Diskursus bela negara akhir – akhir ini memantik diskusi yang menarik dikalangan masyarakat, hal tersebut tidak lepas dari adanya ancaman disintegrasi bangsa yang setidaknya berasal dari dua kelompok, yaitu kelompok separtis dan kelompok islam politik. Kelompok separatis mengancam integrasi bangsa melalui gerakan fisik (baca: perang) dengan tujuan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sedangkan kelompok islam politik mengancam integrasi bangsa melalaui gerakan ideologi, propaganda dan politisasi islam demi libido kekuasaan.
Dalam pandangan Muhamad Iqbal (Bapak Spiritual Pakistan) Islam Politik diartikan sebagai upaya sekelompok orang dengan menggunakan simbol-simbol Islam untuk kepentingan meraih kekuasaan. Iqbal secara tegas mengkritik gerakan islam politik ini yang hanya memanfaatkan islam untuk kepentingan pragmatis-oportunis kelompoknya.
Melihat realitas dilapangan, gerakan kelompok islam politik ini didukung oleh kelompok – kelompok yang sedari awal memang menentang eksistensi Indonesia sebagai negara bangsa (nation state), misalnya orang-orang eks ormas yang sudah dibubarkan pemerintah yaitu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Tentu ini alarm bagi kelangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara. Menyerahkan spektrum kepemimpinan kepada gerakan kelompok tersebut sama saja mengikhlaskan Indonesia bubar tinggal nama.
Menyadari betapa bahayanya ancaman tersebut, maka dibutuhkan counter strategi yang masif dari seluruh elemen bangsa untuk menghadang laju ruang gerak mereka. Salah satu counter strategi yang dianggap relevan yang dapat dilakukan saat ini adalah dengan menggelorakan kembali semangat bela negara.
Bela negara dimaksud disini tidak dimaknai sebagai suatu gerakan konvensional-konfrontatif dengan mengangkat senjata, tetapi dengan membumikan semangat cinta tanah air (hubb al-wathan) melalui cara menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, taat hukum, toleransi antar umat beragama dan menjaga kohesi sosial antar sesama warga negara.
Perintah Undang-Undang
Bela negara sejatinya telah didesain secara konstitusional tepatnya terdapat pada Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Dasar NRI 194, yaitu “setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara”. Pasal 27 ayat (3) disebutkan bahwa : “Tiap – tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara”.
Lex operatum dari UUD NRI 1945 tersebut tersebar dalam beberapa undang-undang salah satunya terdapat dalam Pasal 9 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan negara. Pada pasal a quo secara tegas menggariskan bahwa bela negara merupakan suatu hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap warga negara. Lalu bagaimana mengejawantahankan norma hukum tersebut?
Ada beberapa cara dalam mengimplementasikan kewajiban bela negara untuk generasi saat ini, yaitu melalui pengakuan terhadap pancasila sebagai ideologi negara, menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, taat hukum, toleransi antar umat beragama dan menjaga kohesi sosial antar sesama warga negara.
Selain diatur dalam norma hukum positif kewajiban bela negara juga merupakan perintah agama (baca: islam). Legitimasi dalil naqli tentang kewajiban bela negara tersebar dalam beberapa ayat Al-Qur’an, seperti halnya Allah berfirman : “Hai orang-orang yang beriman apabila kamu bertemu dengan orang-orang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barangsiapa yang mundur di waktu itu kecuali berbelok (untuk siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah dan tempatnya ialah neraka jahannam. Dan amat buruklah tempat kembalinya.” (QS. Al-Anfal 15-16). Ayat tersebut dapat dipahami sebagai dasar kewajiban dan sosio-historis, agar senantiasa membela harga diri dan kedaulatan negara.
Islam juga memandang bahwa salah satu manifestasi bela negara adalah dengan taat pada pemimpin yang sah, seperti di legitimasi oleh firman Allah SWT: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu”. (QS.Annisa : 59).
Sementara itu jika mengkorelasikan dengan al-maqasid al- shari’ah (tujuan hukum islam), yaitu Hifdz Ad-Din (Memelihara Agama), Hifdz An-Nafs (Memelihara Jiwa), Hifdz Al’Aql (Memelihara Akal), Hifdz An-Nasb (Memelihara Keturunan), Hifdz Al-Maal (Memelihara Harta), maka diskursus bela negara akan menjamin pencapaian tujuan hukum islam tersebut.
Dalam konteks Indonesia sendiri ada semacam adagium yang diusung oleh Ormas Islam terbesar di dunia yaitu Nahdlatul Ulama (NU) yang bersumber dari dawuh Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari, yaitu : hubb al-wathan min al-iman (cinta tanah ari sebagian dari iman). Ungkapan tersebut meminjam istilah Ernest Renan sebagai le desair d’etre dan pelecut sikap herosime dan patriotisme bagi pelaku sejarah waktu itu ketika jihad melepaskan Indonesia dari cengkraman imperialis barat.
Cinta tanah air merupakan manifestasi sikap fundamen dalam upaya bela negara, tanpa didasari cinta tanah air (nasionalisme) maka tidak akan lahir sikap dan perilaku bela negara. Apakah cinta tanah air memiliki legitimasi mengikat dalam ajaran islam? Jawabannya ada pada sebuh hadist Ibnu Abbas dalam riwayat al-Tirmidzi yang menjelaskan betapa cinta dan bangganya Rasul pada tanah kelahirannya. Rasa cinta tersebut terlihat dari ungkapan beliau terhadap Mekah. Beliau mengatakan, “Alangkah indahnya dirimu (Mekah). Engkaulah yang paling kucintai. Seandainya saja dulu penduduk Mekah tidak mengusirku, pasti aku masih tinggal di sini” (HR: al-Tirmidzi).
Ala kulli haal, Rasul telah mengajarkan cinta tanah air (nasionalisme), maka sudah sepantasnyalah kita sebagai umatnya mempraktekan perintah tersebut.