Sabtu, April 27, 2024

Belajar Ilmu Sejarah Dari Ibn Khaldun

Raha Bistara
Raha Bistara
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prodi Aqidah dan Filsafat Islam

Berbicara sejarah Islam menjadi agenda yang menarik bagi para orientalis. Pasalnya lahirnya ilmu sejarah bahkan filsafat sejarah dari rahim para pemikir muslim klasik, sebut saja Ibn Khaldun. Salah satu teori sejarah paling otentik yang bersifat empiris-realistis adalah kajian-kajian yang ditulis oleh Ibn Khaldun dalam kitabnya al-Muqaddimah.

Al-Muqaddimah sebenarnya kitab pengantar untuk karya sejarah yang universal dengan judul: Kitab al-Ibar wa Diwan al-Mubtada wa al-Khabar fi Ayyami al-Arab wa al-Ajam wa al-Barbar wa Man Asarohum min Dzawi as-Sultan al-Akbar.

Di antara karya-karya pemikiran Islam, warisan Ibn Khaludn terhitung unik. Meskipun sudah melwati beberapa abad, nilai, semangat, dan moderinitasnya tetap relevan. Tak hanya itu, di antara monumen pemikiran Ibn Khaldun menempati tempat yang paling penting. Posisi centralnya dalam kajian Barat menadkan ia salah satu pemikir muslim yang paling penting dikaji. Namun, itu tidak terlihat dalam beberapa abad ke belakangan dalam dunia Timur.

Ibn Khaldun yang bersal dari kelurga terpandang dan terpelajar. Ia dibesarkan dalam ayunan warissan intelektal yang kuat dari kelurganya yang diberi petunjuk nasib ynag baik dan tradisi-tradisinya. Ibn Khaldun kecil dibesarkan dalam pangkuan ayahnya sekligus menjadi guru pertamanya. I

a belajar al-Quran mulai dari qiraat, penafsirannya, kemudian belajar hadis dan fiqih semua ia dapat dari sang ayah. Setelah itu Ibn Khaldun mulai belajar tata bahasa dan retorika dari ulama yang paling terkenal di Tunisia, saat itu menjadi pusat pendidikan terbesar di Afrika Utara.

Tujuh belas tahun adalah usia muda bagi anak-anak yang sudah menguasai dispilin keilmuan, terutama disiplin ilmu klasik, termaksud ulum aqliyah (filsafat, tasawuf dan metafisika). Di bidang hukum ia mengikuti madzhab Maliki. Di samping ini semua Ibn Khaldun juga tertarik pada ilmu politik, sejarah, ekonomi dan geografi. Otaknya memang tidak puas dengan satu dua disiplin kelimuan saja. Disnilah letak kekuatan dan kelemahan Ibn Khaldun. Pengetahuannya begitu luas dan bervariasi, ibarat sebuah ensiklopedia (Sayfii Maarif, 1996:12).

Percik-percik Pemikiran Ibn Khaldun

Cendekiawan pada era dulu (masa Ibn Khaldun) melakukan terobosan-terobosan baru dalam ilmu pengetahuan salah satunya menggunakan pendekatan empiris-historis. Maka tidaklah mengherankan ketika Ibn Khaldun dianggap sebagai sarjana sekuler. Konsep ashabiyah (solidaritas sosial, semangat suku) yang dikritik Islam, oleh Ibn Khaldun dianggap sebagai alat perekat yang kuat sebagai bangunan kekuasaan khususnya dikalangan suku Badwi.

Dalam al-Muqaddimhnya Ibn Khaldun menegaskan bahwa kajian historis haruslah melalui pengujian-pengujian yang kritis. Kritiknya yang keras terhadap al-Mas’udi (w. 857) dan al-Bakri (w. 1094) menandakan bahwa teori yang ia bangun lebih unggul dan lebih teruji dari pada penulis sejarah sebelumnya. Ibn Khaldun menegaskan pada umumnya karya sejarah Islam Klasik memiliki tujuh kelemahan pokok. Enam pertama berkaitan dengan karakter sejarawan sendiri dan yang ketujuh terkait pengetahuan sejarawan itu sendiri yang terbatas mengenai kemasyarakatn dan kebudayaan.

Tujuh kelemahan itu antara lain: sikapnya yang memihak kepada pendapat-pendapat ,mahdzhab tertentu, terlalu percaya kepada penukil sejarah, gagal mengkap maksud apa yang didengar dan dilihat serta menyampaikan laporan atas dasar persangkaan dan perkiraan, perkiraan yang tidak punya dasar, kebodohan dalam mencocokan kebenaran dengan kenyataan, kegemaran mendekatkan diri dengan penguasa (sebagai penjilat kedudukan), dan ketidaktahuan tentang hakikat dan situasi kultur suatu wilayah (Ibn Khaldun, 1967:35)

Tujuh kriteria kelemahan historigrafi di atas sekalipun ditulis pada abad ke-XIV terasa masih relevan dengan situasi dan kondisi yang sekarang. Dalam persepktif ini sebenarnya Ibn Khaldun sudah merintis ilmu baru dalam bahasa ilmiahnya disebut sebagai scientific history yang kemudian popular pada abad ke-XIX di Eropa dengan tokoh utamanya seperti Leopold von Rangke (1795-1886 M) di Jerman. Dengan hal ini menandakan bahwasanya semua teori-teori kesejarahan yang muncul di Eropa terinspirasi dari Ibn Khaldun.

Di tangan Ibn Khaldun, sejarah menjadi sesuatu yang rasional, faktual dan bebas dari dongeng-dongeng yang menggelikan. Ibn Khaldun dalam karyanya melukiskan mamusia secara apa adanya. Tingkat objetivitasnya sangat tinggi. Dia mampu menahan diri untuk tidak melebih-lebihkan pihak yang disukainya, di samping juga tidak merendahkan musuh atau kelompok yang tidak disukai oleh dirinya. Penilainya ini murni berdasarkan azas kelimuan bukan berdasarkan atas unsur politik dan kekuasaan seperti sejarawan sebelumnya.

Ilm al-Umran dan Sejarah

Ilmu al-Umran merupakan ilmu bantu yang sangat penting dalam penulisan sejarah. Umran dapat berarti yang didiami, kegiatan, hidup yang sibuk, kemakmuran yang berkembang dan penuh kemajuan; penududuk yang banyak dan kemakmuran sebuah negeri, kultur, bangunan, gedung struktur. Sedangkan Mahdi memberi makna singkat kepada Ilmu al-Umran sebagai “Ilmu Kultur”. Sementara itu sosiolog Fuad Baali memberikan makna kepada Ilmu al-Umran sebagai “ilmu organisasi sosial” yang dalam istilah modern terkenal dengan nama sosiologi (Fuad Baali, 1988:11).

Bila defenisi dan pendapat-pendapat di atas diintegrasikan mengingat pendekatan yang dilakukan oleh Ibn Khaldun demikian komprehensif. Maka Ilmu al-Umran dapat diartikan sebagai ilmu sosial dan ilmu kultur. Bagi Ibn Khaldun tujuan Ilmu al-Umran adalah untuk merusumuskan hukum-hukum sosial, sekalipun tidak sekaku hukum-hukum ilmu kealaman. Ilmu ini digunakan untuk mengkaji fenomena-fenoma yang ada di dalam masyarakat yang lebih bersifat empiris-realistis.

Ibn Khaldun sebenarnya mengharuskan setiap sejarawan untuk bersikap ekstra hati-hati dalam penulisan sejarah. Karena diemnsi kehidupan manusia begitu luas dan kompleks, maka untuk memahaminya agar terlihat lebih utuh diperlukan ilmu yang tidak sederhana. Apalagi kehiduoan yang tidak kompelks itu telah menjadi sejarah, tidak mungkin lagi diamati secara langsung, maka kerja merekonstruksinya agar intelligible dan meaningful merupakan tugas sejarawan yang cukup rumit.

Ibn Khaldun sebenarnya tidak saja ingin menghadirkan masa lampau itu dalam format yang lebih utuh yang memang menjadi profesi sejarah, tapi jga mau berangkat lebih jauh: menjadikan sejarah sebagai panggung moral. Karya sejarahnya al-Muqaddimah mengisyaratkan bahwa pengarangnya ingin membaca dan mendapatkan sesuatu yang ada di belakang fakta. Artinya, dimensi filosofis dari peristiwa sejarah hendaklah pula dipahami dan ditangkap dengan cermat. Sisi inilah yang dalam al-Muqaddimah disebut sebagai sisi dalam dari sejarah.

Raha Bistara
Raha Bistara
Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Prodi Aqidah dan Filsafat Islam
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.