Semua anak berhak untuk mendapatkan pendidikan. Meskipun pendidikan tidak selalu terjadi di sekolah, bagi beberapa anak dari keluarga tertentu, sekolah menjadi tempat utama untuk mendapatkan pendidikan. Di keluarga yang kedua orangtuanya sibuk, sekolah menjadi tempat yang sangat penting untuk anak—mereka bisa menghabiskan lebih dari separuh harinya di sekolah. Bagi keluarga kelas menengah ke atas, sekolah internasional bisa menjadi pilihan untuk anak mereka. Salah satu anak itu adalah Erika.
Setahun yang lalu, Erika masuk ke SMA “world class” di sekitar Jakarta. Banyak yang berubah dari dirinya, mulai dari teman sekolahnya, uang sekolahnya, bahasa yang dipakai di lingkungan sekolah, sampai barang yang mulai ia beli. Sebelumnya, ia bersekolah di sekolah islam swasta yang memakai kurikulum nasional.
Di sekolahnya yang baru, hampir semua orang berbicara pakai bahasa Inggris, ia belajar matematika dan fisika dengan bahasa Inggris (yang ternyata susahnya bukan main), sampai membuat tugas esai dengan analisis dan proyek-proyek kelompok yang banyak memakan waktu. Erika dan teman-temannya datang ke sekolah, brainstorming, bingung bersama, mendengar opini satu sama lain, dan kadang mencatat dengan laptop. Ini hal yang sangat baru untuk Erika—di sekolahnya dulu, ia cuma mendengarkan gurunya bercuap-cuap dan mengerjakan pekerjaan rumah atau Lembar Kerja Siswa.
Beberapa tahun silam, sekolah internasional diharuskan untuk mengganti namanya menjadi Satuan Pendidikan Kerjasama (SPK). Sekolah internasional juga beberapa kali mendapatkan kritik dari berbagai macam pihak, seperti Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) DIY, Kadamanta Baskara Aji yang berkata bahwa sekolah internasional tidak seharusnya tersedia untuk warga negara Indonesia karena tidak mengajarkan “karakter dan budaya Indonesia”.
Jika dulu sekolah internasional diperuntukkan anak-anak migran atau ekspatriat di Indonesia, kini banyak sekolah internasional yang juga diperuntukkan anak-anak Indonesia.
Sekolah-sekolah ini disebut oleh Bunnell et al. (2016) sebagai sekolah internasional tipe C yang berorientasi keuntungan dan menerima murid dari penduduk lokal yang beraspirasi untuk mendapatkan pendidikan berstandar internasional agar mampu berkompetisi di era globalisasi ini. Tentunya ini memikat untuk orang tua Erika, karena janji-janji kualitas tingkat tingginya dan uang sekolah yang tidak semahal sekolah internasional lainnya.
Di Indonesia, kita ingat dulu ada sekolah yang berstandar internasional ataupun Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI). Sekolah-sekolah ini akhirnya dihapuskan dan menjadi sekolah biasa, karena dianggap menghadirkan diskriminasi terhadap murid yang tidak mampu membayar uang sekolah yang tinggi dan menghilangkan rasa nasionalis pada murid. Lalu, sebenarnya apa sih yang internasional dari sekolah internasional?
Mungkin kurikulum dari luar negri, atau penggunaan bahasa Inggris di kelas, fasilitas yang baik, atau gaya hidup a la masyarakat internasional. Kalau browsing mengenai sekolah internasional, biasanya harapan-harapan yang muncul adalah untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik tanpa harus repot-repot pindah ke luar negeri.
Mari kita ambil hikmah dan lihat apa yang Erika dapatkan setelah masuk SMA internasional tersebut. Tapi, saya jadi penasaran: apa sih fantasi yang orang tua Erika dan banyak orang tua lain di luar sana miliki ketika mendaftarkan anaknya ke sekolah internasional? Kenapa ia harus masuk sekolah internasional? Pasalnya, saat itu ia juga daftar di sekolah islam swasta dan diterima.
Ternyata, menyekolahkan anak ke sekolah internasional adalah tren di Indonesia dan Asia Tenggara
. Sampai sekarang, saya masih belum tau kenapa orang tua Erika memilih untuk memasukkannya ke sekolah internasional. Bisa jadi, orang tua Erika merasa tidak puas dengan sekolah berkurikulum nasional, karena metode mengajar dari tahun ke tahun tidak ada perubahan (Nguyen dan Nguyen, 2017).
Yang jelas, sekarang Erika bisa berbahasa Inggris dengan lancar, memiliki beban sekolah yang lebih banyak, dan minta barang yang aneh-aneh harganya. Jelas, bukan cuma hal-hal di atas yang membedakan sekolah internasional dengan sekolah negeri. Kata orang-orang, sekolah internasional akan menghasilkan murid-murid yang percaya diri dan berani mengutarakan pendapatnya.
Sekolah internasional juga menjanjikan banyak kualitas dan keterampilan yang mungkin akan sulit untuk tumbuh di sekolah negeri. Selain itu, menyekolahkan anak di sekolah internasional juga akan memberikan mereka teman-teman yang sesuai dengan kelas sosial mereka (orang tua murid pun juga bisa berjejaring dan mengadakan arisan, lho!). Murid-murid sekolah internasional juga dimudahkan jalannya untuk mengikuti kompetisi-kompetisi berskala internasional (misal: World Scholar’s Cup) dan mendapatkan beasiswa ke universitas di luar negeri. Melalui jalan pintas tersebut, mereka akan bisa berjejaring sosial secara global (Tanu, 2014).
Sekolah memang bukan hanya tempat untuk mendapatkan pendidikan, tetapi juga untuk mengumpulkan “bahan” untuk berkompetisi kemudian hari. Dari sekolah, Erika dan murid lain bisa belajar nilai-nilai apa yang dianggap baik. Bedanya, kalau masuk sekolah internasional, murid akan dilengkapi dengan bahan-bahan yang lebih lengkap.
Bahasa Inggris yang dipakai sehari-hari merupakan modal yang diasah terus-menerus untuk memastikan masa depan yang cerah ada di depan mata (meskipun kini bukan cuma yang elit yang bisa belajar dan menggunakan bahasa Inggris) dan kemampuan untuk pergi dan bergaul dengan banyak orang. Lingkungan sekolah internasional juga memastikan murid mengerti bagaimana cara membawa diri dan bagaimana bergaul dengan orang-orang seperti mereka.
Permasalahannya adalah, bagaimana cara untuk membuat murid-murid ini tetap menjadi Indonesia dan tidak lupa dengan akarnya? Permasalahan ini mungkin penting untuk negara dan masyarakat luas, tetapi, bagi Erika, ada permasalahan yang lebih penting daripada nasionalisme. Beberapa hari setelah saya menulis artikel ini, ia mengirim pesan lewat Whatsapp kepada saya. Katanya, tugas sekolah yang beratdan banyak “is taking a toll on my mental, emotional, and physical health.” Mungkin permasalahan yang lebih penting bagi Erika adalah: bagaimana caranya agar murid dari sekolah nasional bisa bertahan di sekolah internasional?
Referensi:
Bunnell, Tristan, etal. “What Is International about International Schools? An InstitutionalLegitimacy Perspective.” Oxford Review of Education, vol. 42, no. 4, 2016,pp. 408–423., doi:10.1080/03054985.2016.1195735.
Nguyen, Trang ThiThuy, dan Hoa Thi Mai Nguyen. “Thinking Globally or ‘Glocally’? BilingualIdentity of Vietnamese International School Students.” InternationalJournal of Educational Research, vol. 85, 2017, pp. 24–32.,doi:10.1016/j.ijer.2017.06.001.
Oebaidillah, Syarief.“Kemendikbud Evaluasi Sekolah Internasional.” Media Indonesia, 21 Januari2017, mediaindonesia.com/read/detail/88692-kemendikbud-evaluasi-sekolah-internasional
Tanu, Danau. “Becoming ‘International’: The Cultural Reproduction of the Local Elite at an International School in Indonesia.” South East Asia Research, vol. 22, no. 4, 2014, pp. 579–596., doi:10.5367/sear.2014.0236.