Kamis, April 18, 2024

Belenggu Angka Penyelesaian Sengketa Pemilukada di MK

M. Addi Fauzani
M. Addi Fauzani
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutus kurang lebih 57 kasus tentang Perselisihan Hasil Pemilihan (PHP) Kepala Daerah yang dikeluarkan pada bulan Agustus ini. Hampir seluruh hasil Putusan MK menyatakan bahwa permohonan pemohon tidak dapat diterima. Hal tersebut terjadi karena para pemohon tidak memenuhi syarat ambang batas pengajuan penyelesaian PHP kepala daerah di MK.

Syarat ambang batas pengajuan penyelesaian kasus PHP kepala daerah diatur dalam Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 terkait pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (UU 10/2016) yang kemudian diatur lebih lanjut dalam Pasal 7 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (PMK 5/2017).

Belenggu Angka

Ketentuan tersebut mengatur syarat ambang batas pengajuan PHP kepala daerah berkisar antara 0,5% sampai dengan 2% tergantung pada jumlah penduduk setempat. Berdasarkan hal tersebut, maka peserta pemilihan kepala daerah hanya dapat menggugat perkara PHP kepala daerah ke MK apabila selisih perolehan suara paling banyak atau kurang dari 0,5% sampai dengan 2% tergantung pada jumlah penduduk setempat.

Apabila perselisihan perolehan suara melebihi ketentuan tersebut, MK tidak akan memproses gugatan tersebut alias menyatakan tidak dapat diterima.

Ketentuan syarat ambang batas pengajuan php kepala daerah meskipun bertujuan untuk mencegah membanjirnya gugatan ke MK, tidak sepenuhnya dapat dibenarkan. Jimly Asshidqie (2016) menyatakan bahwa MK sebagai lembaga pengawal konstitusi (guardian of constitution) yang sekaligus berkonsekuensi sebagai pengawal demokrasi (guardian of democracy), seharusnya tidak terbelenggu pada aturan prosedural dan terjebak pada angka-angka prosentase selisih perolehan suara yang justru mengesampingkan persoalan subtansial. Apalagi syarat tersebut benar-benar membelenggu MK sesuai data di atas.

Keadilan Subtantif dan Demokrasi Subtansial

MK secara tidak langsung telah menafikan suatu perkara tanpa melihat persoalan subtansial terkait adanya pelanggaran terhadap asas-asas pemilihan kepala daerah (pemilukada) yang telah diamanahkan di dalam konstitusi yaitu: langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil).

Aturan ambang batas pengajuan gugatan perkara php dapat menciderai keadilan subtantif dan demokrasi subtansial yang seharusnya ditegakkan oleh MK.

Janda Kenneth (2013) menyatakan bahwa demokrasi subtansial menjamin agar demokrasi sebagai suatu nilai yang memungkinkan rakyat bisa memiliki kedaulatan dalam arti yang sesungguhnya.

Prinsip demokrasi substansial di antaranya adalah adanya jaminan kebebasan sipil dan politik yang meliputi kebebasan berekpresi, berserikat, persamaan kedudukan di depan hukum (equality before the law) dan penghapusan diskriminasi. Hal ini berarti bahwa pelaksanaan demokrasi harus melihat secara jeli arti kedaulatan rakyat dan jaminan-jaminan hak asasi.

Ketentuan syarat ambang batas ini perlu untuk direvisi oleh pembentuk undang-undang atau melalui permohonan pengujian undang-undang (judicial review) ke MK sendiri meskipun lagi-lagi MK akan menguji terkait eksistensinya sendiri (nemo judex idoneus in propria causa).

Apabila judicial review ini terjadi, maka seharusnya MK menerima dengan argumentasi yang telah dibangunnya dalam Putusan MK Nomor: 49/PUU-XI/2011 yaitu, pertama, bahwa tidak ada forum lain yang bisa memutus permohonan ini, artinya sulit apabila akan direvisi oleh pembentuk undang-undang karena dinamika politik yang ada; kedua, MK tidak boleh menolak mengadili menolak mengadili permohonan yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak ada atau tidak jelas mengenai hukumnya; ketiga, kasus ini merupakan kepentingan konstitusional bangsa dan negara, bukan semata-mata kepentingan institusi MK itu sendiri atau kepentingan perseorangan hakim konstitusi yang sedang menjabat.

Tiga alasan tersebut cukup berdasar agar MK menerima dan mengabulkan judicial review untuk menghapus syarat ambang batas pengajuan php kepala daerah ke MK yang seharusnya murni menjadi penilaian hakim dalam memeriksa perkara apakah terjadi pelanggaran terhadap asas-asas di atas atau tidak.

M. Addi Fauzani
M. Addi Fauzani
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.