Sabtu, April 20, 2024

Bandung dan Banjir Perkotaan #1

Frans Prasetyo
Frans Prasetyo
Urbanist dan Peneliti Mandiri. Tinggal di Bandung.

“Bandung itu Lautan Api bukan Lautan Air, Tuan”

Tulisan ini adalah tulisan pertama. Tulisan yang kedua sila klik di sini. Banjir dan kerusakan area perkotaan meninggalkan beban berat bagi kota dan beragam perangkat daya dukung lingkungannya. Beban kota meninggalkan tugas berat untuk beragam stakeholder perkotaan termasuk pemerintah dan warganya untuk berjuang bersama dalam menemukan cara-cara baru untuk melindungi kota dari banjir perkotaan ini yang efektif dan efisien.

Dalam kacamata resiko bencana, degradasi lingkungan dapat ditempatkan sebagai faktor yang memperbesar kerentanan suatu daerah. Hal ini terjadi ketika banjir terjadi dan terjadi lagi di Bandung bahkan di daerah yang sebelumnya tidak pernah kebanjiran.

Merujuk kepada Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Bandung  2011-2031 terdapat pada point 4, terkait Kawasan Rawan Bencana. Peran perencanaan tata ruang untuk pembatasan pembangunan di daerah-daerah yang rawan terhadap bahaya yang terkait dengan alam.

Hal itu termasuk dengan pembatasan pembangunan di daerah rawan banjir dan pembuatan kode bangunan (building code). Namun hal ini tidak terjadi di Bandung, pembangunan beresiko terus bekerja dengan dalih investasi dan penyerapan PAD, tapi aspek ketahanan lingkungannya terabaikan sehingga Bencana Banjir melanda pusat kota Bandung.

Jika Banjir sebelumnya selalu berada di wilayah peri-peri kota, tapi kejadian Banjir di pusat kota Bandung, yaitu dikawasan Jalan Pasteur, Jalan Pagarsih (Okt 2016) atau Flyover Pasopati (Sept 2017).

Hal itu menjadi bukti nyata bahwa daya dukung lingkungan perkotaan di Bandung  sudah tidak mampu melindungi kotanya dan warganya. Tergenangnya Jalan Pasteur dan berubahnya jalan Pagarsih menjadi saluran air permukaan gigantis sehingga dapat menyeret benda seperti mobil yang terparkir dan itu menjadi bukti nyata.

Ada apa dengan Bandung? Pertanyaan yang mendadak muncul jika mengingat Bandung dikenal sebagai dataran tinggi (709 diatas permukaan laut) lalu tiba-tiba isu banjir ditengah kota menjadi momok baru dalam wujud kota Bandung yang tengah riuh dalam bersolek genit dalam menata kotanya dengan make-up tebal.

Wajar saja ini terjadi, karena selama ini wilayah banjir selalu diidentikan dengan wilayah peri-perinya di Bandung Selatan, seperti Baleendah dan Rancaekek yang notabene bukan bagian wilayah administratif kota Bandung.

Banjir yang terjadi selain karena daya dukung lingkungan kota yang sudah tidak mampu lagi menanggung beban kota, hal ini juga diperburuk oleh polemik Kawasan Bandung Utara (KBU) sebagai wilayah serapan dan tangkapan air yang berubah tataguna lahannya secara ekstrem untuk kawasan hunian dan komersial.

Pengendalian KBU telah diatur dalam Perda Jabar No2/2016 tentang Pedoman Pengendalian KBU dan sebagai kawasan strategis provinsi yang seharusnya memberikan perlindungan bagi kawasan bawahannya, kota Bandung.

KBU sendiri terdiri dari 39.354,31Ha sedangkan untuk luas kawasan terbangun + 23,88 % (9399,76 Ha) dan yang belum terbangun + 76,12% (29,954,55 Ha) dan angka kawasan terbangun untuk hunian terutama di kawasan pegunungan Bandung Utara dan Bandung Timur mengalami kecepatan yang sangat tinggi, sekitar 3-4% pertahun sejak 10 tahun lalu, KBU berubah fungsi. Batas KBU adalah garis kontur ketinggian 750 mdpl dengan wilayah administratif KBU meliputi 4 Kab/Kota, 21 Kec,109 Desa/Kel.

KBU sebagai kawasan lindung termaktub juga dalam Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2015 Tentang Rencana Detail Tata Ruang dan Peraturan Zonasi. Pelanggaran terhadap ketentuan tata ruang KBU berakibat pada bencana banjir di musim hujan, tanah longsor, kekeringan di musim kemarau, erosi, penurunan tanah dan lain-lain.

Pelanggaran terhadap ketentuan tata ruang KBU berakibat pada bencana, salah satunya banjir. Kota Bandung dilewati oleh 15 sungai sepanjang 265,05 km, maka bisa dibayangkan potensi banjir yang akan selalu mengancam kehidupan kota dan hal tersebut telah nyata terjadi.

Banjir yang terjadi di Bandung disebabkan oleh  salah urus wilayah dan ruang DAS di kota Bandung yang ditandai alih fungsi kawasan tangkapan air/resapan/tutupan hijau KBU (kawasan Bandung Utara), sedangkan diwilayah hulu dan tengah kota terjadi  perubahan alih fungsi lahan resapan, penyempitan dan pendangkalan sungai oleh bangunan komersil dan pemukiman serta  penyumbatan oleh sampah.

Hal ini diperburuk oleh sistem drainase kota yang  tidak mengalami up-grading yang signifikant bila disamakan dengan agresifitas pembanguan taman dan trotoar kota ditempat-tempat yang mendapatkan apresiasi turisme yang tinggi dan mampu menghela dalam  meningkatkan citra kota. Namun pembangunan yang selama ini ditunjukan melalui media sosial tidak substansial dan tidak sepenuhnya merujuk kepada RPJMD , RTRW dan RDTR kota Bandung, karena semua berdasarkan improvisasi kreatifitas otoritas semata.

Dalam RTRW Kota Bandung 2011-2031, seyogyanya termaktub rencana penanganan rawan bencana genangan banjir yang terdiri dari rehabilitasi dan penataan saluran drainase jalan, peningkatan kapasitas saluran drainase jalan, pengendalian terhadap alih fungsi lahan dan peningkatan peresapan air melalui rekayasa teknis.

Ketika political power telah disandingkan dengan capital power sehingga bekerja sama melalui PPP dan dana hibah misalnya, hal ini menguras 100% kekuatan politik itu, bahkan boleh jadi capital power memiliki keleluasaan dan pengaruh yang dominan.

Hal ini terbukti dengan pembangunan infrastruktur yang tidak memperhatikan beberapa aspek yang mesti dilihat baik dampak lingkungan, regulasi birokrasi dan penting tidaknya bagi masyarakat. Dari realitas ini, bilamana dinyatakan bahwa beberapa jalan atau sumber banjir misalnya menyalahkan provinsi, otoritas kota pusat tentulah tampak seperti lempar batu sembunyi tangan.

Otoritas kota melalui Ridwan Kamil melakukan akselerasi pembangunan infrastruktur beresiko lingkungan, tapi ketika terjadi eksternalitas negatifnya berupa macet dan banjir malah saling menyalahkan diantara otoritas pemerintah daerah (kab/kota dan provinsi).

Bandung yang notabene merupakan ibukota provinsi Jawabarat terintegrasi dalam rancangan Rencana Aksi Multipihak Implementasi Pekerjaan (RAM-IP) yang akan terintegrasi dengan semua dokumen dan rencanan/antisipasi banjir wilayah perkotaan.

Tapi bukankah kota ini adalah kota yang smart dan kreatif yang dalam menyelesaikan masalah perkotaan sering melakukan dobrakan inovasi hingga dobrakan kebijakan yang kadang juga berlebihan untuk menunjukan citra kota dan prestasi kota melalui otoritas kekuasaannya dimata publik kotanya sendiri, nasional hingga internasional.

Rencana dan beragam rekayasa tersebut  semuanya dapat terukur dan terencanakan dengan baik bukan sebuah tindakan reaksioner yang berlebihan untuk sebuah citra dan kredibilitas kekuasaan semata.

Maka sangatlah elok jika banjir Bandung ini menjadi pekerjaan rumah bersama bukan arogansi dan soranganisme penguasa kotanya serta saling menyalahkan kewenangan antara pemerintah kota dan provinsi.

Layaknya pekerjaan rumah, banjir ini akan lebih mudah jika dikerjakan dan diatasi secara berkelompok, bersama, berkolaborasi multipihak yang disertai dengan good governance, transparansi serta akuntabilitas yang benar dan clear bukan hanya sekedar gimmick kekuasaan dan gincu pembangunan semata.

Frans Prasetyo
Frans Prasetyo
Urbanist dan Peneliti Mandiri. Tinggal di Bandung.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.