Jumat, Mei 3, 2024

Benarkah Kita yang Menciptakan Tuhan?

Muhammad Nuruddin
Muhammad Nuruddin
Mahasiswa Dept. Akidah Filsafat, Universitas al-Azhar Kairo, Mesir | Alumnus Pondok Pesantren Babus Salam Tangerang | Peminat Kajian Sufisme, Filsafat dan Keislaman.

Beberapa hari yang lalu saya membaca salah satu cuitan di dunia maya yang bunyi terjemahannya kira-kira seperti ini:

Seseorang bertanya kepada saya: Apakah Anda percaya dengan keberadaan Tuhan? Saya jawab: Ya, saya sangat percaya. Sebelum kita ciptakan, Tuhan tidak ada. Sekarang dia ada.” Begitu kata dia.

Dengan begitu, menurutnya, Tuhan itu baru ada setelah kita ada. Sebelumnya dia tidak ada, dan kitalah yang menjadikannya ada. Tuhan tak lebih dari sekedar kreasi nalar umat manusia. Itulah inti dari gagasannya.

Apa yang dia sampaikan sejujurnya bukanlah hal yang baru dalam dunia percakapan seputar Tuhan. Boleh jadi keyakinan tersebut juga menggelayut di kepala Anda. Sebagai bentuk tanggapan, saya ingin mengajak Anda untuk berpikir secara rasional dalam menilai pernyataan itu. Jawaban saya bisa saya ringkas melalui empat poin sebagai berikut:

Pertama, Anda perhatikan barang yang ada di hadapan Anda sekarang. Katakanlah buku. Di hadapan Anda ada suatu barang yang bernama buku. Setelah itu Anda bayangkan gambaran tentang buku itu di kepala Anda. Ya, coba Anda lihat buku itu. Lalu bayangkan. Satu, dua, tiga. Sudah?

Kalau sudah, sekarang saya mau tanya: Bisa tidak Anda membedakan antara buku—sebagai sesuatu yang berwujud di luar diri Anda, dengan gambaran tentang buku yang menggelayut di kepala Anda? Kalau tidak bisa, Anda keterlaluan. Buku dan gambaran tentang buku itu jelas dua hal yang berbeda.

Apakah dengan contoh itu saya hendak mempersamakan Tuhan dengan buku? Tidak. Bukan itu yang saya maksud. Yang ingin saya katakan adalah: Akal yang sehat pasti akan bisa membedakan antara sesuatu dengan gambaran kita tentang sesuatu. Tidak perlu kita bertele-tele untuk memberikan penjelasan tentang hal itu.

Baik Anda ada atau tidak ada, buku itu ada di luar diri Anda. Tapi gambaran Anda tentang buku memang baru ada dengan adanya diri Anda. Orang yang mengutip pernyataan di atas tidak bisa membedakan antara Tuhan, sebagai sebuah entitas yang terbebas dari pikiran manusia, dengan gambaran manusia tentang Tuhan, yang memang dikreasikan oleh nalar manusia, sekalipun gambaran tersebut tidak akan mampu untuk menggambarkan hakikat Tuhan sebagaimana adanya.

Kedua,yang mengutarakan pernyataan di atas tidak paham dengan hukum kontradiksi, sebagai salah satu kaidah berpikir paling dasar yang seharusnya diamini oleh orang-orang berakal. Hukum kontradiksi menyatakan bahwa satu subjek tertentu tidak mungkin dihukumi oleh dua atribut yang saling bertentangan satu sama lain.

Kalau Anda mengatakan buku itu ada, tidak mungkin Anda mengatakan bahwa buku itu juga tidak ada. Karena itu dua hal yang bertentangan. Keduanya tidak mungkin saling terhimpun, juga tidak mungkin saling terangkat. Tidak ada pilihan ketiga di antara dua hal yang bertentangan. Karena itu salah satu dari keduanya harus ada yang benar. Itu inti dari hukum kontradiksi.

Sekarang begini. Kalau memang Tuhan itu merupakan ciptaan nalar manusia, maka konsekuensinya sesuatu yang Anda sebut sebagai Tuhan itu adalah sesuatu yang tercipta. Sementara Tuhan adalah pencipta alam semesta, yang di dalamnya termasuk diri Anda. Seolah-olah, kalau Anda meyakini itu, Anda mengatakan bahwa Tuhan itu pencipta, tapi dalam saat yang sama dia juga bukan pencipta, karena dia diciptakan oleh nalar kita. Dan itu kontradiktif.

Kecuali kalau memang Anda tidak memercayai Tuhan sebagai pencipta, dan Anda hanya percaya bahwa Tuhan itu tak lebih dari sekedar gagasan manusia belaka. Ketika itu argumen kedua tidak berlaku bagi Anda. Tetapi apa gunanya Anda menamai sesuatu itu sebagai Tuhan, kalau memang dia tidak lebih dari sekedar gagasan? Sadar atau tidak, yang sedang Anda imani itu sebenarnya bukan Tuhan, melainkan sesuatu yang sudah Anda ciptakan.

Ketiga, jika Tuhan tak lebih dari sekedar gagasan, maka konsekuensinya apa yang Anda sebut sebagai Tuhan itu akan tersandra dalam keterbatasan. Yang Anda sebut sebagai Tuhan itu adalah sesuatu yang terbatas. Dan yang membatasi itu adalah nalar Anda sendiri, yang pada dasarnya memang terbatas. Nalar yang terbatas tak mungkin menciptakan sesuatu yang tidak memiliki batas.

Pertanyaannya: Bisakah sesuatu yang terbatas itu disebut sebagai Tuhan? Kalaupun bisa, tapi untuk apa? Kalau sudah terbatas, untuk apa disebut Tuhan? Ketuhanan itu meniscayakan keterbebasan dari berbagai macam batasan. Baik batasan ruang, waktu, pikiran, dan batasan-batasan lainnya. Kalau sudah terbatas, ya namanya bukan Tuhan lagi, tetapi sudah jadi ciptaan.

Keempat,kalau memang Tuhan itu baru ada setelah keberadaan kita–karena dia diciptakan oleh nalar kita–lantas bagaimana Anda menafsirkan kemunculan alam semesta ini? Sains sudah membuktikan bahwa alam semesta ini memiliki permulaan. Lantas apa sebab utama yang ada di balik permulaan itu? Sains tidak akan mampu menjawab, karena memang itu bukan bidangnya. Yang bisa menjawab pertanyaan ini hanya Agama dan filsafat.

Kalau nalar Anda masih sehat, tentu Anda akan bertanya tentang sebab di balik kemunculan sesuatu, yang sebelumnya tidak ada, tapi kemudian menjadi ada. Sekarang apa sebab di balik kemunculan alam semesta itu? Mungkinkah Anda akan berkata bahwa alam semesta itu muncul dengan sendirinya? Anggaplah itu mungkin. Tapi bukankah pandangan yang meyakini keberadaan sebab lebih masuk akal ketimbang pandangan yang menafikannya?

Dalam hal ini kaum materialis sedikit lebih masuk akal ketimbang orang-orang Ateis. Mereka mengatakan bahwa yang menjadi sebab itu adalah materi. Tapi mungkinkah materi yang tak bisa bicara, mendengar, dan melihat itu menjadi sebab utama di balik keberadaan dan keteraturan alam semesta ini? Rasanya sulit sekali untuk berkata iya.

Lebih sulit lagi kalau kita menafikan sebab itu sama sekali. Kalau suatu waktu Anda melihat timbangan yang posisi kedua sisinya bersifat setara, lalu tiba-tiba yang satu lebih berat dari yang lain, bisakah Anda menerima kenyataan bahwa terberatkannya yang satu itu terwujud dengan sendirinya, tanpa ada sebab apa-apa? Bisakah Anda menerima kenyataan itu, wahai makhluk yang berakal?

Pandangan seperti itu rasanya tak layak keluar dari manusia berakal, juga tak mungkin disampaikan oleh orang beriman. Kalau kelak Anda berjumpa dengan orang-orang seperti ini, coba saja Anda minta kepada yang bersangkutan untuk menyuguhkan dalil. Dalil yang bisa dipertanggungjawabkan secara rasional.

Apa dalil kalau Tuhan itu baru ada dengan adanya kita? Saya yakin tak akan banyak jawaban yang bisa dia kemukakan. Tapi bagaimana dengan dalil orang-orang beriman? Anda tahu sendiri, buku-buku yang mengulas persoalan itu jumlahnya sangat melimpah luar biasa.

Setidaknya, kalaupun Anda masih bersikeras dengan pandangan itu, setumpuk argumen rasional membuktikan bahwa keyakinan orang-orang beriman jauh lebih masuk akal ketimbang orang-orang yang mengingkari Tuhan, atau yang hanya meyakini Tuhan sebagai sebuah gagasan. Demikian, wallahu ‘alam.

    

Muhammad Nuruddin
Muhammad Nuruddin
Mahasiswa Dept. Akidah Filsafat, Universitas al-Azhar Kairo, Mesir | Alumnus Pondok Pesantren Babus Salam Tangerang | Peminat Kajian Sufisme, Filsafat dan Keislaman.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.