Minggu, Oktober 13, 2024

Benarkah Islam Agama Pasifis?

Dyah Ayu Agustina
Dyah Ayu Agustina
Perempuan 24 tahun penyuka kopi tapi bukan penikmat senja. Sedang dalam perjalanan menemukan tujuan hidupnya dengan rajin mengutarakan perasaan dan pikiran dengan tulisan. Instagram: @dyahayuagustinaa.

“Damai” muncul sebagai kata yang melambangkan sebotol air di panasnya gurun pada bulan Juni. Ia ada, namun butuh usaha penuh untuk mendapatkannya. Damai tidak hanya diartikan sebagai sebuah konsensus di antara dua perselisihan. Tapi satu yang pasti bahwa hingga saat ini, belum ada sejarah yang mencatat bahwa kedamaian tidak datang tanpa adanya perang atau pertikaian terlebih dahulu.

Belum ada yang dapat menunjukkan bahwa kedamaian adalah sesuatu yang murni. Ironisnya, damai harus dicapai dengan kekerasan dan pengorbanan terlebih dahulu. Namun di antara semua konsep damai yang berkembang di dunia, damai menurut agama adalah hal yang sakral.

Pertanyaannya, apakah semua agama memiliki nilai damai? Apakah Tuhan memang menciptakan kita untuk berdamai, ataukah damai hanya sebatas konsep yang digunakan di saat keadaan pasca kekerasan?

Nilai-nilai damai (pasifisme) dalam agama Islam adalah suatu hal yang menarik untuk dikaji. Sebagai agama rahmatan lil alaamin, Islam dikenal sebagai agama yang cinta damai dan menjunjung tinggi anti kekerasan.

Kisah, hadits, dan ayat Al-Quran dalam Islam memiliki beberapa nilai yang mengajarkan umatnya untuk menjunjung nilai perdamaian dan menghindari kekerasan. Namun sejarah justru mencatat bahwa perdamaian dalam Islam sering ternodai dengan konflik dan peperangan.

Kisah pertama datang dari Qabil dan Habil, anak Adam dan Hawa. Qabil dan Habil yang memiliki dua kepribadian yang berbeda sering terlibat dalam berbagai konflik. Qabil yang memiliki dendam dengan Habil hendak membunuh saudaranya itu, lalu Habil menjawab:

“Sungguh, jika engkau (Qabil) menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Aku takut kepada Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS Al-Maidah : 28).

Tetapi nafsu Qabil mendorongnya dan akhirnya Habil pun dibunuh oleh saudaranya itu. Menurut seorang cendekiawan Islam, Jawdat Said, hal ini dianggap sebagai awal pasifisme yang gagal dalam sejarah Islam.

Namun di sisi lain, ayat tersebut menjelaskan bahwa Habil tidak ingin membalas kekerasan atau usaha pembunuhan yang dilakukan oleh Qabil kepadanya. Habil lebih takut kepada Allah SWT dibanding melakukan kekerasan.

Oleh karena itu, sikap Habil tersebut menjadi patokan nilai pasifisme dalam Islam. Bahwa sebagai umat Islam harus senantiasa menjunjung usaha-usaha damai dan tidak melakukan kekerasan karena takut pada Allah SWT.

Lalu firman Allah SWT juga berbunyi, “Wahai umatku sesungguhnya telah aku haramkan bagi diriku perbuatan dzalim dan aku juga mengharamkannya diantara kalian maka janganlah berbuat dzalim” diriwayatkan oleh Ahmad Fî Al Musnad.

Kedzaliman yang berupa penyiksaan, penggusuran, penindasan, dan kekejaman terhadap sesama manusia sangat jelas dilarang dalam ajaran Allah SWT. Lewat ayat Al-Qur’an dan firman tersebut, Allah SWT telah menjanjikan azab yang luar biasa bagi umatnya yang melakukan kekerasan terhadap sesama dan secara tersirat memerintahkan kepada umat manusia untuk senantiasa hidup berdampingan secara damai tanpa kedzaliman yang dilaknat oleh Allah SWT.

Sebagai seorang Muslim, kewajiban kita untuk mencegah konflik atau segala sesuatu yang memunculkan pertikaian antar manusia dengan usaha yang dicintai-Nya. Umat Islam harus bisa meredam amarah tersebut sampai kita dan seorang yang melakukan kejahatan tersebut dapat menjalin hubungan yang baik.

Menilik arti pasifisme berarti tidak boleh melupakan usaha-usahanya dalam mencegah perang. Sejarah Islam memang mengandung unsur perang. Namun diingat, perang yang dilakukan oleh pendahulu umat Islam ditujukan untuk menyebarkan dan menegakkan agama Islam itu sendiri.

Tercatat sejak jaman Rasulullah SAW terdapat lima perang besar umat islam, yaitu perang Badar, perang Uhud, perang Mu’tah, perang Khandaq, dan perang Tabuk. Perang-perang tersebut tidak dimaksudkan untuk tujuan kekerasan dan penindasan kepada kaum tertentu, melainkan untuk menguatkan dan menyebarkan agama Islam yang pada saat itu ditindas oleh kaum-kaum penentang Islam. Hal ini dituliskan dalam ayat Al-Quran yang berbunyi:

“Diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi karena sesungguhnya mereka dizalimi. Dan sungguh, Allah Mahakuasa menolong mereka itu. (yaitu) orang-orang yang diusir dari kampung halamannya tanpa alasan yang benar, hanya karena mereka berkata, “Tuhan kami ialah Allah.” (QS Al-Hajj : 39-40).

Dalam ayat ini, dijelaskan bahwa penyebab disyariatkannya perang jelas sekali karena umat Islam dizalimi dan diusir dari negeri mereka tanpa alasan yang dibenarkan.  Allah SWT berfirman,

“Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi jangan melampaui batas. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS Al-Baqarah :190).

Dalam surat At-Taubah ayat 36 juga dijelaskan bahwa “dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya.” Jadi jelaslah bahwa Islam tidak mengajarkan kepada kita berperang dalam keadaan dan niat yang jahat. Perang-perang yang terjadi pada zaman tersebut tidak lain sebagai jalan terakhir dari permasalahan karena pada zaman tersebut solusi terakhir dari pertikaian adalah perang.

Perang dalam Islam terjadi karena orang-orang bukan pengikut Islam yang terlebih dahulu memerangi kaum muslimin. Umat Islam tidak memerangi orang-orang yang tidak memerangi mereka. Bahkan Islam sangat tidak menganjurkan berperang terhadap kaum non-Muslim.

Perintah damai menjadi mayoritas ajaran yang diturunkan Allah SWT pada umat Islam. Dalam keadaan perang pun, Islam menuntut kita untuk meleraikan pihak yang berkonflik untuk mencapai perdamaian. Seperti yang tercermin dalam ayat ini:

“Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. Kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan.” (QS. Al-Hujurat: 9-10).

Ayat ini dengan jelas menerangkan jikalau terdapat dua golongan kaum mukmin bersengketa hingga menimbulkan perang, maka kewajiban bagi umat Islam untuk mendamaikan dengan segera kedua golongan yang berperang itu.

Islam yang selalu mengedepankan kedamaian antar umat manusia memang tidak sepenuhnya memiliki nilai murni pasifisme. Hal ini dibuktikan dengan penjelasan sebelumnya bahwa masih terdapat peperangan yang terjadi dalam perkembangannya, walaupun ditujukan dengan alasan yang kuat dan tidak berniat untuk melakukan tindak kejahatan pada kaum lain.

Saya pribadi juga meyakini bahwa jarang ditemukan sebuah agama atau keyakinan yang murni 100% pasifisme, karena damai adalah sesuatu yang relatif bagi setiap umat manusia. Sedangkan umat manusia memiliki berbagai macam keyakinan yang dianut begitu juga keyakinannya terhadap perdamaian.

Apapun itu, pada intinya setiap agama pasti akan mengajarkan kedamaian bagi setiap umatnya. Karena setidaknya damai dapat mendatangkan kondisi “diam” dalam “riuh” dunia yang menakutkan.

Dyah Ayu Agustina
Dyah Ayu Agustina
Perempuan 24 tahun penyuka kopi tapi bukan penikmat senja. Sedang dalam perjalanan menemukan tujuan hidupnya dengan rajin mengutarakan perasaan dan pikiran dengan tulisan. Instagram: @dyahayuagustinaa.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.