Cita-cita Marx untuk mewujudkan periode sejarah yang diimpikannya yaitu periode diktator proletariat tidak terjadi. Dunia kita sekarang tetap berada pada periode ke-empat versi Marx: kapitalisme, yang masih konsisten mengandalkan pasar seperti apa yang dibicarakan oleh Marx pada Das Kapital.
Bedanya, kapitalisme masa kini lahir dalam bentuk-bentuk kerjasama global, didukung oleh regulasi dan politik elektoral, serta bersembunyi di balik balutan negara kesejahteraan. Menurut Marx kapitalisme lahir setelah komunisme primitif, perbudakan, dan feodalisme. Dalam perkembangannya gagasan Marx banyak di kritik dengan template kritikan andalan yaitu utopis. Penganut terminologi utopis percaya bahwa tak ada lagi sistem yang lebih baik di dunia dibandingkan dengan sistem kapitalisme.
Sistem yang ada sekarang membuat harga sepasang sepatu Nike dan Adidas di nilai berdasarkan cara kerja pasar. Ditambah tentu saja tidak ketinggalan penggunaan Cristiano Ronaldo sebagai Brand Ambassador yang bernilai jutaan euro rupiah. Modal Nike dan Adidas berpindah dari negara Paman Sam ke tanah antah berantah di Asia Tenggara, Vietnam dan Indonesia.
Alasannya hanya satu: meminimalisir biaya produksi dan memperbesar keuntungan. Dalam hal ini, Vietnam dan Indonesia adalah jawabannya. Sembari tentu saja Indonesia dan Vietnam diiming-imingi manfaat dari Foreign Direct Investment, penyerapan tenaga kerja, dan sumbangannya terhadap pendapatan negara.
Harga jual Nike tentu saja tidak memperhitungkan nilai pekerja di dalamnya secara benar. Kesuksesan memperoleh keuntungan miliaran US Dollar per-tahun juga hanya nampak pada deretan mobil sport milik pesepakbola klub-klub liga inggris, bukan pekerja-pekerja pinggiran.
Sistem ini jugalah yang menjadi biang keladi eksploitasi tanpa henti yang dilakukan kepada Anak Buah Kapal (ABK), khususnya ABK asal Indonesia. Baru-baru ini, berita pembuangan jenazah kapal ABK asal Indonesia di perairan Korea Selatan oleh kapal milik Tiongkok menjadi sorotan di dalam negeri.
Berawal dari postingan youtuber Jang Hansol, ia menerjemahkan berita berbahasa Korea yang mengungkap mengenai hal tersebut. Diduga kuat terjadi praktik ekspolitasi pekerja di kapal pengangkut ikan yang sedang berlayar di perairan Korea Selatan. Jam kerja tidak manusiawi, penyiksaan, dan upah rendah. Beberapa kanal berita di Korea Selatan memberitakan bahwa ABK dipaksa bekerja 18-30 jam dalam satu kali shift.
Dalam artikel Jawa Pos (07/05/20) Pemerintah Indonesia mengatakan bahwa pelarungan jenazah ke laut sebenarnya diperbolehkan dan diatur oleh International Labour Watch (ILO) dalam Surat Edaran International Maritime Organization (IMO) No. 2976 tanggal 2 Juli 2009.
Padahal selain masih dalam proses investigasi, akar masalahnya bukan soal pembuangan jenazah ke laut saja, melainkan sistem kerja itu sendiri yang sangat mungkin membuat orang mati. Siapa yang tidak mati jika dipaksa bekerja minimal 18 jam ditengah laut? Belum lagi jika membicarakan mengenai adanya dugaan penganiyaan terhadap ABK di kapal ikan tersebut. Sudah pula bekerja belasan jam, tidur tidak cukup, ditengah laut, dianiaya pula.. manusia manapun perlahan juga akan mati jika diperlakukan seperti itu.
Tidak ada yang lebih buruk dari sebuah kejahatan yang dilanggengkan oleh keberadaaan sebuah sistem. Faktanya, kasus ekspolitasi ABK asal Indonesia oleh kapal-kapal asing bukan kali ini saja terjadi. Jika masalah hanya ada pada keteledoran perusahaan dan agensi pengirim ABK yang tidak menepati janji sesuai kontrak dan melanggar nilai-nilai kemanusiaan, mengapa kejadian macam ini terus berulang?
Permintaan produksi ikan yang tinggi untuk manusia-manusia di daratan tentu menggiurkan bagi para pemodal untuk dapat memproduksi ikan sebanyak-banyaknya demi memenuhi kebetuhan tersebut. Produksi lebih banyak berarti keuntungan juga semakin banyak. Untuk memenuhi itu, dibutuhkan tenaga kerja yang dapat bekerja siang malam ditengah medan lautan yang berat dengan iming-iming upah yang lebih tinggi dari lapangan pekerjaan yang tersedia di negara asalnya.
“Mengapa tidak mempekerjakan orang lebih banyak, agar pembagian jam kerja kerja dapat lebih manusiawi?”
Sayangnya kapitalisme tidak sebaik itu. Kapitalisme dapat dengan mudah memaksa orang melek berjam-jam walau kematian mengancam. Hal yang terpenting bagi kapitalisme adalah bagaimana memangkas biaya produksi dari keringat pekerja agar keuntungan yang diperoleh semakin besar. Hal ini didukung dengan Jurnal Kriminologi Universitas Indonesia berjudul Perbudakan Terhadap Anak Buah Kapal Penangkap Ikan Asing di Indonesia yang di tulis oleh Muhammad Dwibagus Lisandro & Mohammad Irvan Olli.
Penulis berfokus pada kasus pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi pada ABK di Benjina, Indonesia. Di dalam tulisannya, penulis menyebutkan bahwa perbudakan dan penyelundupan manusia yang terjadi di Benjina pada era Menteri Susi Pudjiastuti dilanggengkan oleh tingginya permintaan tenaga kerja dengan upah yang rendah.
Para ABK yang terekspolitasi seakan-akan diberi pilihan, padahal kenyataannya tidak. Mereka sama sekali tidak punya pilihan. Pekerjaan yang tersedia di dalam negeri terbatas, pun upahnya tak lebih baik. Hal tersebut diperparah dengan rendahnya akses mereka akan pendidikan karena lingkaran setan kemiskinan yang terus dipertahankan.
Orang tua mereka tidak punya pilihan untuk memilih mana yang harus didahulukan: 1 liter beras atau buku pelajaran sekolah. Kondisi tersebut sangat ideal untuk kebutuhan pasar akan tenaga kerja murah. Maka dari itu syarat untuk menjadi ABK kapal (khususnya kapal produksi ikan) sangat mudah, cukup dengan ijazah Sekolah Menengah Pertama atau bahkan Sekolah Dasar. Mereka diberi price tag, seringkali disebut low-skilled, seakan mereka adalah barang yang mudah dibeli dan didepak.
Suka ataupun tidak, harga itulah yang harus di bayar oleh pekerja agar dapat memenuhi keinginan kita untuk memakan sushi dan sashimi di restoran favorit. Tentu saja ikan salmon, tuna, octopus, unagi, dan makanan favorit kita lainnya tidak diambil dan diternakan begitu saja di akuarium.
Semua berasal dari laut, kekayaan alam milik bumi yang menjadi rebutan semua orang karena potensi penghasilan sumber dayanya yang sangat besar. Dalam waktu dekat diharapkan pemerintah Indonesia dapat melakukan investigasi bersama dengan pemerintah China untuk mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada ABK asal Indonesia di kapal pengangkut tuna tersebut.
Dalam jangka panjang, jika memang tidak mau di bilang bedebah, dunia wajib duduk bersama untuk membuat regulasi yang dapat memusnahkan praktik perbudakan modern yang melulu dilindungi oleh sistem bernama kapitalisme global.
Daftar Pustaka:
Lisandro, Muhammad Dwi Bagus dan Mohammad Irvan Olli. 2017. Perbudakan Terhadap Anak Buah Kapal Penangkap Ikan Asing di Indonesia. Jurnal Kriminologi Indonesia