Bicara mengenai masyrakat perkotaan saat ini, tak jarang dari kita yang membayangkan tentang ritme hidup yang tinggi, perilaku konsumerisme, dan gaya hidup materialis. Semuanya sendiri saling berhubungan dan menjadi sebab akibat dari perlakuan lainnya.
Kompetisi semu yang terjadi di antara masyrakat urban dalam meraih eksistensi sosial lewat materi menjadi sebab manusia–manusia tersebut menetapkan standar tinggi dalam bekerja. Tentu hal ini dilakukan guna meraih kemampuan untuk mengkonsumsi materi – materi tersebut.
Walau betul bekerja itu adalah keharusan tiap manusia dalam hidupnya, namun ada nilai – nilai sosial yang hilang ketika manusia terlalu tinggi dalam menetapkan standar kerja dalam pemenuhan hidupnya. Manusia bisa kehilangan nilai dasarnya sebagai manusia sosial. Krisis kemanusiaan sepertinya telah menjadi masalah lama dalam tatanan masyarakat kita karena hal itu.
Nilai kongkrit macam apa yang sebetulnya hilang memang? Jika harus muncul pertanyaan macam itu, jawaban paling sederhana menurut saya adalah relasi sosial. Hubungan sederhana antar manusia yang diisi dengan kepedulian sampai obrolan basa basi untuk tetap memanusiakan manusia itu sendiri.
Ilustrasi sederhananya kita membayangkan seorang karyawan swasta di Jakarta yang harus bangun pagi untuk berangkat ke kantor. Menghabiskan banyak waktu di perjalanan karena tingkat kemacetan yang tinggi. Bekerja di kantor dengan tekanan yang tinggi dengan sistem – sistem kerja yang cenderung kaku.
Pulang malam hari dan langsung memilih untuk beristirahat. Akhir pekan? Untung–untung ada waktu untuk melakukan kegiatan refreshing dan bersosialisasi. Kalau tidak digunakan penuh untuk istirahat, bisa jadi untuk mengerjakan pekerjaan yang tidak terselesaikan di kantor pada hari kerja.
Kita hidup atas kemauan–kemauan pribadi. Kesepakatan sosial yang seharusnya ada menjadi hilang karena gaya hidup kita sendiri. Ini yang disebut Sigmun Freud sebagai masyarakat yang sakit
Sungguh realitas yang mengerikan dan membosankan. Tapi sebagian mungkin bertanya – tanya apa memang salahnya bekerja dengan keras? Toh, bekerja itu bagian dari pemenuhan kehidupan. Mau hidup lebih baik? Bekerja keraslah. Memang bekerja keras adalah keharusan. Yang menjadi perhatian adalah terkikisnya nilai relasi sosial yang seharusnya porsinya tidak dibiarkan seadanya atau bahkan sampai hilang.
Padahal jika kita ingat – ingat, tak jarang kita mendengar bahwa jangan pernah melupakan relasi. Tetapi dengan realitas semacam ini, relasi macam apa yang harus kita kejar? Relasi berbasis apa?
Namun mungkin beberapa dari kita akan mempertanyakan manfaat kongkrit macam apa yang kita harapkan dari sebuah relasi sosial yang baik? Apakah dengan sebuah relasi sosial yang baik kita akan mampu hidup dengan nyaman?
Jawabannya bisa. Dengan apa? Dengan memanfaatkan nilai – nilai yang kita dapatkan dari sebuah relasi sosial yang baik. Hizkia Yosie menyebut bahwa kemampuan sosial seperti kemampuan analisis, kepekaan terhadadap sekitar, kemampuan problem solving, hingga kecerdasan emosi adalah hal yang bisa menjadi modal kita dalam bekerja. Dan kemampuan tersebut adalah hal yang bisa didapatkan lewat relasi sosial yang baik.
Bahkan jika dibayangkan, kemampuan macam itu akan membuat kita bekerja dalam lingkungan kerja yang sepenuhnya memanusiakan kita. Karena kemampuan tersebut adalah nilai – nilai dasar kita sebagai manusia.
Karena jika kita sadari kemampuan sosial macam itu menjadi sebuah bekal penting untuk kita ke depannya. Kita mungkin saat ini abai terhadap relasi sosial karena sudah terkungkung dalam cangkang cita – cita gaya hidup dan sistem kerja saat ini. Tapi ada satu yang tidak boleh diabaikan bahwa ada agenda otomasi yang terus berjalan.
Agenda otomasi yang terus berjalan ini akan membuat kita cepat atau lambat tak lagi bisa bekerja pada sektor – sektor yang kemampuannya bisa digantikan oleh mesin. Mayoritas para pekerja yang mengabaikan relasi sosial pun menjadikan agenda otomasi sebagai momok yang menakutkan bagi mereka. Namun alih – alih memikirkan cara menyikapinya, mereka hanya takut tanpa memikirkan apa yang harus dilakukan.
Fenomena ini tak bisa dihindarkan, namun jangan juga dijadikan sebagai ketakutan. Cara kita bersikap dan mempersiapkannya adalah kunci untuk menghadapinya. Celah untuk menghadapi agenda otomasi macam ini karenanya adalah mempersiapkan dan mengasah kemampuan sosial atau soft skill seperti yang telah disebutkan sebelumnya.
Karena bahkan kecerdasan buatan atau artificial intelligence pun belum ada yang mampu memiliki kemampuan berpikir secara abstrak seperti manusia. Bahkan perusahaan teknologi sebesar Google pun masih mengakui bahwa mereka butuh kompetesi macam itu yang hanya bisa didapatkan dari seorang manusia.
Garis besar yang ingin coba disampaikan adalah rutinitas masyarakat dalam memandang nilai kerja saat ini seharusnya bisa lebih baik dari ini. Pemenuhan kebutuhan pribadi tidak haruslah menghapus nilai – nilai humanisme kita sendiri.
Karenanya, perbaikan kualitas relasi sosial individu menjadi salah satu cara dalam mengembalikan nilai humanisme kita yang sudah terkikis. Terlepas dari kepedulian kita terhadap manusia lain, ini juga sebagai upaya mengembalikan kepedulian terhadap diri kita sendiri sebagai manusia.
Lagi pula, upaya menghidupkan kembali nilai – nilai humanis dalam diri merupakan salah satu cara mengembalikan salah satu nilai penting dari manusia. Yaitu kerja. Kemampuan sosial yang menjadi bagian dari nilai humanis kita harus diasah guna bekal kita menghadapi agenda otomasi yang terus berjalan saat ini. Beriringan dengan krisis kemanusiaan yang disebabkan ritme hidup yang tinggi akibat sistem kerja saat ini.