Sejak kita mendeklarasikan kemerdekaan kita, kita secara resmi telah menepikan sistem dan kultur pemerintahan serta politik masa silam kita. Kerajaan-kerajaan yang dulu ada di Nusantara tidak lagi memiliki fungsi dalam penentuan kebijakan politik, melainkan sekadar pengayom, pengasuh masyarakat dan kebudayaan.
Tentu ada alasannya kenapa kita tak menaruh perhatian lebih pada sistem yang orang modern menyebutnya sistem monarki. Sistem di mana segala arah kebijakan negara dan masyarakat berada di tangan satu orang yaitu seorang Raja yang diperbantukan oleh para abdi dalemnya. Situasi bangsa Nusantara yang pasca kedatangan bangsa kolonialisme menjadi semakin tak menentu. Bukan hanya hubungan kekerabatan satu kerajaan dengan kerajaan lainnya yang berantakan, tetapi situasi dalam Keraton satu kerajaan juga menjadi terpecah-belah karena kecerdikan bangsa penjajah dan kelemahan para pemangku kebijakan kala itu.
Kekuasaan bangsa kolonial yang hampir berada di setiap penjuru negeri membuat pemberontakan yang dilakukan satu kerajaan tidaklah terlalu berarti besar. Sejarah mencatat Pangeran Diponegoro, Tuanku Imam Bonjol, hingga Cut Nyak Dien mengalami kekalahan karena kekuatan dalam negeri yang tak solid. Dan beliau-beliau itu bukan saja menghadapi bangsa kolonial yang jelas-jelas menjadi lawan mereka, tetapi juga harus berhadapan dengan saudara mereka sendiri yang berbeda kepentingan politik.
Republik-monarki
Kini, kita tak lagi menggunakan sistem negara dan pemerintahan layaknya yang dilakukan oleh para leluhur kita di masa silam. Kita telah sepakat memilih sistem republik dan demokrasi sebagai prosesnya. Kita beranggapan, memilih para wakil rakyat dan pemimpin secara langsung adalah hal yang lebih baik ketimbang menyerahkan kekeuasaan atau kepemimpinan kepada satu golongan. Kita berusaha meyakinkan diri kita sendiri dengan memperkecil fungsi dan kekuasaan para Keraton atau Kerajaan yang tersisa dari masa silam adalah hal yang baik untuk menghindari negeri dari peperangan dan perebutan kekuasaan.
Proses politik kemudian kita serahkan pada partai-partai politik yang kita percayai sebagai tulang punggung demokrasi. Kita berikan mereka keleluasaan untuk membuat aturan dan memilihkan kita calon-calon kepala daerah hingga kepala negara. Kemudian dengan penuh keikhlasan hati kita memilih calon-calon yang telah mereka pilihkan dan kita sebut itu sebagai pilihan kita, pilihan rakyat.
Situasi dalam negeri yang dulu sangat bergantung kepada kekuasaan seorang Raja, kini bergantung pada kekuatan dan kekuasaan seorang ketua partai politik. Seorang ketua partai politik bisa menciptakan suasana yang kondusif dan tak kondusif. Tergantung pada kepentingan mereka masing-masing.
Kita bukan hanya telah meninggalkan sistem monarki dan menjalankan proses demokrasi, tetapi kita juga telah menciptakan paradigma dan filosofi baru yang bernama republik-monarki. Di mana setiap orang atau kader partai politik boleh berbicara apa saja dan bebas melakukan apa saja, tetapi kalau sang ketua partai politik sudah berkata untuk diam maka dia akan diam.
Partai politik dalam negeri kita tak sebagaimana yang terjadi di Amerika, Inggris, Perancis, atau negara-negara lainnya. Karena partai politik hanyalah kendarannnya, sedangkan sebuah kendaraan sangat tergantung pada pola pikir, rasa, serta karakter pengemudinya.
Sehebat apa pun kader partai politik menafsirkan demokrasi, mereka tetap tak bisa mengelak dari karakter sendiko dawuh mereka. Bahkan bukan hanya kader partai politik, tapi hampir di berbagai dimensi kehidupan naluri kita sebagai bangsa yang monarki, yang sendiko dawuh, yang sangat mengharapkan suatu solusi atau penyelesaian dari atas (yang punya kekuatan dan kekuasaan) sangatlah kental. Contoh sederhananya adalah budaya memecat aparatur sipil negara. Seorang Bupati, Walikota, atau Gubernur mestinya berdiri sejajar dengan para pegawai dinasnya. Mereka punya posisi yang sama, yaitu patuh kepada undang-undang. Sehingga bukan hanya kepala daerah yang berhak menegur pegawai dinasnya, pegawai dinas pun punya hak menegur para atasannya itu karena mereka sama-sama terikat oleh sebuah aturan.
Kita tidak menghilangkan peperangan antar Kerajaan, melainkan hanya merubah bentuknya menjadi peperangan antara partai politik. Upeti kita sebut sebagai pajak, sumbangan, hingga sedekah. Yang berebut kekuasaan bukan lagi Kerajaan-kerajaan, melainkan partai-partai politik. Partai politik telah menjadi semacam Kerajaan baru di Indonesia. Yang digunakan dan dijalankan dengan sistem dan kultur Kerajaan. Hanya saja, demi sopan santun politik dan demokrasi kita tetap menyebutnya partai politik.
Adil Dalam Memandang
Entah karena sudah menjadi budaya atau memang telah menjadi naluri alami bangsa kita, rasanya karakter monarki itu sulit hilang dari masyarakat maupun kaum cendikiawan bangsa ini.
Barangkali saya keliru, ketika saya mencoba merasakan perasaan bangsa Indonesia ketika ada ketua-ketua partai politiknya bertemu semacam ada rasa tenang dan harapan dari mereka. Mereka seperti merasa tak dapat berbuat banyak, yang dapat berbuat banyak adalah para ketua partai politik yang bukan hanya menentukan arah kebijakan partai, melainkan juga punya peranan untuk membuat situasi dalam negeri kondusif.
Namun, yang salah bukanlah monarki, yang benar juga belum tentu demokrasi. Yang benar juga belum tentu monarki dan yang pasti salah juga belum tentu demokrasi.
Republik ataukah Kerajaan, para menteri ataukah abdi dalem, para Wali ataukah para cendekiawan, segala sistem dan proses berpolitik juga bermasyarakat sangat tergantung pada sejauh mana bangsa Indonesia mengenal dirinya sendiri.
Jika kita keliru dalam menduga, tidak adil dalam berpandangan, maka kita bukan hanya mengalami keterpurukan demi keterpurukan, melainkan kita akan mengalami situasi yang sangat aneh dan lucu, yaitu situasi di mana kita menjadi sangat bingung. Situasi di mana kita berdemokrasi dengan perasaan sendiko dawuh. Situasi di mana kita merasa memberikan ruang yang bebas, tetapi dengan perasaan percaya bahwa keahlian dan kepandaian sangat tergantung pada urusan nasab (keturunan).