Sejak putusan hakim tentang vonis bersalah atas kasus penistaan agama yang diberikan kepada Basuki Tjahaya Purnama, saya melihat fenomena ini sejalan dengan genealogi kejahatan dan asal mula totaliterisme. Pada tulisan ini saya akan melakukan pembahasan tentang tantangan masa depan Indonesia, sebuah negara bangsa yang multikultural dan multirelijius pasca dinamika yang terjadi akhir-akhir ini.
Adalah Hannah Arendt, seorang filsuf wanita yang berasal dari Jerman, yang pertama kali memperkenalkan sebuah tinjauan filosofis melalui Banalitas Kejahatan (1963) dan Asal Mula Totaliterisme (1973). Arendt adalah korban dari genosida holocaust yang dilakukan oleh pemerintahan Adolf Hitler di Jerman.
Arendt adalah filsuf yang mendedikasikan pemikiran dan karya-karyanya untuk memberikan pembelajaran dan pendidikan tentang asal mula munculnya sebuah kejahatan dan pemerintahan totaliter. Arendt mendedikasikan kajianya untuk mencegah dan mendidik masyarakat untuk tidak mengulangi kejahatan yang serupa dengan genosida holocaust itu.
Banalitas Kejahatan dan Moral Majority di Indonesia
Dalam menjelaskan tentang banalitas kejahatan, Arendt menggunakan istilah banalitas, yang secara etimologis berati menganggap biasa atau memaklumi. Arendt menggugat sebuah konstelasi moral yang dianut oleh masyarakat Jerman ketika holocaust terjadi, dengan menyebutnya sebagai banalitas kejahatan.
Banalitas kejahatan didefinisikan Arendt sebagai anggapan wajar terhadap kejahatan, dan tidak menganggap bahwa kejahatan itu sesuatu hal yang salah, atau lebih parahnya menganggap bahwa kejahatan itu tidak benar-benar terjadi atau tidak ada sama sekali. Anggapan ini koheren dengan situasi politik kala itu yang membuat masyarakat Jerman pada umumnya mendukung platform politik Adolf Hitler untuk melakukan marginalisasi struktural dan segregasi religius dan rasial kepada warga Yahudi Jerman.
Banalitas kejahatan ini mulai terlihat di Indonesia akhir-akhir ini. Indonesia adalah sebuah negara-bangsa yang di dalamnya terdapat banyak sekali ragam etnis, ras, suku, agama dan bahasa. Dan Indonesia adalah tergolong sebagai bangsa yang memiliki tingkat intelegensia tinggi. Namun, layaknya Jerman pada 1940an, Indonesia mengalami sebuah kondisi masyarakat yang Arendt sebut sebagai banalitas kejahatan. Penuntutan terhadap minoritas secara hukum, kekerasan, intimidasi/teror dan segregasi mulai meningkat sejak tergulingnya pemerintahan Presiden Soeharto.
Di era demokratis seperti sekarang ini, justru semakin marak ketidakadilan kepada minoritas. Dan dengan vonis terhadap Ahok, yurisprudensi hukum telah terbentuk bahwa minoritas telah secara terbuka dituntut secara hukum. Dengan mempertimbangkan dalil putusan hakim, yang menilai kasus penistaan bukan dari esensi ucapan Ahok, melainkan sebuah terminologi subjektif tentang perasaan tersakiti, kemarahan umat dan gesekan di masyarakat karena dinistakan agamanya.
Pandangan ini kemudian terbukti relevan, karena memang pada kenyataannya emotional bond lah yang kemudian mampu membuat pergerakan massa yang luar biasa itu untuk menuntut Ahok dihukum.
Moral Majority dan Asal Mula Totaliterisme
Dari pertimbangan hakim, Ahok dinyatakan bersalah berdasarkan moral majority yang dimiliki oleh umat Islam. Banyak pihak tidak menyadari bahwa moral majority inilah yang menjadi pertimbangan utama untuk memenjarakan Ahok. Dalam logika hukum, ini adalah dikesampingkan, karena tujuan pengadilan adalah memberikan kepastian hukum dengan sedikit mengesampingkan pandangan filosofisnya.
Namun dalam logika filsafat menerapkan moral majority dalam menilai kasus Ahok, yang kebetulan ia adalah bagian dari minoritas di Indonesia, adalah perwujudan dari banalitas kejahatan. Apa yang terjadi kemudian adalah identitas yang melekat kepada Ahok sebagai minoritas dikesampingkan demi mewujudkan moral majority. Dan sudah bisa dipastikan Ahok bersalah karena dalam perspektif moral majority, Ahok telah menjadi ancaman bagi eksistensi mayoritas.
Yang terjadi kemudian adalah penuntutan secara hukum ini bertujuan untuk membuat sebuah yurisprudensi hukum dalam memberikan landasan formal bagi moral majority dan membatasi Empat Kebebasan Fundamental yang menjadi nyawa dari Hak Asasi Manusia, yakni kebebasan berpendapat/berekspresi, kebebasan untuk beragama/mempercayai, kebebasan dari kemiskinan/kekurangan dan terakhir kebebasan dari rasa takut.
Empat kebebasan ini adalah hak warga negara yang harus dijamin dalam sebuah negara demokratis yang berdasarkan HAM. Namun, sejak putusan atas Ahok, 4 kebebasan ini secara otomatis dan sistematis menemukan batasan-batasan formalnya lewat yurisprudensi hukum. Ini kemudian dibahas oleh Arendt dalam karyanya Asal Mula Totaliterisme. Dalam karya ini Arendt kemudian memfokuskan pembahasannya tentang bagaimana bibit totaliterisme itu bisa tumbuh subur dalam sistem demokratis dan kondisi masyarakat dengan intelegensia tinggi.
Arendt menegaskan bahwa dengan matinya hasrat untuk berbeda pendapat dan melemahnya pluralisme akan mendorong moral majority secara formal berlaku. Pemerintahan totaliterisme bukan hanya tentang pemimpin yang diktator dan pemerintahan yang opresif. Dalam iklim demokratis yang plural seperti di Indonesia dilema mayoritas dan minoritas menjadi bibit dari totaliterisme itu sendiri.
Ketika kenyataan politik tentang kesamaan dan keadilan politik telah tercapai, kepemimpinan Ahok dan gagasan serta ucapan yang cenderung mengkritik mayoritas, akan menimbulkan gesekan. Dan gesekan ini kemudian juga dijadikan dasar untuk menghukum Ahok, maka lengkaplah sudah asal mula totaliterisme itu. Perbedaan pendapat dan gagasan kritis yang dipelopori oleh Ahok menjadi legitimasi bagi penerapan moral majority.
Sebuah Refleksi
Arendt berpikir sedikit lebih jauh dari beberapa filsuf pada eranya, dengan melakukan langkah preventif dan antisipatif agar sebuah kejahatan dan kesalahan itu tidak terulang. Arendt memberikan penjelasan tentang apa, mengapa dan bagaimana sebuah kejahatan bisa terjadi, terutama pada masyarakat yang memiliki intelegensia tinggi.
Pendapat ini diperkuat dengan kondisi terkini masyarakat Indonesia sendiri. Arendt memberikan tiga pesan utama dalam memaknai banalitas kejahatan dan bagaimana totaliterisme berkembang.
Pertama adalah pasifnya masyarakat untuk terlibat dalam perdebatan dan perlawanan intelektual atas kejahatan sistematis dan politik intoleran tersebut. Masyarakat yang pasif kemudian cenderung membenarkan dan mengabaikan dinamika yang sedang terjadi, dan ini adalah banalitas kejahatan yang paling terlihat. Membiarkan kejahatan itu terjadi dengan asumsi klise semacam pendapat mayoritas-minoritas atau kebenaran subjektif.
Kedua adalah ketidakmampuan untuk berbicara (inability to speak) yang kemudian diikuti oleh ketidakmampuan untuk menalar/berpikir (inability to think). Masyarakat yang terjebak oleh pandangan klise tentang kebenaran kemudian kehilangan kemampuan untuk berbicara dan berpikir. Apa yang kemudian berlaku dalam pikiran masing-masing orang adalah relativisme subjektif kebalikan dari skeptisisme ilmiah.
Yang terjadi dalam relativisme subjektif adalah kebenaran relatif dan standar ganda. Kita kemudian menganggap bahwa kebenaran itu berlaku secara subjektif, apa yang kita anggap benar, belum tentu orang lain anggap benar begitu pun sebaliknya. Ini adalah ironi dalam masyarakat degan intelegensia tinggi, karena telah kehilangan kemampuannya untuk berbicara dan mempergunakan nalarnya untuk setidaknya ikut aktif untuk mencegah banalitas kejahatan terjadi.
Ketiga adalah keengganan untuk menggugat moral majority, minimal mempertanyakan kembali apa yang ada di dalam diri kita masing-masing. Kita harus berkomitmen tetap adil dan kritis kepada segala bentuk bibit totaliterisme, mayoritanisme dan intoleranisme. Jika tidak, apa yang akan terjadi pada masa mendatang adalah kejahatan luar biasa dan berlakunya kembali totaliterisme di Indonesia.