Robin Hood: Kejahatan Atas Nama Kebaikan
Judul utama artikel ini terinspirasi dari sebuah cerita yang mungkin sering kita baca. Pernahkah di antara kalian pernah mendengar atau membaca Robin Hood di saat kita masih kecil?
Mendengar nama Robin Hood pasti kita sudah terbayang dengan seorang laki-laki yang gagah berani seperti pahlawan yang membawa senjata berupa busur dan panah yang selalu menolong rakyat miskin dengan mencuri dari yang kaya. Ketika kecil mungkin ada di antara kita yang pernah mengidolakannya dan ingin bisa menjadi sepertinya kelak.
Tapi seiring bertambahnya usia dan wawasan kita terhadap kehidupan membuat pola pikir kita semakin berkembang dan tumbuh dewasa. Dan pasti sempat terbesit di pikiran kita tentang masa kecil dulu, bagaimana kita dulu bisa menyukai Robin Hood yang suka melanggar hukum seperti mencuri dan melawan pemerintahan atas dasar nama keadilan? Ini juga menimbulkan pertanyaan yang lebih umum dan global yaitu apakah kita sebagai individu berhak melakukan kejahatan demi kebaikan.
Kaburnya Pandangan
Dalam filsafat etika terdapat 2 aliran besar yang membagi pandangan tentang kebaikan dan kejahatan yaitu Utilitarianisme dan Deontologi. Sebagai contoh kasusnya, kalian berada di dekat rel kereta api di jalur kiri terdapat 1 orang terikat di rel dan di jalur kanan terdapat 10 orang yang terikat. Kereta api akan melindas 10 orang itu jika kalian tidak menarik tuas yang ada di dekat anda sehingga membuat kereta berbelok ke jalur kiri dan hanya melindas 1 orang saja.
Jika kalian memilih tarik tuas dan membuat kereta berpindah jalur ke kiri dan melindas 1 orang saja maka kalian seorang Utilitarian, yaitu orang yang lebih mementingkan hasil dari tindakan kejahatan daripada tindakan kejahatan itu sendiri. Sedangkan bagi kalian yang tidak menarik tuas dan membiarkan 10 orang terbunuh karena terlindas kereta maka kalian seorang Deontologi dimana hasil dari tindakan dan tindakan itu sendiri memiliki nilai yang sama. Seseorang akan dianggap jahat jika dia bertindak jahat apapun alasannya.
Dan tokoh Robin Hood adalah seorang utilitarian. Dia merasionalisasikan tindakannya yang melanggar hukum berupa pencurian sebagai tindakan mulia karena dia memberikannya kepada orang miskin.
Sedangkan jika Robin seorang Deontologi maka pendekatannya dalam menyelamatkan orang miskin akan jauh berbeda. Karena bagaimana pun juga mencuri itu salah dan apapun tujuan dibalik mencuri itu juga tidak dapat dibenarkan. Dan ini berkebalikan dengan tokoh bernama Batman yang sama-sama Vigilante atau tukang main hakim sendiri. Batman adalah salah satu contoh tokoh fiksi dengan moralitas berbasis Deontologi. Batman memiliki prinsip yaitu untuk tidak melewati batas-batas moral seperti “tidak membunuh” apapun alasannya, apapun latar belakang penjahat yang dia lawan, bahkan kepada penjahat segila Joker sekalipun.
Karena Batman tahu jika dia membunuh dia tidak jauh lebih baik dan berbeda dengan penjahat/pembunuh yang dia hadapi. Batman masih merasa dirinya harus berada di tatanan hukum resmi yang ditentukan oleh masyarakat. Salah satunya adalah tidak membunuh.
Karena apapun alasannya membunuh itu tidak benarkan tanpa adanya penetapan dari hukum yang legal. Ini terbukti pada perkataannya di dalam film Son Of Batman di saat Batman memberitahu Damian “Dalam menumpas para kriminal tidak ada hubungannya cara yang digunakan itu mudah atau tidak. Tapi tentang melakukan dengan cara yang benar karena itu adalah hal yang benar, dan hanya itu alasan yang dibutuhkan dalam menumpas para kriminal.”
Relevansi di Peradaban Modern
Di dalam relativitas etika, dalam buku Relativisme Etika: Analisis Prinsip- Prinsip Moralitas yang ditulis oleh Muhammad A Shomali, disebutkan “Relativisme moral adalah sekumpulan doktrin tentang keragaman putusan moral di sepanjang zaman, masyarakat, dan individu.”
Dari sini bisa kita simpulkan pada akhirnya moral objektif juga dipandang subjektif juga karena itu merupakan kumpulan dari sekumpulan ide-ide dan doktrin yang bersifat subjektif dengan beberapa nilai minor dikumpulkan dan dieliminasi agar terlihat objektif. Ini bisa kita lihat dengan adanya setiap negara memiliki ideologi yang berbeda-beda seperti komunisme, kapitalisme, dan masih banyak lagi karena perbedaan latar sosial dan sejarah negara-negara itu berdiri. Sadar atau tidak, hanya karena perbedaan pandangan ini juga yang mengakibatkan terjadinya Perang Dunia di masa lalu.
Moralitas objektif yang bisa benar-benar dipandang objektif adalah moralitas yang berhubungan dengan Hak Asasi Manusia, ini sejalan dimana sejarah dan PBB setuju kalau genosida terhadap Palestina yang dilakukan Israel adalah hal yang salah dan itu melanggar hak asasi manusia.
Karena bagaimana pun semua manusia dipandang sama jika dilihat dari hak lahir, hidup, dan bebasnya yang diberikan kepada Tuhan. Ini juga menjadi bukti bahwa moral secara objektif juga eksis sebagai penyeimbang dari banyaknya moral yang bersifat subjektif. Karena itu dibutuhkan hukum yang berasas dari moralitas objektif sehingga hak setiap individu. Ini menjadi call back di poin nomor 1. Meskipun hukum yang diambil dari moralitas masih memiliki kecacatan tapi karena hukum itu juga kita hak-hak kita masih dilindungi. Terutama terlindungi dari orang-orang utilitarian garis keras dan ekstrim dalam mencapai tujuan mereka.
Kesimpulan
Sehingga kita bisa sampai di kesimpulan, bahkan dari tokoh-tokoh fiksi seperti Robin Hood dan Batman saja kita bisa memetik dan menggali banyak sekali ilmu dibalik filosofi, motif, dan karakter di balik setiap karakternya. Bahkan mereka bisa membantu kita untuk termotivasi dan menjadi semangat kembali dalam meraih cita-cita dan masa depan kita. Kisah mereka bukan hanya sekedar tentang aksi heroik dan penuh aksi perkelahian tetapi juga penuh dengan nilai-nilai filosofi.