Kamis, Maret 28, 2024

Bangsa yang Terbelenggu Stigma Sosial

Athariq Wibawa
Athariq Wibawa
Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret. Alumni Jambore Pelajar Teladan Bangsa Ma'arif Institute
ANTARA

Banyak rakyat yang merasa kecewa terhadap sistem yang berjalan di Indonesia ini. Sistem yang mengatur berbagai sektor, menyimpang dari orientasi awal Republik Indonesia. Salah satunya adalah sistem pendidikan yang mengatur sekaligus mengekang para objeknya dalam menunjukan bakatnya.

Bukan sistem seperti full day school yang sebenarnya bermasalah dalam sistem Pendidikan Indonesia. Tetapi sistem akreditasi atau mengukur kecerdasan seorang siswa hanya dengan menurut angka yang tercetak dalam rapot mereka. Sebenarnya yang patut dipermasalahkan bukanlah jumlah jam belajar mereka, bukan pula materi yang tertera dalam buku mereka, maupun kurikulum yang sekolah anut.

Yang menjadi masalah bagi mereka yaitu disaat mereka tidak nyaman dengan pembelajaran di sekolah, dan mereka terpaksa untuk mengikuti pelajaran di sekolah yang tidak mereka sukai. Tiap harinya mereka melakukan hal yang tidak mereka sukai, apalagi dengan adanya isu penambahan jam belajar. Tapi coba kita bayangkan jika sekolah dapat menawarkan pembelajaran dengan nyaman dan menyenangkan. Saya yakin para siswa tidak akan mempermasalahkan banyak dikitnya jam belajar di sekolah.

Menurut Pembukaan UUD 1945 Alenia 4 bahwasannya salah satu tujuan negara ini untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi mana buktinya? Yang ada hanya sekolah-sekolah yang tersebar di Indonesia ini dijadikan tempat untuk mencerdaskan sebagian orang. Bisa kita lihat dari sistem yang sekarang berkembang, semua didasari kepada penilaian dan akreditasi. Sistem akreditasi dan penilaian ini membuat kita membikin stigma-stigma sosial sendiri.

Hingga stigma-stigma tersebut menimbulkan batasan-batasan tersendiri dalam menilai pintar dan tidaknya murid. Dengan adanya stigma atau batasan ini siswa akan terbelenggu dalam kubangan penilaian. Ini seperti sistem kapitalisme yang juga selama bertahun-tahun telah mengekang negara ini dalam perekonomian.

Di mana yang pintar akan semakin pintar dan yang bodoh akan semakin bodoh, dimana yang kaya semakin kaya dan miskin semakin miskin. Selama bertahun-tahun sistem tersebut sudah terbukti gagal dalam mewujudkan tujuan dari Republik Indonesia “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”. Bukan hanya tidak berhasil mewujudkan cita-cita dari bangsa Indonesia, tapi juga mengkhianati ideologi bangsa kita, yaitu Pancasila. Terutama di sila ke-5.

Katanya “ Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” yang ada hanya keadilan social bagi sebagian rakyat Indonesia. Itu pun sebagian kecil. Benar seperti kata Cak Nun “ tak perlu kita menghafal Pancasila, jikalau esensi Pancasila tersebut tak dapat kita terapkan, biarkan seperti oksigen yang selalu dihirup dan dikonsumsi walau orang tersebut tak hafal rumus kimia oksigen”.

Pastinya ini akan menimbulkan ambigu bagi orang-orang yang menyadari kesalahan atau kegagalan sistem ini. Mengapa? Karena ada saat dimana mereka bimbang memilih untuk tetap bersama sistem yang gagal ini dan melanjutkan masa belajar mereka untuk terus mengejar nilai dan gelar. Atau berhenti sejenak melihat kebelakang, melihat mereka yang terseok-seok dalam langkah sistem Pendidikan yang berjalan dan merangkul mereka untuk maju bersama. Berbeda cerita dengan mereka yang tak peduli akan lingkungan sekitar. Mereka hanya mementingkan idealisme mereka sendiri dan tidak peduli terhadap teman-teman mereka yang belum siap untuk belajar hanya demi mendapat angka di rapot mereka.

Bukan sekali dunia membuktikan bahwa menuntut ilmu tidak memerlukan pengejaran terhadap gelar nilai. Bill Gates contohnya, ditendang dari Harvard University, bisa membangun Microsoft yang sebegitu besarnya. Ada Albert Einstein, Mark Zuckerberg dan beberapa tokoh lain yang memiliki kasus serupa.

Tapi bukan berarti orang yang memiliki gelar tinggi tidak bisa sukses seperti mereka. Adapun founder Google yaitu Sergey Brin dan Larry Page adalah peraih gelar Ph. D, dari Stanford University. Yang saya persalahkan disini sistem seperti ini hanya akan menimbulkan Tuhan-Tuhan kecil dalam mengatur batasan dalam hidup. Sedangkan seharusnya membikin batasan-batasan tersebut adalah hak prerogatif Tuhan semata. Batasan dimana yang sukses harus bergelimang harta. Batasan dimana yang cerdas harus mendapat angka besar di rapot. Batasan dimana yang miskin adalah orang yang tidak punya harta.

Batasan inilah yang membuat bangsa kita mengalami stagnasi bahkan kemunduran. Karena dengan batasan inilah dokter-dokter lulusan universitas terbaik di Indonesia tidak mau mengabdikan dirinya di kota-kota terpencil. Karena Batasan inilah guru-guru banyak yang lupa terhadap orientasi profesinya, yakni mencerdaskan kehidupan bangsa.

Karena Batasan inilah para pejabat pemerintahan lalai terhadap tanggung jawabnya dalam menyalurkan aspirasi rakyat dan mengatur negara kita sedemikian mungkin. Alangkah lucunya negri ini. Ada saat dimana kita menghina orang-orang pelosok, mereka kolotlah, mereka bodoh, mereka tertinggal, mereka mengalami kemunduranlah, dan umpatan-umpatan lainnya yang kita lemparkan kepada mereka secara sepihak. Tapi kita sendiri tidak berusaha mengajak mereka menuju kehidupan yang lebih baik. Yah, begitulah tak pernah merasa bersalah, walaupun banyak berulah. Orang-orang seperti itulah yang sebenarnya mengalami kemunduran baik secara moral maupun intelektual.

Mengapa tidak dibuat saja pemerataan terhadap seluruh Pendidikan di Indonesia? Mengapa tidak dibuat saja seluruh guru menjadi PNS, dengan begitu tidak muncul lagi guru-guru tanpa jiwa pengabdian, karena kebutuhan perut mereka sudah ditanggung oleh pemerintah. Apakah sistem yang dibentuk ini karena menguntungkan pihak tertentu sehingga dipertahankan? Atau karena memang sudah hilang sifat sadar dalam diri kita masing-masing?

Bukan maksud saya untuk menghilangkan sifat kompetitif dalam diri anak bangsa. Hanya saja yang sekarang terjadi adalah pemilahan permata bukan penempaan pedang. Sehingga sekolah-sekolah yang tersebar di kota-kota besar hanya memilih siswa unggulan mereka agar sekolah mereka terlihat bagus, bukan mendidik para siswanya untuk menjadi pedang yang layak untuk dipakai bertarung di kehidupan di masa mendatang.

Ya, disinilah kita hidup, bangsa yang terbelenggu stigma social. Tapi sekarang ini stigma yang membelenggu bangsa ini semakin membingungkan. Karena Batasan-batasan tersebut menjadi semakin samar dan terbalik. Orang yang benar akan meragukan kebenarannya Karena terlalu banyak orang yang salah, sehingga Batasan yang seharusnya benar menjadi salah dan terbalik.

Bukan berarti kita yang menjadi korban dari Pendidikan berdasar akreditasi ini menyalahkan mereka yang diatas secara sepihak. Kalau seperti itu apa bedanya kita dengan mereka. Kita juga tidak boleh menyerah dan hanya mengeluh terhadap keadaan yang terjadi sekarang. Memang terkadang kita harus menerima dulu apa yang memang tidak sesuai dengan idealisme kita. Ada saatnya kita juga harus belajar, berusaha, dan berlatih secara otodidak untuk menjadi berlian-berlian yang diharapkan oleh para akreditator. Agar menjadi berlian yang pantas untuk menghiasi Republik Indonesia.

Athariq Wibawa
Athariq Wibawa
Mahasiswa Ilmu Hukum Universitas Sebelas Maret. Alumni Jambore Pelajar Teladan Bangsa Ma'arif Institute
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.