Kamis, April 18, 2024

Banjir Jabodetabek, Inkonsistensi Aktor Politik

Burhanudin Faturahman
Burhanudin Faturahman
Burhanudin Mukhamad Faturahman. Pemerhati Politik dan Kebijakan dalam negeri. Dapat dihubungi melalui burhanmfatur@gmail.com dan burhanudin.faturahman@dpr.go.id

Sikap optimisme menyongsong tahun 2020 menjadi slogan yang sering kita baca atau kita dengar ketika menjelang pergantian tahun. Namun ketika kejadian yang muncul di awal tahun baru justru bencana bagaimanakah sikap kita?

Kejadian bencana inilah yang dirasakan warga Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) yang terkena musibah banjir hampir merata di seluruh Jabodetabek. Bencana banjir tersebut juga terjadi di wilayah Jawa Barat dan Banten.

Selain hujan, longsor di Banten dan Jawa Barat sejauh ini menyebabkan 66 orang meninggal dunia (bbc.com). Menurut BNPB, jumlah wilayah yang terdampak banjir berjumlah 109 kecamatan dan 303 kelurahan yang tersebar di Jabodetabek dan Lebak, Banten.

Akibat banjir tersebut, warga yang mengungsi sebanyak 173.050 orang. Jumlah pengungsi tersebut terus berkurang mencapai 92.000 orang seiring surutnya banjir di perumahan warga.

Sedangkan kerugian ekonomi saat banjir sebesar 1 triliun. Ketua Aprindo menjelaskan, kerugian tersebut berdasarkan eskalasi perhitungan jumlah toko ritel yang tutup akibat banjir.

Adapun untuk area Jakarta saja tercatat ada 300 toko yang tutup akibat banjir. Dengan mengambil pengeluaran berbelanja terkecil, yakni Rp 100.000 dengan jumlah penduduk terdampak langsung sebanyak 32.000 jiwa maka kerugian mencapai Rp 960 miliar.

Jika melebarkan wilayah banjir, menyebutkan, ada 400 toko yang tutup dengan jumlah korban yang terdampak langsung ditambah 20.000 korban. Dengan hitungan ini, maka total kerugian peritel mencapai di atas Rp 1 triliun.

Selain kerugian ekonomi, kerugian lainnya yaitu mandegnya kegiatan pendidikan, pemerintahan dan aktivitas sosial lainnya juga menambah nestapa warga yang terkena dampak bencana banjir.

Berdasarkan data BMKG, cuaca ekstrem dengan curah hujan yang tinggi masih akan berlangsung sepekan kedepan. Aliran udara basah akan masuk dari arah Samudera Indonesia, tepatnya di sebelah barat Pulau Sumatera, Sumatera Barat, Riau, Sumatera Selatan, Jambi sampai Lampung, termasuk Jawa, Kalimantan Selatan, lalu ke Sulawesi bagian Selatan Tenggara. Kepala BMKG juga menyimpulkan cuaca ekstrem terjadi hampir merata di seluruh Indonesia hingga akhir Februari.

Ditengah kejadian bencana yang seharusnya menjadi perhatian seluruh elemen masyarakat, yang santer diberitakan oleh media online dan elektronik justru wilayah Jabodetabek saja. Sehingga publik selalu disajikan berita-berita kerugian, korban, rusaknya fasilitas publik hanya di Jabodetabek saja.

Padahal, daerah-daerah lain juga mengalami hal yang sama bahkan lebih parah. Misalnya bencana banjir bandang di Banten yang merusak infrastruktur jalan. Evakuasi warga hanya bisa dilakukan melalui jalur udara. Belum lagi daerah yang selalu langganan banjir seperti Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Lamongan, Pasuruan dimana daerah tersebut memiliki topografi rendah, dekat dengan sungai dan pantai.

Di Brebes Jawa Tengah 300 hektar tanaman bawang terendam banjir, tanggul jebol di Pati juga merendam 150 rumah warga. Jadi berita kejadian Banjir Jabodetabek seakan satu-satunya dan paling parah di Indonesia.

Sikap inkonsisten juga diperlihatkan oleh aktor politik dan aktivis lingkungan ketika terjadi banjir. Jika yang dipermasalahkan adalah pemprov DKI Jakarta terlalu banyak politisi yang lebih banyak berwacana ketimbang bertindak untuk mewujudkan Jakarta bebas banjir.

Kita ulas dari gubernur DKI Jakarta, aksi heroik saat evakuasi dilakukan untuk menyelamatkan korban banjir, ini merupakan langkah tepat karena pada tahap emergency response yang diperlukan adalah satu garis komando karena korban adalah prioritas.

Di sisi lain Gubernur DKI juga tidak memperlihatkan konsistensi penanggulangan banjir sebagaimana saat janji kampanye. Program naturalisasi serapan air tak kunjung dilakukan karena mayoritas bangunan dan jalan tidak menyediakan pencegahan banjir tersebut alias tanah di cor atau di semen. Jika bicara banjir, bukan hanya memperlancar arus air tapi juga mengoptimalkan lahan untuk resapan air. Terlebih banjir ini diklaim sebagai banjir terparah se Jabodetabek.

Sementara itu ketua DPP PDI-P DKI Jakarta membandingkan penanganan banjir Pemprov DKI Jakarta tahun 2016 silam yang dinilai efektif. Di mana jumlah titik rawan banjir turun dari 480 titik menjadi 80 titik, hanya dalam waktu penanganan selama satu tahun.

Namun perlu dicatat, pembangunan fisik berbasis mitigasi bencana banjir masih sama saja yaitu lebih mementingkan percepatan air dan belum memandang pentingnya lahan resapan air di setiap jengkal bangunan yang berdiri. Akibat minimnya serapan air, air hujan yang turun sulit terserap tanah dan mengalir pada aliran sungai-sungai besar di jakarta yang volumenya terus meningkat.

Menteri PUPR juga mengatakan bahwa proyek normalisasi sungai yang lambat menjadi biang kerok banjir Jabodetabek. Meskipun dilakukan normalisasi masih terdapat daerah yang terendam banjir seperti Kampung Pulo, Jaktim. Gubernur DKI juga menyanggah bahwa dengan membangun DAM, membangun waduk, membangun embung sehingga ada kolam-kolam retensi untuk mengontrol, mengendalikan volume air yang bergerak ke hilir merupakan langkah konkret solusi banjir Jabodetabek.

Jika memang solusi yang ditawarkan bagus maka tidak selayaknya saling menyalahkan dan mengklaim bahwa hasil kerja mereka paling baik. Seharusnya tawaran solusi terbaik diakomodir dan dilaksanakan secara bersama-sama (koordinasi pemerintah pusat dan daerah) yang fokus pada bencana musiman ini.

Berikutnya aktivis lingkungan WALHI turut mengkritik buruknya kinerja pemprov DKI dalam konteks sebelum, sedang maupun pasca bencana banjir. Salah satu contohnya adalah jadwal pemadaman listrik saat banjir melanda.

Menurut direktur WALHI, terdapat korban yang meninggal karena korsleting listrik saat banjir. Sebagai komunitas yang konsisten dengan lingkungan seharusnya WALHI selalu mengawal penanggulangan bencana bersama BNPB, BPBD, Kementerian lingkungan, kementerian PUPR bahkan kemenkeu untuk konsisten menyelesaikan banjir Jabodetabek sejak tahap pra-bencana.

Untuk tahap emergency response saran yang dibangun oleh WALHI seharusnya membantu cara pemenuhan logistik para korban bencana agar tidak kelaparan selama masa tanggap darurat.

Pakar Lingkungan UI menilai, Kondisi banjir di Jakarta diperparah dengan perubahan tata kelola lahan. Selain itu, terjadi juga perubahan yang sama di bagian hulu. Ruang Terbuka Hijau diganti konblok dan beton yang menghambat penyerapan di tanah membuat debit air lari ke  DKI Jakarta.

Oleh karena itu kita, perlu bijak memandang kejadian bencana banjir untuk dijadikan instropeksi diri karena kita sering jalan sendiri-sendiri dalam menjalankan kebijakan terutama masalah penataan ruang.

Burhanudin Faturahman
Burhanudin Faturahman
Burhanudin Mukhamad Faturahman. Pemerhati Politik dan Kebijakan dalam negeri. Dapat dihubungi melalui burhanmfatur@gmail.com dan burhanudin.faturahman@dpr.go.id
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.