Penulis pernah mendapatkan kabar dari seorang guru bahwa di Bali terdapat ziarah wali yang dapat dikunjungi oleh—meminjam istilah allâh yarḥam KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)—para sarkub (sarjana kuburan).
Kalau di tanah Jawa terkenal dengan istilah Wali Songo, maka di Bali dikenal dengan sebutan Wali Pitu. Benar saja, ketika penulis berkesempatan pergi ke Pulau Dewata, penulis menyempatkan diri pergi ke salah satu makam Wali Pitu yang terletak di daerah Loloan Timur, Jembrana, walau hanya sebentar.
Ternyata makam, yang dikenal dengan sebutan makam keramat “Buyut Lebai” tersebut ramai dikujungi oleh para peziarah, terutama masyarakat dari luar Bali. Kemudian, setelah penulis menyelesaikan “kuliah” sebagai sarkub, penulis ditemui oleh juru kunci, yang kebetulan adik kandung dari sahabat penulis yang ada di Loloan Timur.
Sang juru kunci memberikan buku kecil yang berisi sejarah makam wali tersebut—biasanya buku tersebut disediakan di makam untuk para ziarah—agar penulis mengetahui asal muasal makam keramat itu.
Buku kecil tersebut ditulis oleh Achmad Damanhuri dengan judul Sekapur Sirih Maqam Keramat “Buyut Lebai”, Jl. Gunung Agung, Loloan Timur, Kec. Negara, Kab. Jembrana, Prop. Bali. Isi dari buku itu menceritakan awal mula masuknya Islam ke Jembrana secara bertahap, yang dimulai dari tahun 1653, 1669, dan 1799.
Dijelaskan bahwa pada tahap kedua (tahun 1669) datang 4 orang ulama besar seperti: Dawam Sirajjudin (Melayu, Malaysia); Syekh Bauzir (Arab, Yaman); H. Mohammad Yasin (Bugis, Makassar); dan H. Syihabuddin (Bugis, Makassar), ke tanah Jembrana untuk menyampaikan ajarah Islam yang mendapat restu dan diterima dengan senang oleh Penguasa Jembrana saat itu, I Gusti Arya Pancoran.
Disebutkan bahwa selain menerima mereka dengan baik, Raja I Gusti Arya Pancoran juga memberikan prioritas layak kepada keempat ulama besar tersebut seperti: mendapatkan tempat bermukim, yang sekarang disebut dengan Loloan Barat dan Loloan Timur; mereka diperlakukan sebagai layaknya penduduk pribumi setempat.
Mereka dipersatukan bersama rakyat Hindu Jembrana dengan penuh damai untuk bersama-sama membangun kerajaan Jembarana; mendapat kehormatan untuk ikut serta memperkuat pertahanan kerajaan; diangkat sebagai prajurit yang berfungsi sebagai laskar keamanan rakyat Jembrana.
Perahu-perahu mereka (Pinisi Lambo) dirubah statusnya menjadi perahu dagang untuk sarana perniagaan yang mengangkut hasil-hasil pertanian dan peternakan dari Jembrana hingga jauh ke luar pulau Bali; mereka diberi kebebasan dan diberi hak menjalankan semua syariat Islam serta pendidikan agama mereka. Sehingga kerukunan beragama pada waktu itu dalam suasana tentram dan damai (Damanhuri, hlm. 2-8).
Oleh karena itu, penulis sempat terhenyak ketika tiba-tiba mendengar lantunan indah salawat Ya Muhaiminu Ya Salam Sallimna Wal Muslimin dari speaker masjid di Loloan Timur. Selain karena memang suara H. Salafuddin Benyamin sangat merdu ketika melantunkan salawat itu, juga tidak kalah penting karena salawat tersebut penulis nikmati di tanah Bali.
Sebuah daerah yang terkenal dengan sebutan Pulau Dewata atau Pulau Seribu Pura. Sebuah pulau yang tidak sedikit teman-teman penulis dari Madura tidak betah tinggal atau bekerja di sana karena saking banyaknya anjing yang berkeliaran.
Mengingat mayoritas masyarakat Muslim Madura menganggap anjing najis mugallaḍah, sebagaimana dipegangi oleh mazhab Syâfi’î—sebagai “mazhab resmi” masyarakat Muslim Madura. Namun demikian, akhirnya penulis memaklumi mengapa salawat tersebut bisa menggema sebegitu tenang-indahnya di seantero langit Loloan Timur setelah membaca buku kecil tersebut.
Barangkali pengalaman ini berguna untuk menjalani kehidupan bermasyarakat yang plural di era milenial ini. Bagaimana masyarakat mayoritas Hindu yang diketuai oleh Raja I Gusti Arya Pancoran menerima dan memperlakukan liyan (masyarakat minoritas Muslim) secara baik dan bebas melaksanakan aktivitas keagamaan mereka tanpa merasa khawatir atau curiga akan terjadi islamisi di kemudian hari.
Sehingga penulis bisa menikmati ziarah Wali Pitu di sana secara aman dan damai. Hal ini mengingat beberapa hari yang lalu bumi Mataram Yogyakarta, tempat penulis mencari pengalaman dan pengetahuan selama kurang lebih tujuh tahunan ini, sempat digegerkan dengan kejadian pemotongan nisan salib.
Tepatnya di pemakaman Jambon Purbayan RT 53/RW 13, Kota Gede. Meskipun menurut tokoh masyarakat di sana sudah ada kesepakatan antara warga dan keluarga untuk memotong kayu nisan berbentuk salib itu, tetapi Sri Sultan HB X tetap meminta maaf kepada keluarga almarhum atas kejadian tersebut. Beliau menyayangkan tindakan itu karena dianggap bertentangan dengan konstitusi yang menjamin agama dan simbol-simbol keagamaan (kompas.com,”Klarifikasi Lengkap Pemotongan Nisan Salib di Makam Kotagede Yogyakarta”, 12/20/2018).
Tidak pelak kejadian ini mendapatkan respon serius dari beberapa aktivis kemanusiaan, salah satunya adalah Alissa Wahid. Menurutnya, peristiwa ini semakin menegaskan adanya pergeseran nilai-nilai inklusif yang menekankan kebersamaan antara mayoritas dan minoritas ke nilai-nilai eksklusif yang mementingkan ego kelompok mayoritas tertentu.
Beliau menyebutnya dengan istilah mayoritarianisme, yaitu satu paham yang menjadikan mayoritas sebagai penentu segalanya dalam kehidupan bermasyarakat dan minoritas harus menghormati sikap mayoritas tersebut.
Selain itu, beliau juga mengkritik prilaku beberapa orang yang bersikap intoleran kepada orang lain hanya karena berbeda identitas, baik suku, agama, maupun pilihan politik. Sikap intoleransi seharusnya ditujukan kepada prilaku buruk manusia seperti zalim, tidak adil, menindas, dan suka memecah belah. Sehingga salah alamat apabila intoleransi ini ditujukan kepada manusia sebagai makhluk individu (@AlissaWahid, 18/12/2018).
Apalagi Islam—sebagai agama mayoritas masyarakat Indonesia—sama sekali tidak membenarkan Muslim melakukan tindakan intoleransi kepada pemeluk agama lain. Tindakan semacam ini jelas bertentangan dengan tujuan luhur agama Islam (maqâṣid asy-syarî’ah). Salah satu tujuan syariat Islam (maqâṣid asy-syarî’ah) adalah memelihara agama (ḥifẓ ad-dîn).
Elaborasi konsep ḥifẓ ad-dîn di era kontemporer ini, menurut Muḥammad az-Zuḥailî, mengarah kepada ḥaqq at-tadayyun (hak beragama), baik kepada Muslim maupun non Muslim. Salah satu bagian dari hak beragama (ḥaqq at-tadayyun) adalah memberikan kebebasan kepada Muslim dan non Muslim untuk memilih agama dan keyakinan sesuai kesadaran akal dan nuraninya, menolak pemaksaan dalam beragama, menetapkan toleransi antar umat beragama, membangun hubungan kemanusiaan antara mereka, dan saling menghormati rumah ibadah masing-masing.
Dengan demikian, umat Islam tidak boleh memusuhi, merusak, dan menghancurkan rumah ibadah non Muslim, baik dalam keadaan damai maupun perang (az-Zuḥailî, “Maqâṣid asy-Syarî’ah Asâs li Ḥuqûq al-Insân”, 2002: 88-95). Akhirnya, wa allah a’lam wa a’lâ wa aḥkam…