“Lama ga ketemu, nih. Udah kuliah ya? Kuliah di mana sekarang?”
“Sekarang saya kuliah di UI, Om.”
“Wah, hebat ya! Ambil jurusan apa di UI?”
“Saya jurusan filsafat, Om.”
“Ambil filsafat? Ngapain kamu belajar filsafat? Memangnya nanti kerjanya jadi apa?
Perbincangan imajinatif tersebut, rasa-rasanya, tidak akan asing lagi bagi Anda mahasiswa/i penggelut ilmu filsafat di beberapa kampus tertentu. Oke, mungkin tidak semua, tetapi tentu sebagian besar dari Anda.
Mungkin, terdengar hiperbola, klise, atau terburu-buru menggeneralisir, tetapi saya cukup yakin bahwa kalian-kalian pernah memperoleh pertanyaan semacam ini – dan, mungkin, sudah kebal dengan pertanyaan semacam ini.
Kalian mungkin memiliki beragam argumentasi post-factum – argumentasi “bikin-bikinan” dikarenakan kalian sudah tercebur masuk ke jurusan yang kamu pilih tersebut (demi masuk PTN, misalnya), at least agar terlihat rasional –, tetapi, setidaknya, di dalam tulisan ini saya akan memaparkan argumentasi tandingan yang membuat kalian untuk berpikir dua-tiga kali bahwa, mungkin, pertanyaan dari Om, yang merupakan saudara dari saudara sepupu bokap-mu, cukup masuk akal, atau layak dipertimbangkan: ngapain sih belajar filsafat?’
Biarkan saya memulai argumen saya, pertama-tama, melalui sebuah kejadian yang paling up-to-date yang, memang, bukan berlangsung di Indonesia, melainkan Brazil – setidaknya ktia bisa mencontoh beberapa kebijakan dari Brazil, karena GDP mereka cukup lebih unggul dibandingkan Indonesia.
Baru-baru ini Bolsonaro, presiden terpilih Brazil per Januari 2019 kemarin, melalui cuitannya di tanggal 26 April 2019 menyatakan bahwa ia, dan tentu saja pemerintahannya, berencana untuk tidak lagi mendanai beberapa jurusan humaniora – sosiologi dan filsafat – di universitas-universitas yang ada di Brazil.
Kira-kira, apa alasan dari Bolsonaro untuk mempertimbangkan pemberhentian dana dari pemerintah kepada beberapa fakultas tersebut? Lanjutan di cuitan sesudahnya, baginya, pendanaan terhadap jurusan semacam sosiologi dan filsafat adalah suatu pemborosan dalam penggunaan uang pajak rakyat. Lebih baik pendanaan dilakukan terhadap jurusan-jurusan seperti kedokteran hewan, teknik, dan farmasi, serta ilmu-ilmu eksak, yang “praktis” lainnya.
Jadi, begini, argumen pertamanya, secara singkat: buang-buang duit (rakyat)! Untuk apa kita menghabiskan uang begitu banyak untuk membeli buku-buku filsafat, berdiskusi di café a la Jakarta Selatan kalau pada akhirnya yang dihasilkan oleh kita adalah masturbasi intelektual belaka?
Lebih baik menghabiskan uang untuk keperluan-keperluan tersier lainnya mengikut arus masyarakat kelas menengah yang hedonistik ini. Untuk apa pemerintah menghabiskan uang rakyat bagi kalian, para mahasiswa/i jurusan filsafat, kalau pada akhirnya kalian “cuma bisa mikir”? Investasi yang dilakukan oleh pemerintah jadi sebuah investasi yang bodong, nggak balik modal!
Selain alasan nggak balik modal tersebut, alasan lainnya bagi Bolsonaro untuk berhenti mendanai departemen filsafat dan sosiologi, yang menjadi argumen kedua untuk tidak belajar filsafat, adalah orang yang belajar filsafat, biasanya, ngerepotin.
Filsafat (philosophy) berasal dari bahasa Yunani, yaitu philo (yang berarti cinta), dan sophos (yang berarti kebijaksanaan), sehingga, secara etimologis, filsafat dapat diartikan sebagai suatu sikap akan cinta kebijaksanaan. Filsafat, bukan hanya dapat disebut sebagai cinta kebijaksanaan, tetapi, lebih jauh lagi, adalah sebuah usaha pengejaran akan kebenaran (pursuit of wisdom).
Tindakan untuk mengejar kebenaran tersebut, pada umumnya, akan menghadapkan seseorang kepada dua pilihan: untuk terus mengikut arus dogmatisme dari segerombolan orang, atau berjalan secara mandiri, jalan yang jarang dilalui oleh orang banyak, yang sunyi, jalan keraguan. Filsafat, saya rasa, adalah pintu masuk ke dalam jalan yang sunyi itu.
Dengan memilih untuk berjalan di jalan keraguan, yang sunyi, kamu akan diperhadapkan dengan berbagai hal yang, mungkin, mengganggu berbagai hal di dalam dirimu yang sudah menjadi suatu custom; mulai dari cara berpikir, cara bertindak, dan yang lainnya.
Mungkin, pertama-tama, ia akan mendekonstruksi kepercayaan-kepercayaan inti (core belief) yang selama ini kamu asumsikan sebagai suatu hal yang absolut benar di dalam hidupmu, yang tidak terguncangkan, dan, perlahan-lahan, kemudian, kamu – atau fakultas kognitifmu – akan membentuk kepercayaan-kepercayaan baru – atau, mungkin, “merevisi” sebagian dari kepercayaan lamamu.
Kamu akan melihat bahwa dunia begitu berbeda, dibandingkan dengan bagaimana kamu melihat dunia melalui “kacamata” lamamu, yang sudah kamu tinggalkan. Bukan hanya dunia yang berbeda, melainkan dirimu juga ikut berbeda, kamu tidak lagi berpikir layaknya orang banyak yang ada di sekitarmu. Bahasa kerennya kamu jadi terlihat subversif, melawan arus, terhadap masyarakat pada umumnya.
Nah, hal tersebut yang dimaksudkan dengan penggelut filsafat itu merepotkan pada beberapa paragraf sebelumnya: mereka subversif! Bayangkan, misalnya, betapa merepotkannya bagi Bolsonaro, serta orang-orang pro Bolsonaro, untuk menghadapi para penggiat filsafat – yang subversif, yang tidak mau hidungnya dicucuk saja – yang mungkin akan melawan kebijakan-kebijakan Bolsonaro yang bernuansa anti-kritik, seksis, kapitalistik, dan sebagainya (semacam Trump versi Brazil).
Untuk apa repot-repot menjadi berbeda dengan masyarakat yang lain, berusaha menyadarkan mereka, ketika semua orang sudah “puas”, dan bahagia, dengan kehidupan yang saat ini mereka hidupi? Buat apa kita repot-repot menggnggu mereka yang sudah menikmati kehidupannya yang semacam itu?
Biarkanlah mereka berpesta, makan, dan minum (merry, eat and drink); biarkanlah mereka makan, tidur, minum, dan bekerja, menjalani kehidupan mereka yang tidak reflektif, sampai kemudian mati dengan tenang tanpa pernah menggunakan kemampuan otaknya yang sedemikian rupa.
Bukan hanya buang-buang uang dan subversif, bahkan, lebih dari itu lagi, lebih parah lagi, belajar filsafat itu akan menjadikanmu seorang ateis. Kecuali para biarawan/ti Katolik, atau saya, rasa-rasanya, hampir kemungkinan besar iman yang dimiliki oleh seseorang akan goyah, cepat atau lambat menjadikannya seorang ateis. Pernah dengan frasa “God is dead”?
Nah, itu! Itu dia salah satu frasa yang disampaikan oleh seorang filsuf asal Jerman, ingat namanya baik-baik dan jauhilah dia, Nietzsche. Jangan coba-coba belajar filsafat secara mendalam, lebih baik kita memiliki “iman” yang tidak pernah kita refleksikan, dan memperoleh “ketenangan”, bukan? Memiliki blind faith, bad faith, lebih baik dibandingkan tidak memiliki iman sama sekali.
Filsafat, meskipun begitu, tidak buruk-buruk amat kok. Setidaknya ada satu keuntungan dari seorang pembelajar, atau mahasiswa filsafat, sepengalaman penulis. Salah satu keuntungan yang mungkin dimiliki oleh seorang mahasiswi yang mengambil jurusan filsafat sebagai ilmu (kalau-kalau filsafat bisa disebut sebagai ilmu) adalah bahwa ia menjadi sebuah discussion stopper antara Abang/Mbak Gojek, Grab, Uber, dan sebagainya, dengan si mahasiswi penggelut ilmu filsafat tersebut.
Jadi, masih mau ambil filsafat?