalam percaya pada Tuhan, bahwa pasti ada hikmah dibalik penderitaan dan pasti ada jalan untuk mengatasinya. Selain beriman, umat manusia juga dapat meningkatkan kecintaan terhadap pengetahuan. Di sinilah sains bertugas untuk mencari solusi dari masalah tersebut.
Referensi:
Bagir, Haidar dan Ulil Abshar Abdalla. 2020. Sains “Religius” Agama “Saintifik”. Bandung: PT Mizan Pustaka.