Jumat, April 19, 2024

Bekas Ekstremis: Syariat Hanya Ada di Otak, Kedamaian di Hati!

Achmad Santoso
Achmad Santoso
Editor Jawa Pos, pemerhati bahasa, pegiat Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah

Masih ingat dengan Bom Bali 1 dan 2 yang terjadi lebih dari satu dekade silam? Siapa otak maupun pelaku yang melekat di benak Anda ketika mendengar dua kasus yang meluluhlantakkan sebagian tempat vital di Pulau Dewata itu? Amrozi, Imam Samudra, dan Ali Ghufron di Bom Bali 1? Kemudian, Dr Azhari di Bom Bali 2? Itu diperkuat dengan pencarian beberapa literatur. Di daftar Wikipedia, misalnya.

Tidak! Saya sedang tidak ingin membuat memori Anda kembali ke peristiwa memilukan sekaligus memalukan itu. Justru, saya bakal menyuguhkan hikmah di balik peristiwa tersebut. Ada fakta yang mungkin belum diketahui sebagian orang.

Rabu, 3 Oktober lalu, kami di acara Youth Leadership Peace Camp (YLPC) 2018 kedatangan ”tamu tak terduga”. Youth Leadership Peace Camp, secara umum, dimaknai sebagai sebuah wadah pertemuan anak-anak muda lintas suku dan agama yang bertujuan untuk saling berdialog demi menumbuhkan jiwa-jiwa empati antarsesama. Robert Poppe, salah seorang inisiator Peace Camp yang berasal dari Equal Access International, memperkenalkan ”tamu tak terduga” itu kepada sekitar 50 peserta.

Semula, Robert Poppe hanya menyampaikan bahwa bapak ini adalah salah satu contoh orang yang berhasil insaf dari paham radikalisme yang selama ini ia anut. Tentu saja hal itu relevan dengan tujuan Peace Camp yang diikuti juga oleh teman-teman Kristiani. Supaya mereka mengetahui bahwa Islam yang benar adalah Islam nirkekerasan dan rahmatan lil alamin.

Namun, pengakuan Pak Usman, orang itu, di luar prediksi. ”Empat puluh tahun lalu acara ini sangat ternoda di mata saya,” kata pria bernama lengkap Usman Kadir (nama kini) itu, lirih. Yang ia maksud adalah forum yang berisi antaragama seperti Peace Camp ini. Sebab, Pak Usman empat puluh tahun lalu sedang giat-giatnya mempropagandakan internasionalisasi Islam dalam bentuk syariah, daulah, atau Islamiah.

Singkat cerita, Pak Usman kala itu sudah di bawah pengaruh jaringan Al Qaeda pimpinan Osama bin Laden di Afghanistan. Kelompok ini menganggap hanya Islam di Afghanistan, Pakistan, dan Syria yang benar. Bahkan, Islam di Makkah yang bagi sebagian orang dianggap sebagai puncak untuk memperkuat keimanan lewat ibadah haji maupun umrah pun tak diakui. Apalagi Indonesia. ”Indonesia itu Islam kafir,” kenang Pak Usman.

Ekspansi ke Indonesia pun dimulai sekitar tahun 1990.  Aebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia menjadi sasaran utama. ”Indonesia mudah dikuasai karena sudah ada pohonnya, yaitu Islam,” begitu Pak Usman menganalogikannya. Hingga kemudian, tahun 2002 meletuslah tragedi Bom Bali 1 yang disusul Bom Bali 2 tiga tahun setelahnya. Indonesia gempar. Salah satu kawasan yang bagi sebagian orang mancanegara justru lebih dikenal ketimbang negara Indonesia kala itu menjadi pusat perhatian dunia.

Dengan suara agak terbata-bata, Pak Usman Kadir kemudian mengklaim bahwa dirinyalah yang menjadi salah satu otak Bom Bali 2. Ia lebih berperan sebagai ”pendidik”. Pada titik ini, saya terkejut. Saya dihadapkan pada seseorang yang tidak sekadar penganut ekstremisme, tetapi ternyata punya peran begitu jauh dalam peristiwa itu. Tapi kemudian, kisah selanjutnya membuat saya lebih saksama menyimak. ”Mukjizat” memang bisa datang kepada siapa saja dan kapan saja. Pak Usman menggunakan istilah ”mukjizat” untuk menggambarkan proses kepindahannya.

Menurut penuturan Robert Poppe, yang sudah akrab dengan Pak Usman selama bertahun-tahun, termasuk mempelajari Islam darinya, namanya kala itu sudah DPO dan terpampang di media massa. Dalam momen pencarian itu, Pak Usman sedang dihadapkan pada gejolak batin yang luar biasa. Ia menyendiri: tidak ada kontak dan tatap muka bahkan dengan istri dan anak sekalipun. Ia merasa bahwa upaya mendirikan negara Islam di Indonesia yang dilakukan selama ini mengalami banyak kegagalan demi kegagalan.

Hingga kemudian, ia bertemu dengan satu orang. Satu orang inilah yang berdasar kesaksian Robert Poppe menjadi kunci lantaran telah membalik pandangan Pak Usman tentang Islam. Ia bersama satu orang ini mengalami proses panjang bertahun-tahun, melakukan apa yang disebut deradikalisasi. Lantas, penyergapan yang sekaligus menewaskan Dr Azhari di Batu tahun 2005 seolah menjadi ”titik balik” nasib Pak Usman. Mungkin inilah yang ia sebut sebagai ”mukjizat”. Pemerintah menyatakan bahwa Pak Usman bukanlah orang yang dicari-cari selama ini. Segendang sepenarian, ia sekaligus sudah menemukan ajaran Islam yang sesungguhnya, yaitu Islam moderat.

”Ternyata, tidak bisa Arab-sentris. Karena kalau Arab-sentris, kita tidak akan dapat membuat kedamaian di dunia,” kata Pak Usman berulang-ulang disampaikan kepada peserta.

Yang dimaksud Arab-sentris tentu saja ajaran Islam senantiasa saklek dan mengikuti kultur-kultur Arab. Sementara itu, jika Islam diamalkan dengan Quran-sentris, ajarannya akan diterima oleh umat Islam di mana saja. Bukan hanya Islam bahkan, umat lain pun bisa merasakan dampaknya. Seperti itulah Islam rahmatan lil alamin.

Ada suatu momen ketika Pak Usman berangkulan dengan Robert Poppe yang nonmuslim. Berkali-kali ia melakukan itu sembari bilang, ”Umat Islam dan Kristen itu ibarat dua jari (jari ibu dan jari telunjuk) yang saling berdekatan.” ”Sebagai dua agama dengan umat terbesar di dunia,” lanjutnya, “Islam dan Kristen harus hidup damai dan berdampingan.”

Kini, Pak Usman sudah ”hidup normal”. Ia menjadi salah satu orang yang mengajarkan perdamaian lewat dakwah-dakwah dari masjid ke masjid. Ia seperti melakukan ”pengakuan dosa” di hadapan para peserta Peace Camp. ”Syariat itu hanya ada di otak, sedangkan kedamaian sumbernya di hati,” nasihatnya.

Ia hakulyakin bahwa Pancasila adalah satu-satunya yang bisa mempersatukan Indonesia yang majemuk ini. Sebab, Pancasila bisa mengakomodasi banyak kepentingan. Bukan khilafah seperti yang dipropagandakan oknum ekstremis. Banyak contoh negara yang ingin menegakkan sistem khilafah, tapi layu sebelum berkembang. Afghanistan, Syria, dan Pakistan urung berhasil menegakkan sistem itu, bahkan kondisi negara mereka kian hari kian memburuk.

Perihal Pancasila ini, pendapat Prof Mahfud MD patut dijadikan referensi. Pancasila merupakan buah dari kesepakatan bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia bertuhan, tetapi berbeda-beda. Maka, diambillah jalan tengah: Indonesia bukanlah negara agama dan bukan negara sekuler. Contoh negara agama, antara lain, Vatikan dan Arab Saudi. Di sisi lain, kawasan Barat seperti Prancis dan Amerika menganut paham negara sekuler. Soal ini, Gus Dur pernah berkelakar, ”Kalau bukan negara agama dan bukan negara sekuler, berarti Indonesia ini negara yang bukan-bukan.”

Negara Pancasila memang mengambil segi-segi positif dari negara sekuler dan agama. Literatur negara Pancasila muncul belakangan yang disebut sebagai teori prismatik pada 1961. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat prismatik yang mengambil jalan tengah terbaik di antara dua isu dunia yang saling bertentangan: sosial komunis dan liberal kapitalis.

Pada akhirnya, semoga Pak Usman istikamah menyemaikan perdamaian. Istikamah dalam mengajarkan Islam rahmatan lil alamin, Islam yang menjadi rahmat bagi seluruh alam. Konsisten menyuarakan bahwa negara Pancasila merupakan sistem paling relevan untuk diterapkan di Indonesia yang majemuk ini.

Achmad Santoso
Achmad Santoso
Editor Jawa Pos, pemerhati bahasa, pegiat Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.