Sabtu, Oktober 5, 2024

Belajar Terhormat Dari Suka Cita Leluhur Membayar Pajak

apriljoyo
apriljoyo
Writer analyst PAJAK KDJP

Membaca Kontan Kamis, 5 Oktober 2017 mengenai realisasi pajak yang baru 60 persen pada September 2017, membuat saya tergugah untuk menulis ini. Pasalnya, kira-kira sudah 14 tahun realisasi penerimaan pajak tak pernah capai target. Tak heran, rasio kesadaran pajak Indonesia rendah. Kisarannya, 10,3 persen. Menteri Keuangan Sri Mulyani  pun gerah, dan berambisi untuk meningkatkannya menjai 16 persen. Tak pelak, pada Agustus 2017 lalu, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyuarakan program ‘Inklusi Kesadaran Pajak’ di Sekolah-sekolah. Berharap akan tumbuh kesadaran pajak sejak duduk di bangku sekolah.

Sepertinya, lelah sekali membuat rakyat sadar pajak. Untuk itu, agaknya kita  harus  mundur kebelakang, belajar kepada rakyat jawa khususnya di zaman kerajaan untuk menjadi warga Negara terhormat. Mengapa demikian? Sebab kepatuhan membayar pajak zaman kerajaan dulu, dilihat dari bagaimana rakyat memandang Negara dan rajanya.

Pajak sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, yaitu ‘ajeg’ artinya sesuatu yang diberi kan secara teratur pada waktu tertentu. Pa-ajeg berarti pungutan terhadap hasil bumi yang dihasilkan petani. Dahulu kala, petani harus mempersembahkan 40 persen dari hasil tani kepada raja dan pengurus desa.  Meski demikian, rakyat begitu suka rela.

Menurut konsepsi jawa, seperti yang ditulis Soemarsaid Moertono Di jurnal Prisma tahun 1983, bahwa negara atau kerajaan merupakan suatu gambaran surga (Jonggring Saloko) dan kepala Negara atau raja adalah manifestasi dari dewa. Dengan demikian rakyat meyakini, segala kebijakan raja mengandung kebaikan. Karena itu kekuasaan absolut raja merupakan tanggung jawab kekal raja sang penguasa di Jonggring Saloko. 

Tak heran jika rakyat, khusunya lagi orang jawa, berlomba-lomba mengabdi pada Negara atau kerajaan. Baik menyumbangkan tenaga maupun membayar pajak. Orang jawa menyebut kewajiban itu sebagai ‘pancen’ yang artinya, sesuatu yang sudah pasti.

Tak hanya sekedar mengabdi, rakyat kala itu berpikir, pajak adalah upaya menjaga keamanan daerah, memperbaiki daerah, memperbaiki saluran, mengangkut barang-barang, membantu hajatan (leladen), dan sebagai stimulus lain. Mereka percaya itu. Jika menolak membayar pajak, mereka juga percaya, berarti mereka melanggar perintah ‘Yang di Atas’. Untuk menghormati pembayar pajak, bahkan di setiap desa ada daftar nama para pembayar pajak yang disebut cacah.

Meski begitu, orang Jawa sudah cakap mengklasifikasikan subjek pajak. Pertama, pendeta. Kedua, prajurit, ketiga, saudagar. Dan terakhir, barulah petani. Untuk menjunjung keadilan, petani pun dibagi menjadi empat golongan, kuli kenceng (petani yang menerima pembangian tanah milik desa), kuli kendo (petani yang menunggu pembagian tanah garapan), tumpang (petani yang memiliki tempat tinggal di tanah orang lain, dan tumpang tlosor (petani yang menumpang keluarga lain). Pada masa kerajaan Mataram akhir, kekayaan utama rakyat adalah tanah. Sehingga pengenaan pajak didasarkan atas hasil bumi dari tanah itu.

Luasnya desa sebenarnya memberikan peluang untuk rakyat menghindar dari pajak. Namun, kepercayaan jonggring saloko masih terpatri dalam hati rakyat. Pajak tak hanya sebagai manifestasi pengabdian, tapi juga sebagai upaya menjadi warga negara yang terhormat. Well, semoga di era modern ini, kita semua menjadi warga negara terhormat bak rakyat beribu tahun lalu. Amin.

apriljoyo
apriljoyo
Writer analyst PAJAK KDJP
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.