Memasuki era digital, masyarakat begitu mudah mengakses informasi dan pengetahuan. Termasuk informasi dan pengetahuan tentang agama Islam. Bahkan, tanpa aktif mencari, banjir informasi datang secara mandiri. Tidak mengherankan jika kemudian ada guyonan “tanya ke syekh google atau ustadz youtube”. Semua materi keagamaan tersedia, baik dari cara membaca Al Quran hingga belajar menempuh jalan makrifat.
Persoalannya kemudian, guru-guru yang muncul dari ketikan mesin pencari di internet tidak memberikan jaminan atas validitas kebenaran informasi yang disampaikan. Tidak ada sanad pengetahuan yang bisa dibuktikan validitasnya. Meskipun sudah mulai banyak juga para kiai, cendekiawan muslim yang menggunakan media digital dalam mengajarkan agama.
Otoritas keilmuan dengan demikian menjadi pudar. Kepakaran seseorang atas agama bisa saja dikalahkan dengan hanya popularitas seseorang yang memiliki jutaan subscriber atau follower di media sosial. Ini bertolak belakang dengan bagaimana dulu agama Islam diajarkan. Kualitas seorang tokoh atau guru agama menentukan materi agama apa yang mereka ajarkan. Sehingga pola pendidikan agama mengalami kekacauan.
Dahulu, masyarakat Islam belajar agama kepada beragam guru agama sesuai kompetensinya masing-masing. Karel Streenbrink dalam Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, secara umum terdapat lima guru agama di abad ke-19, yaitu:
1. Guru Ngaji Qur’an.
Tugas guru ngaji yaitu menyampaikan pengajaran huruf Arab, rukun Islam, salat dan membaca juz ‘amma. Setelah selesai murid tidak mendapatkan ijazah, tetapi melaksanan tammatan yang dibarengi dengan khitan. Dalam pengajian ini, pendidikan ibadah lebih ditekankan dibanding pendidikan sosial dan moral.
2. Guru Kitab.
Guru kitab yang dimaksud ialah para kyai pesantren. Mereka mengajarkan agama secara mendalam. Pendidikan di pesantren, biasanya dilakukan di luar kota besar.
3. Guru Tarekat.
Para kiai pesantren, selain mengajarkan kitab, juga mengajarkan tarekat. Murid-muridnya biasanya berusia lebih tua dibanding santri biasa. Hubungan antara murid dan guru dibina mulai pengajian Al-Qur’an, kitab dan semakin erat pada pengajian tarekat. Selain itu, tidak semua orang bisa menjadi guru tarekat. Serang guru tarekat harus memiliki ijazah yang bersambung sanadnya sampai pendiri tarekat.
4. Guru untuk Ilmu Ghaib, Jimat dan lain-lain.
Kemampuan ini biasanya dimiliki oleh guru kitab dan guru tarekat. Ia memiliki semacam rajah atau amalan yang biasanya dibutuhkan oleh masyarakat awam.
5. Guru yang Tidak Menetap.
Guru ini lebih dikenal sebagai istilah kiai keliling. Ia terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama orang Arab/ Indonesia yang keliling ke suatu tempat untuk mencari jamaah haji sambil berceramah dan berjualan jimat, air zamzam dan tasbih. Kelompok kedua adalah golongan pertapa dari goa satu ke goa lainnya dengan ditemani beberapa murid pilihannya.
Dari kelima guru agama di abad 19 terdapat pola pendidikan masyarakat muslim di Jawa. Pendidikan mereka dimulai dari belajar mengaji Al Quran dan tata cara beribadah dengan guru ngaji Al-Quran. Setelah rampung, mereka dikhitan dan biasanya melanjutkan pergi belajar ke pesantren. Disanalah mereka menimba ilmu agama kepada guru kitab.
Setelah lama belajar di pesantren, para santri berbaiat pada guru tarekat yang memiliki sanad yang terhubung dengan pendiri tarekat. Biasanya para guru tarekat ini juga menjadi pengasuh atau kiai di sebuah pesantren. Dari laku lampah (suluk) inilah para guru-guru tarekat memiliki karomah-karomah yang membentuk kharisma diri seorang ulama. Mereka disegani karena keistikamahannya dalam mengamalkan ajaran agama.
Bahkan, banyak dari para guru tarekat memiliki amalan-amalan dan rajah yang biasanya digunakan untuk jawaban sebagai bantuan atas persoalan hidup yang dialami masyarakat awam. Pembentukan seorang ulama di abad 19 ditempa dengan sedemikian runtutnya. Mereka berguru kepada para ulama yang memiliki kompetensi atas kepakaran ilmu agamanya masing-masing.
Jika dibandingkan sekarang, seseorang yang hanya bermodal kemampuan membaca Al Quran dan terjemahannya bisa menjadi guru dan menjawab pertanyaan keagamaan apapun. Tidak ada jenjang dan level pendidikan di era digital. Batas-batas kepakaran hilang dan guru baca tulis Al Quran di era ini bisa saja lebih populer dan diikuti mayoritas umat Islam. Tanpa reputasi sanad keilmuan dan proses penggemblengan oleh seorang ulama.