Minggu, Oktober 6, 2024

Banjir Cermin Jakarta?

Ricky Donny Lamhot Marpaung
Ricky Donny Lamhot Marpaung
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Trisakti | Pengamat Hukum Tata Negara

Awal bulan Januari Jakarta sempat lumpuh! Banjir kembali melanda disejumlah sudut kota. Apa daya warga Jakarta mengalami siklus 4 tahunan banjir besar yang semula diperkirakan setiap 5 tahun.

Kegiatan perekonomian surut dalam sekejap sehingga mengakibatkan triliunan rupiah melayang. Fakta sejarah mencatat, sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda, Batavia yang kini berganti nama menjadi Jakarta sudah memiliki tradisi banjir tahunan. Sejarah banjir besar tercatat pada mulanya tahun 1654 ,1872 ,1909, dan 1918.

Pada masa itu, Van Breen, seorang guru besar berkebangsaan Belanda, sudah mencanangkan Kanal Banjir Barat. Namun, proyek pembangunan Kanal Banjir Barat tidak terselesaikan. Hal ini menyebabkan awal dari polemik banjir berkepanjangan di ibukota.

Bahkan sejarah turut mencatat, dari 17 gubernur terpilih, belum ada satupun gubernur Jakarta yang mampu menuntaskan masalah kronis ini. Curah hujan yang tinggi, drainase yang buruk, naiknya permukaan laut, penurunan struktur tanah, dan sampah yang menumpuk adalah indikasi timbulnya banjir.

Indikasi lain mengacu kepada perumahan kumuh sepanjang bantaran kali dimana menjadi penghambat aliran sungai dari hulu ke hilir. Kurangnya Ruang Terbuka Hijau (RTH) akibat pembangunan perumahan dan komersialisasi industri merupakan penyebab lain lahirnya banjir.

RTH saat ini presentasenya hanya 9,98 % jauh dari syarat minimum 30 %. Ditambah, kompleksitas masalah ditimbulkan oleh banjir baik sebab-akibat maupun dampak langsung dan tidak langsung.

Harus diakui, masyarakat Jakarta sendiri yang menciptakan banjir menjadi suatu kejadian yang lumrah. Banjir seakan enggan pergi melihat masyarakat beranggapan banjir sudah membudaya. Budaya banjir inilah yang merupakan hasil konstruksi masyarakat. Hasilnya budaya mengabaikan dan kepedulian yang rendah tercermin dalam pola tingkah laku.

Dalam hal ini, solusi pembenahan secanggih apapun tidak dapat menyelesaikan permasalahan banjir, jika masyarakat tidak mendidik untuk peduli terhadap kebersihan kota sebagai bagian dari penyebab banjir.

Anggapan untuk mewujudkan Jakarta layak huni yang terbebas dari banjir berawal dari kesadaran, disiplin, dan sikap kepedulian yang tinggi oleh masyarakat. Pemerintah sebagai pemegang otoritas tertinggi harus bersikap antisipatif karena bertindak setelah terjadi adalah PR besar.

Kepentingan publik harus diprioritaskan dan dinomorsatukan. Jangan sampai memerhatikan banjir ketika baru melanda Jakarta. Program konservasi air berupa normalisasi 13 sungai, pembuatan waduk resapan, penataan sumur-sumur resapan, sampai pembangunan tanggul raksasa memerlukan kebijakan yang tepat dalam realisasi.

Pemerintah harus mawas diri karena jika tidak ada langkah konkret, terbentuknya masterplan hanya akan terasa sia-sia. Budaya kesadaran dini dan berbenah diri merupakan titik awal menyongsong Jakarta bebas banjir. Sikap kooperatif dalam pencegahan banjir antara masyarakat dan pemerintah diharapkan mampu meredam terjadinya banjir susulan di tahun-tahun berikutnya.

Mega Proyek Banjir

Bertahun-tahun lamanya, banjir kerap silih berganti mewarnai bingkai cerita kota Jakarta. Mengapa predikat banjir begitu identik? Sekilas, tidak salah dengan penyematan simbol “Jakarta sebagai kota banjir”.

Puluhan tahun, stigma ini tidak bisa lepas dari genggaman cerita ibukota. Lantas, bagaimana mengakhiri polemik banjir?. Konservasi air atau penghematan air adalah suatu langkah tepat guna menghapuskan memori banjir yang menghantui ibukota tercinta.

Konservasi air seharusnya sudah jauh-jauh hari dicetuskan sebelum banjir tiba. Ketika mendengar nama multi purpose deep tunnel atau terowongan multifungsi adalah mega proyek konservasi air guna mengatasi penyakit akut Jakarta yang satu ini.

Menurut pakar sekaligus penggagas MPDT, Firdaus Ali menyebutkan konsep yang akan diterapkan di Jakarta merupakan sebuah terobosan berbeda dan eksklusif. Selain mencegah terjadinya banjir, empat fungsi keunggulan dari MPDT versi Jakarta adalah mengatasi kemacetan, limbah, menyuplai air baku, dan saluran pipa utilitas untuk serat optik maupun kabel listrik.

Berbeda cerita dengan negara penggagas proyek deep tunnel sebelumnya seperti Singapura, Jepang, Amerika, Hongkong dan Malaysia. Kelima negara tersebut tidak mempunyai masalah pelik layaknya kota Jakarta, maka dari itu Jakarta patut berbangga jika memiliki deep tunnel serbaguna sekaligus pelopor lima fungsi dibandingkan negara lainnya.

Tahun ini, kerugian banjir ditaksir mencapai 1 triliun, sementara perkiraan proyek pembangunan deep tunnel mencapai 16 triliun. Kaitannya adalah jika proyek terealisasi, maka kerugian finansial pasca banjir dapat dipangkas. Tentu ini sangat menguntungkan semua pihak apalagi dampak yang ditimbulkan banjir begitu besar sehingga ini merupakan sinyal baik bagi pemerintah agar mempercepat infrakstruktur pengendalian banjir.

Solusi konservasi air yang hendak direaliasikan pemerintah Jakarta adalah Giant Sea Wall. Gagasan infrastruktur tanggul raksasa sudah dicanangkan sejak periode pemerintahan Gubernur Fauzi Bowo, namun entah mengapa, aktualiasi proyek hanya menjadi isapan jempol belaka.

Sebenarnya tanggul raksasa berfungsi menyelamatkan terjangan wilayah Jakarta dari banjir rob dan penurunan tanah terutama kawasan pesisir Jakarta. Lebih dari itu, tanggul juga berfungsi sebagai bendungan air tawar. Hanya saja, mekanisme pengadaan pembangunan akan memakan waktu hingga 2025, tetapi lebih baik pembangunan dijalankan daripada tidak sama sekali.

Dalam hal ini, kedua mega proyek hanyalah contoh kasus dari upaya pemerintah mengatasi banjir secara berkala. Iming-iming pemerintah mengenai masterplan boleh saja setinggi langit, tetapi aktualisasi dan realisasi jauh lebih penting akan adanya konservasi air sesungguhnya.

Urgensi Banjir

Jika kita melihat urgensi banjir sudah pada taraf yang tinggi. Diprediksi pada tahun 2050 Jakarta akan tenggelam berdasarkan data New elevation data triple estimates of global vulnerability to sea-level rise and coastal flooding yang terbit dalam jurnal Nature Communications.

Permukaan air laut di dunia akan mencapai dua meter atau lebih. Hal ini sebenarnya bukan hal baru buat kota Jakarta selain penumpukan sampah 7.700 ton per hari lalu pembuangan limbah menjadi salah satu pemicu terjadinya banjir di Jakarta.

Lalu, sejauh mana prioritas proyek tanggul, MPDT, Giant Sea Wall tumpuan menghadapi banjir? Masyarakat Jakarta hanya bisa berharap bahwa prioritas menangani banjir dilaksanakan secara serius dan antisipatif oleh Pemerintah DKI Jakarta. Semoga!

Ricky Donny Lamhot Marpaung
Ricky Donny Lamhot Marpaung
Alumnus Fakultas Hukum Universitas Trisakti | Pengamat Hukum Tata Negara
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.