Ketika mendengar kata “Barat”, pemikiran langsung akan tertuju kepada negara-negara Adidaya yang mengekslpoitasi dan menginvasi negara-negara Islam. Lebih dari itu, pelbagai kerusuhan dan peperangan yang terjadi di negara Islam diduga juga karena ulah Barat. Sinisme Islam terhadap Barat begitu tinggi, sehingga menimbulkan gejolak sekelompok orang yang mengatakan diri mereka sebagai anti Barat atau yang dikenal dengan istilah occidentophobia. Pun sebaliknya, di Eropa terjadi gelombang protes yang mengatasnamakan sebagai golongan yang anti Islam atau yang dikenal dengan istilah islamophobia.
Barat juga dikenal dengan produk-produk ideologinya yang merusak Ideologi Islam. Lantas timbulah pro dan kontra, ada beberapa kelompok muslim yang menerima konsep ideologi tersebut serta ada juga yang menolaknya. Bagi yang menerima maka akan disebut-sebut oleh kelompok lain sebagai liberalis-sekuler dan bagi yang menolaknya maka mereka juga akan disebut-sebut oleh kelompok lain sebagai radikalis-fundamentalis.
Terlepas dari semua itu, pernahkan kita berfikir sejenak atau setidaknya mau membuka diri dan merenungi apa yang ditawarkan Barat. Dan maukah sejenak menyatakan diri bahwa tidak semua negara Barat demikian adanya. Mungkin hal ini terdengar sulit, akan tetapi menjadi lebih sulit jika tidak mau belajar mengenal sama sekali. Setidaknya tahu, dan tahu tentang bagaimana cara untuk membantahnya apabila tidak sependapat dengan pemikiran kita.
Berlatar hal tersebut, penulis ingin berbagi atas pengalaman dengan apa yang disebut sebagai the most significant change tentang Islam dan Barat. Semisal tentang HAM, hal itu adalah istilah yang paling alergi ketika mendengarnya. Pada awalnya penulis berfikiran bahwa HAM adalah sebuah produk barat yang diciptakan untuk melemahkan dan menghancurkan Islam. Bagaimanapun telah dijelaskan, maka rasanya pikiran ini tetap penuh sesak dengan berburuk sangka (prejudice) terhadap Barat.
Namun siapa sangka, pemikiran yang demikian berubah hanya dalam beberapa fase. Pada salah satu kampus ternama di Jawa Timur terdapat sebuah pusat pembelajaran yang menyelenggarakan kursus tentang HAM dan Syariah. Perubahan pertama muncul ketika mengikuti kursus tersebut yang dihelat kurang lebih selama tiga bulan. Dalam waktu tiga bulan, peserta dituntut untuk mengikuti kuliah kelas selama 7 hari, mengadakan penelitian HAM dan Syariah kurang lebih selama satu bulan, dan mempresentasikan apa yang telah didapat dari hasil penelitian tersebut.
Pendalaman materi selama tiga bulan serasa masih tertolak, bagai makanan yang telah dimakan maka akan termuntah dengan sendirinya, pemahaman pun masing remang-remang. Hingga pada suatu saat, penulis menerima sebuah email yang berisikan pemberitahuan bahwa yang bersangkutan berhak menerima kursus lanjutan di Oslo-Norwegia. Oslo sendiri adalah sebuah kota yang di dalamnya terdapat sebuah pusat nobel perdamaian. Nobel ini merupakan salah satu penghargaan yang paling bergengsi di dunia yang diberikan kepada seseorang yang dianggap mempunyai andil bagi perdamaian dan persaudaraan antar bangsa.
Setelah tiba di kota tersebut, mindset yang tertanam dalam pemikiran secara perlahan mulai berubah dengan hanya cukup melihat kondisi kotanya. Bagaimana tidak, bila yang terjadi di pelbagai negara Barat adalah islamophobia, maka hal tersebut tidak berlaku di kota ini. Sebaliknya, kebebasan beragama begitu dihargai, mereka yang menggunakan jilbab dapat bepergian kemanapun tempat yang disuka tanpa takut ditangkap oleh aparat keamanan. Bahkan pada suatu tempat, terdapat sebuah kawasan yang di dalamnya terdapat komunitas muslim. Sebagian besar dari mereka adalah pengungsi yang berasal dari Timur Tengah. Lebih dari itu, para pengungsi juga mendapatkan hak-hak dasar mereka dari pemerintah yaitu tempat beribadah, akses pendidikan, pekerjaan, dan tempat tinggal untuk hidup.
Selain mempelajari HAM secara eksperimental dari negeri asalnya, juga didapati secara teoritikal di kelas. Pemateri nyatatanya juga memberikan pernyataan bahwa HAM bukan sebuah produk politik, melainkan sebuah gagasan untuk mengarah kepada kehidupan yang lebih baik. Lantas substansinya dengan Islam juga dijelaskan oleh salah satu pemateri Muslim. Konsep tersebut dalam Islam dinamakan dengan maqashid syariah, yang berkonten tentang 5 kebutuhan mendasar (dharuriyat al-khams) bagi manusia yaitu menjaga agama (hifdz al-din), hak hidup (hifdz an-nafs), menjaga akal (hifdz al-‘aql), menjaga keturunan (hifdz an-nasl), dan menjaga harta (hifdz al-mal).
Bukti-bukti konkret tersebut telah mengukuhkan dan memantapkan pandangan terhadap hal-hal yang masih samar sewaktu kursus HAM dan Syariah. Hal tersebut juga menjadi sebuah titik terang atas jawaban dari segala kejubelan pemikiran yang tidak tercerahkan. Prejudice (suuzan) menjadi hambatan atas segala stimulan dari luar, maka dari itu, perlunya untuk mengenali dan pelajari sebelum menghakimi. Memang, Norwegia bukanlah Negara Islam, di sana juga tidak dipelajari cara membaca Alquran ataupun kajian Hadis. Namun bila melihat cara Norwegia dalam memanusiakan manusia penulis menjadi sadar, bahwa di situlah letak core Islam sesunguhnya yang rahmatan lil ‘alamin. Wallahu’alam.