Kamis, April 18, 2024

Bangkit Membangun Bangsa

JC Pramudia Natal
JC Pramudia Natal
Pendidik Seni Budaya di Jakarta Selatan

Pada 8 dan 9 Mei 2018 terjadi tragedi peledakan bom di Jawa Timur. Baik peristiwa peledakan di Surabaya, Wonocolo, dan Sidoarjo, memiliki sebuah benang merah. Semua dilakukan satu keluarga batih; ayah, ibu, beserta anak-anak mereka.

Kurang dari setahun sebelumnya, pada September-Oktober 2017 Convey Indonesia Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah melakukan survey kepada 2181 responden beragama Islam di seluruh Indonesia. Survey yang menyasar guru Pendidikan Agama Islam   dan murid jenjang menengah, beserta dosen, dan mahasiswi/a tersebut melahirkan hasil yang tidak mencerminkan empati kebhinekaan.

Lebih dari 30% responden menyetujui bahwa praktik intoleransi terhadap kaum minoritas itu sah-sah saja untuk dilakukan, bahkan mereka yang murtad layak untuk diakhiri nyawanya. Sementara itu 30% lebih responden menyetujui jihad dalam bentuk perang dengan 20% lebih responden bahkan menyetujui, bahwa bom bunuh diri itu merupakan contoh jihad.

Kurang dari setahun isu nir-empati keragaman bergulir bak bola salju, dari sebuah hasil survey terbatas menjadi praktik pembumihangusan secara nyata terhadap golongan yang dirasa berbeda dan mereka yang membela keragaman tersebut.Ironisnya pelakunya semua dapat dipandang sebagai pilar-pilar pendidikan bangsa dan negara.

Sementara survey 2017 di atas menyasar langsung sekolah formal dengan guru-murid dan dosen-mahasiswi/a, peristiwa pemboman dilakukan oleh sekeluarga lengkap; keluarga batih terdiri atas ibu-ayah-anak-anaknya.

Ketika pemerintah sudah mulai bersiap menyambut Hari Kebangkitan Nasional dengan semangat memajukan kebudayaan Hari Kebangkitan Nasionalyang diluncurkan saat Hari Pendidikan Nasional, justru kedua fenomena ini menjadi letusan keras yang menunjukkan bahwa tidak pernah ada semangat kebudayaan Nusantara yang bhineka di dalam pendidikan, terutama pelaku pendidikan, bangsa Indonesia.

Kepribadian Berbangsa

Sekitar dua pekan lalu di sebuah seminar yang diadakan sebuah kampus keguruan kedua pendiri Sokola Rimba yaitu Butet Manurung dan Aditya Dipta Anindita berbagi bagaimana para aktifis Sokola Rimba bergotong royong bersama Departemen Pendidikan Nasional untuk merumuskan sebuah kurikulum bagi anak-anak rimba seantero Nusantara.

Usaha gotong royong ini sampai sekarang masih berlangsung dengan tersendat karena masih senjangnya paradigma dan tuntutan nyata pendidikan formal ala pemerintah dengan kebutuhan dan bahkan nilai adat budaya yang dianut masyarakat-masyarakat Rimba seantero Nusantara.

Kencangnya usaha pemerintah berbanding terbalik jika menyangkut program-program top-down yang ironisnya justru gagal dipertanggungjawabkan secara nyata. Contoh paling kini tentu saja penerapan soal berlandaskan kemampuan berpikir kritis di dalam UN yang bukan hanya menuai kritik dari pedagog dan guru, namun bahkan murid-murid tidak segan menyuarakan langsung keberatannya di akun-akun jejaring sosial Kemendikbud.

Sebelum itu terkait pengayaan guru, guru-guru berprestasi dikirim untuk studi banding ke Finlandia, namun begitu kembali ke Indonesia kebijakan dan birokrasi yang berbeda 180 derajat memuskilkan pengaplikasian ilmu yang mereka dapat.

Di saat yang bersamaan di akar rumput gerakan-gerakan revitalisasi pedagogi dan keorang-tuaan semakin ramai. Sebut saja kehadiran Komunitas Guru Belajar bentukan Kampus Guru Cikal, Gerakan Sekolah Menyenangkan, Konferensi Pendidik Nasional besutan Universitas Sampoerna untuk ranah pedagogi.

Di ranah keorangtuaan dan pendidikan keorangtuaan ada KeluargaKita.id, Komunitas Charlotte Mason Indonesia, Shine, RumahInspirasi.ID. Salah satu simpul tempat berkumpul ragam gerakan akar rumput pedagogis dan keorangtuaan adalah Jaringan Pendidikan Alternatif yang pada tahun ini akan menginjak kali yang kedua.

Sayangnya partisipasi pemerintah selaku pemilik akses utama terhadap sosialisasi berbagai paradigma pedagogi dan keorangtuaan justru sangat kurang. Istilah-istilah macam “pendidikan karakter” dan “memajukan kebudayaan” hanya menjadi jargon tambal sulam retakan kepribadian kebangsaan di dalam kurikulum dan pendidikan nasional.

Hal ini semakin terlihat nyata di dalam kesenjangan perkembangan antara proyek perkembangan pendidikan berbasis kebhinekaan dengan proyek pendidikan yang bersifat birokratis. Untuk perumusan suatu Kurikulum Masyarakat Rimba, pemerintah enggan percaya sepenuhnya kepada para ahli dari Sokola Rimba dalam merumuskan ideologi/paradigma, konsep, dan pendekatan belajar sehingga kurikulum tersebut tidak selesai dengan lekas.

Sementara untuk kegiatan-kegiatan yang sifatnya administratif macam Ujian Nasional atau jalan-jalan ke luar negeri dengan entengnya pemerintah selalu memfasilitasi.

Kerja Bijak Gotong Royong 

Dalam pertemuan dengan organisasi-organisasi bawahan PBB bulan lalu, kepala Kantor Staf Presiden Moeldoko memaparkan bagaimana pemerintah Kabinet Kerja tahun ini akan menitikberatkan fokus pada pembangunan manusia. Dan tidak ada gong tanda bahaya yang lebih nadir bagi kualitas manusia Indonesia selain dari tiga peristiwa bom bunuh diri yang semuanya dilakukan oleh satu keluarga.

Tanda bahaya ini sebenarnya telah dibunyikan sejak lama, para penggiat di akar rumput juga sudah jauh-jauh hari menguras keringat bertindak membangun kemerdekaan berbangsa yang bhinneka lewat pendekatan pedagogi ke lembaga pendidikan dan orang tua.

Sekarang adalah waktunya Pemerintah merajut semua aksi tersebut, saatnya pemerintah menenun dan menjalin semua fenomena tragis dan aksi-aksi positif di akar rumput. Dengan adanya campur tangan pemerintah segala paradigma, konsep, dan praktik konstruktif tersebut dapat lebih sederhana dalam disebarluaskan secara nasional.

Dengan catatan, pemerintah juga perlu lebih mendengar apa dan bagaimana kebutuhan pendidikan di akar rumput. Di sinilah muncul peran aktif komunitas-komunitas tadi untuk meringankan beban pemerintah di dalam mengelola administrasi dan pendayagunaan sumber daya yang tersedia.

Membangun pendidikan kebangsaan itu berat, pemerintah. Mari bergotong royong membangun benih kebangsaan lebih luas di tiap keluarga di seantero Nusantara. Itu lebih bijak. Korban yang jatuh sudah terlalu banyak dari tragedi bom pekan lalu, dan Kementerian Pendidikan Kebudayaan bisa menebus hal tersebut dengan merangkul segala anasir untuk menyebarluaskan pedagogi dan paradigma keorangtuaan berbasis kebangsaan. Mari kita bangkit bersama!

JC Pramudia Natal
JC Pramudia Natal
Pendidik Seni Budaya di Jakarta Selatan
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.