Selasa, April 23, 2024

Belajar Sedikit Lebih Objektif dari Karl Popper

Rianto Hasan
Rianto Hasan
Manusia ji saya kodong,, ?

Karl Raimund Popper merupakan salah satu figur di antara sekian tokoh filsuf abad ke-20 yang dikenal gagasannya turut serta mewarnai keragaman dinamika perkembangan filsafat epistemologi ilmu.

Perkenalan dengan sosok Popper secara “kebetulan” ditengarai tuntutan tugas kuliah yang mengharuskan saya untuk bergelut dengan pemikiran-pemikiran dari sosok tersebut. Pada zamannya Popper tampil mendobrak “kencongkakan” hegemoni kaum induktifistik/neopositivisme yang genealogi pemikirannya mendominasi perkembangan epistemologi ilmu di era itu.

Dari sini kemudian saya menemukan benang merah antara ide-ide Popper dengan fenomena politik di Indonesia, yang dengan daya magis tersendirinya mampu menghipnotis dan memanipulasi pikiran orang-orang awam politik-seperti saya contohnya-supaya ikut terlibat ke dalamnya.

Subjektifitas neopositivisme dan tim sukses “non-formal” 

Subjektifitas adalah poin pertama dari relasi yang bisa kita temukan antara konsep pemikiran Popper dan gejala politik nusantara, seperti yang telah disebutkan di awal tulisan tadi. Dikisahkan bahwa paham falsifikasionisme dari teori pemikiran Popper, pada mulanya lahir dari buah kritikan terhadap gagasan verifikasi tokoh-tokoh filsuf positivisme logis.

Paham verifikasi filsuf neopositivisme ini menjadi paham general yang banyak “dianut” kalangan ilmiah pada saat itu, dipergunakan sebagai tolak ukur keabsahan suatu teori ilmiah. Bila ingin dijelaskan secara sederhana mekanisme verifikasi neopositivisme digunakan dengan menerapkan metode induksi, mengumpulkan bukti-bukti empirik melalui observasi untuk memverifikasi kebenaran suatu hipotesa ilmiah.

Ilmuwan yang menerapkan prinsip tersebut dalam variasi eksperimennya akan berupaya mengumpulkan fakta-fakta lapangan yang sesuai dengan hipotesisnya, lalu kemudian menjustifikasi/mengukuhkan kebenaran teori yang coba diuji tadi. Kesan yang muncul selanjutnya seolah-olah menunjukkan bahwa kebenaran teori ilmiah tersebut betul-betul objektif karena telah dibuktikan melalui serangkaian eksperimen.

Namun nyatanya menurut Popper penerapan prinsip verifikasi tersebutlah yang justru menjadi biang masalah. Metode ini masih-menurut Popper-hanya akan mengantarkan seorang ilmuwan agar fokus pada fakta-fakta yang sesuai dengan proposisi hipotesisnya. Dari sini mereka kemudian mengabaikan fakta-fakta anomali yang bertentangan dengan hipotesa di awal tadi, dengan sekedar mengumpulkan bukti-bukti empirik yang berkesesuaian dengan teorinya.

Hal inilah yang dinilai Popper menjadi tanda betapa subjektifnya para penganut paham positivisme yang hanya mencari-cari “pembenaran” dari teorinya, lantas mengabaikan fakta lain yang boleh jadi bertolakbelakang dengan teori yang dipercayai kelompoknya. Gejala subjektif serupa inilah yang pula nampak dari sikap tim sukses “non-formal” tokoh-tokoh politik di Indonesia.

Belajar lebih objektif lewat falsifikasi Popper

Sekedar intermeso, terminologi tim sukses “non-formal” yang dimaksudkan dalam tulisan ini merujuk kepada simpatisan-simpatisan “lepas” pendukung tokoh politik A serta tokoh politik B, yang siang dan malam selalu memenuhi dinding media sosial kita dengan dukungan-dukungan kepada sosok idolanya. Anda sudah pasti paham maksudnya. Atau jangan-jangan anda juga termasuk ke dalam golongan di atas?

Yang jelas, bila mau diamati, Anda akan menemukan bahwa cara-cara yang ditempuh oleh pendukung para politikus tadi, memiliki kesamaan dengan mekanisme verifikasi kaum positivisme logis yang telah diceritakan sebelumnya. Contohnya, simpatisan tokoh A, dalam postingan-postingannya mereka selalu mencari bukti-bukti “ilmiah”, untuk menunjukkan “kehebatan” figur favorit yang dijagokan.

Di sisi lain ketika berhadapan dengan simpatisan tokoh B maka simpatisan tokoh A akan mencari argumen-argumen “pembenaran” lainnya untuk menjelek-jelekkan lawan tandingnya. Sama halnya dengan simpatisan tokoh B yang juga melakukan perbuatan serupa.

Mungkin akan jadi lebih objektif dan fair bila kita mau meminjam prinsip falsifikasi Popper untuk meminimalisir subjektifitas yang darinya kemudian melahirkan fanatisme buta terhadap figur-figur politik tadi. Popper dalam gugatan terhadap prinsip verifikasi/pembenaran para filsuf neopositivisme, menawarkan metode falsifikasi sebagai penggantinya.

Cara kerja metode itu berkebalikan dengan prinsip verifikasi. Jika verifikasi digunakan hanya untuk menemukan bukti-bukti “pembenaran”, maka falsifikasi diterapkan dengan mencari fakta yang bertolakbelakang/fakta anomali, untuk kemudian disandingkan menguji kebenaran teori awal.

Contoh sederhananya seperti ketika anda ingin membuktikan apakah benar semua burung gagak memiliki bulu berwarna hitam. Jika anda menggunakan gagasan verifikasi, maka pasti anda hanya akan disibukkan untuk mencari sampel-sampel beragam burung gagak dengan warna hitam sebagai bukti “pembenaran” proposisi sebelumnya. Subjektif bukan?

Akan tetapi dengan menerapkan prinsip falsifikasi maka anda tidak mencari contoh burung gagak yang berwarna hitam untuk membuktikan kebenaran hipotesis pribadi, akan tetapi anda akan mencari sampel burung gagak dengan warna lain misalnya (entah putih, merah, biru, dan sebagainya), untuk mengetes kebenaran teori tersebut.

Dengan begitu, setidaknya kita belajar sedikit lebih objektif ketika menilai sesuatu dengan tidak hanya mengamati hal-hal yang sesuai dengan keyakinan diri, juga tidak abai terhadap hal-hal yang berkontradiksi dengannya.

Bila simpatisan-simpatisan tokoh A dan B di atas mau berbesar hati untuk “menerapkan” prinsip falsifikasi Popper, maka akan ditemukan fakta bahwa tidak selamanya figur yang dielu-elukan, sesempurna yang dibayangkan karena pasti ditemukan kekurangan dari kelebihannya.

Begitu pula ketika menilai “kecacatan” tokoh yang menjadi lawan sang idola tadi, akan ditemukan juga bahwa ia memiliki prestasi yang menjadi kelebihannya, jika betul-betul anda mau mengakuinya dengan sejenak melepas keberpihakkan.

Pada akhirnya sesuai dengan pengakuan Popper bahwa kebenaran ilmiah yang dihasilkan dari teori falsifikasinya bersifat tentatif/tidak pasti/relatif, maka tim-tim sukses “non-formal” tadi akan sadar juga bahwa figur politik yang didukungnya tidak seideal itu atau bisa dikatakan “relatif”.

Karena manusiawi bila seseorang wajar memiliki kelebihan dan kekurangan sebagai bukti “sempurnanya” manusia. Sampai di sini ke depannya simpatisan-simpatisan tadi diharapkan tidak terlalu “terbawa perasaan” lagi ketika “mendukung” politikus pilihannya atau ketika “menghujat” rival sang idola. Wallahu A’lam.

Referensi:

Komarudin, “Falsifikasi Karl Popper dan Kemungkinan Penerapannya dalam Keilmuan Islam”
Nur,Muhammad. “Revivalisasi Epistemologi Falsifikasi”

Subekti, Slamet. “Filsafat Ilmu Karl R. Popper dan Thomas S. Kuhn serta Implikasinya dalam Pengajaran Ilmu”,

Huda, M. Syamsul. “Karl Raimund Popper : Problem Neopositivistik dan Teori Kritis Falsifikasi”

Syamsuri, “Doktrin Obyektifisme Ilmu Pengetahuan Modern”
Madiarsa, I Made. “Pemecahan Masalah Menurut Teori Falsifikasi Dari Karl Raimund Popper”
Seran, Alexander. “Masa Dep

Rianto Hasan
Rianto Hasan
Manusia ji saya kodong,, ?
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.