Anda pernah dipalak preman? Syukur jika belum pernah. Amit-amit jabang bayi. Biarpun begitu, pemalakan bukan hal yang asing dalam masyarakat kita. Bahkan bisa dikatakan bahwa ia telah terinternalisasi menjadi norma. Saya bersyukur belum pernah dipalak, namun cukup sedih rasanya ketika pada suatu hari melihat pemalakan di depan mata.
Pada suatu hari yang panas dan terik menyilaukan, saya mampir ke tempat es kelapa muda yang kemudian jadi langganan saya. Ketika menunggu pesanan saya yang sedang dibuatkan, datang seseorang bertubuh gempal, berkaos singlet, dengan celana yang tampak seperti bagian dari sebuah kostum.
Si ibu penjual, yang tampaknya sudah hafal dengan situasi ini, tanpa melihat menunjuk ke suatu tempat di ujung gerobaknya. “Nyoh, neng kana (tuh, di situ),” katanya. Orang bertubuh gempal yang tampak terburu-buru ini dengan cepat mengambil segulung uang pecahan lima ribuan dari tempat yang ditunjuk itu, kemudian menyaut sebungkus es kelapa muda yang sepertinya sudah disiapkan si ibu.
Saya, yang sebetulnya sudah menduga apa yang terjadi, memastikan kepada si ibu. “Siapa itu, Bu?” tanya saya. “Biasa, Mas. Setoran rutin. Dari sana itu lho,” jawab si ibu, menunjuk ke arah kantor sebuah organisasi.
***
Si ibu, rupanya sedang menjadi korban pemalakan yang bermodus iuran keamanan. Orang bisa berdebat: iuran keamanan? Bukannya itu hal yang wajar, seperti halnya iuran keamanan lingkungan yang ditagihkan setiap bulan di kampung? Apakah karena iuran di kampung itu “resmi”?
Tentu ada perbedaan mendasar di antara keduanya. Pemalakan jelas melibatkan unsur paksaan. Dalam kasus ibu penjual kelapa muda, ia terpaksa (atau dipaksa?) membayar sejumlah uang supaya aktivitas jualannya tidak diganggu. Jika menolak untuk membayar, si pemalak tidak menjamin keamanan dan keselamatan aktivitas berjualan si ibu dari gangguan preman lain. Bahkan besar kemungkinan bahwa si pemalak menjadi gangguan keamanan itu sendiri.
Sementara dalam iuran keamanan kampung terdapat unsur kesepakatan (misalnya dalam hal ketetapan jumlah iuran, alokasi, dan waktu pembayaran), sukarela (karena kita menyerahkan urusan keamanan kepada pihak yang diberi tugas pengamanan kampung), dan kita juga bisa mengharapkan transparansi dalam penggunaan iuran keamanan itu. Hal-hal ini tentu tidak bisa kita harapkan dalam “sistem keamanan” rekayasa para preman pemalak tadi.
Pemalakan seperti yang dialami ibu penjual es kelapa muda tadi sebetulnya sangat dekat dengan kehidupan kita. Bahkan dalam bentuk yang lebih subtil, ia telah menjadi sebuah kebiasaan.
Salah satu kebiasaan kita yang ajaib adalah berharap mendapat traktiran orang yang sedang berulangtahun. Sebetulnya tidak ada masalah jika hanya berharap dalam hati, tapi nyatanya tak jarang yang dengan frontal minta ditraktir.
Jika yang berulangtahun sedang dalam kondisi keuangan yang prima, mentraktir teman-teman tentu akan menyenangkan. Namun jika yang berulangtahun keuangannya sedang seret, sementara norma sosial menyepakati acara traktiran ulang tahun sebagai sebuah kepantasan sosial, maka ia akan memunculkan rasa terpaksa. Dalam pengertian ini, orang-orang yang meminta traktiran sesungguhnya sedang memalak temannya yang berulangtahun. Dan sudah barang tentu tidak ada teman yang suka dipalak.
Dalam dunia bisnis, tukang palak punya modus dan spesifikasinya sendiri. Kita tahu bahwa cukup umum perusahaan yang sudah maju (baik swasta maupun yang milik negara) biasanya mencadangkan “biaya entertain” bagi karyawan di tingkat manajerial. Biasanya, “biaya entertain”—atau apa pun istilahnya—biasa digunakan untuk memberi pelayanan dengan maksud memanjakan calon pelanggan/klien sehingga dapat memperlancar tercapainya deal.
Lalu di mana pemalakannya? Akan saya ilustrasikan kepada Anda. Dalam beberapa kasus, “biaya entertain” ini digunakan untuk melakukan lobby kepada pejabat instansi tertentu yang berhubungan langsung dengan kelancaran bisnisnya. Mestinya orang mudah mengaitkan kebiasaan ini pada perilaku koruptif. Namun sebagian orang (termasuk juga praktisinya) lebih suka menganggap ini area abu-abu, karena lobby yang dilakukan bisa sesederhana mengajak pejabat yang bersangkutan untuk meeting sambil makan siang di restoran (yang tentu saja ditraktir).
Tentu kita tidak pernah tahu apakah ada biaya-biaya tambahan maupun gratifikasi lainnya yang diberikan si pebisnis untuk menutup deal tersebut, kecuali kemudian terungkap pada proses peradilan. Namun “sekadar” mentraktir adalah hal yang paling mudah dilakukan, paling aman, dan mungkin paling halus sehingga dianggap paling sedikit “dosa”-nya.
Di sisi lain, si oknum pejabat yang telanjur termanjakan dengan “entertain” yang sedemikian rupa, tentu tidak ingin “kerja sama” yang menguntungkan ini cepat berakhir. Untuk memastikan kerja sama berlanjut, ia bisa saja merekayasa kondisi yang membuat kepentingan si pebisnis menjadi tersandera. Segala hal yang kotor menjadi mungkin dilakukan, karena kebutuhannya tidak lagi hanya ditraktir makan di restoran mewah, tapi mungkin juga minta ditraktir biaya perjalanan dinas (mungkin agar uang saku perjalanan dinas bisa ditabung?), atau bahkan membantu membiayai pernikahan anaknya.
Si pebisnis pun pada akhirnya terpaksa terus membelanjakan “biaya entertain”-nya untuk kepentingan si oknum pejabat. Karena jika tidak, bisa jadi masalah yang lebih besar akan datang. “Entertain” yang dilakukan untuk sebuah keperluan akhirnya berlarut-larut menjadi budaya pemalakan yang—betapa pun pentingnya bagi kelancaran bisnis—tentu mengandung unsur (keter)paksaan. Inilah lingkaran setannya.
Sejauh ini kita melihat pemalakan tidak hanya dilakukan oleh preman pasar, karena ternyata ada juga preman yang “resmi” seperti ilustrasi oknum pejabat tadi. Baik preman pasar maupun yang “resmi” mengeksploitasi unsur paksaan, yang seiring berjalannya waktu, dinormalisasi menjadi sebuah norma yang berlaku bagi mereka. Buktinya, keduanya sama-sama merasa hasil palakan adalah hak yang sudah sepantasnya mereka terima. Sebaliknya, yang dipalak tidak mampu keluar dari relasi kuasa jahanam ini, sehingga pada akhirnya “merelakan” sebagian hartanya sebagai jatah preman.
***
Membicarakan unsur paksaan dalam pemalakan membuat saya khawatir: bagaimana dengan pajak yang kita bayarkan? Rasanya manfaat dan fasilitas publik yang kita dapat tidak akan pernah setara dengan jumlah pajak yang kita bayarkan, mengingat korupsi yang semakin sistematis dan terorganisir.
Sulit untuk membayar pajak tanpa rasa terpaksa, jika mengetahui laporan BPK belum lama ini bahwa puluhan miliar APBN (yang tentu berasal dari pajak yang dibayar rakyat) pada 5 kementerian/lembaga, pengelolaannya masuk ke dalam rekening pribadi pejabat? Sulit membayangkan pertanggungjawaban dan integritas pengelolaan negara bisa muncul dari hal-hal seperti ini. Jika pun ini bukan korupsi, ini adalah maladministrasi yang serius!
Jika pada akhirnya diketahui bahwa uang pajak rakyat memang mudah diselewengkan untuk kepentingan pribadi atau golongan, yang membuat saya merasa terpaksa membayar pajak, apakah salah jika mengira saya sebenarnya sedang dipalak? Dan jika memang benar demikian (bahwa saya sedang dipalak), lantas apa bedanya pemerintah dengan preman pemalak ibu penjual es kelapa muda tadi?