Kamis, Mei 2, 2024

Bambu Runcing atau Nalar Runcing?

Fially Fallderama
Fially Fallderama
Alumnus Lab-School of Democracy (LSoD) dan Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Jakarta

Pahlawan kita telah berjuang mati-matian di medan tempur untuk merebut kemerdekaan dari penjajah atau para pahlawan telah mengorbankan nyawa mereka di medan perang untuk memerdekakan Indonesia, demikian penggalan wejangan para pembina upacara bendera yang saya dengar selama menempuh pendidikan dari tingkat dasar sampai menengah atas.

Kedua penggalan kalimat itu memuat kesamaan ide yaitu patriotisme dan kemerdekaan Indonesia. Menarik, percakapan soal patriotisme dan kemerdekaan Indonesia kerap digambarkan dalam suasana pertempuran atau peperangan dalam wejangan upacara tersebut.

Bukan hanya dalam upacara bendera, penekanan peperangan atau pertempuran untuk merebut kemerdekaan Indonesia juga terjadi dalam pembahasan sejarah kemerdekaan Indonesia di ruang-ruang kelas.

Tidak hanya di sekolah, dalam ruang-ruang hiburan seperti film-film dokudrama berlatar perjuangan Indonesia lebih banyak mengangkat narasi-narasi dalam medan tempur seperti, Darah dan Doa (1950), Janur Kuning (1979), Serangan Fajar (1982), Pasukan Berani Mati (1982), Merah Putih (2009), Jenderal Sudirman (2015) dan lain-lain.

Kenyataan ini menandakan bahwa narasi nasionalisme-heroisme militer lekat dan dekat dengan kehidupan sebagian besar masyarakat di Indonesia. Oleh sebab itu, kata NKRI harga Mati dapat hidup sebagai gesture kebangsaan dan simbol semangat bangsa Indonesia dalam menyikapi anti-nasionalisme dalam ruang publik.

Menurut Tirto.id istilah NKRI harga Mati mulai hidup setelah Soeharto lengser dan Timor Timur (sekarang Timor Leste) lepas dari Republik Indonesia pada 1999. Konteks itu menunjukkan bahwa adanya kecemasan dan ketakutan terhadap skisma Republik Indonesia (RI) pasca-Soeharto.

Dari latar itu tersirat makna pentingnya mempertahankan keutuhan RI dari beragam gangsiran dengan cara apapun termasuk kekerasan. Istilah NKRI harga mati senada dengan Merdeka atoe Mati. Istilah ini lahir dari tengah pertempuran 10 November 1945 di Surabaya dan Medan Area pada 15 Desember 1945 di Sumatera Utara.

Dari latar istilah itu dapat dilihat ada makna tersirat dibalik kata itu adalah soal pertempuran untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia dari gangsiran kolonial Belanda. Dari penjabaran latar historis kata-kata yang memuat unsur-unsur koersif dan heroisme menandakan adanya keakraban sebagian masyarakat secara ide dengan tradisi militeristik. Dengan begitu, apakah kemerdekaan Indonesia hanya diperoleh dari pertempuran fisik semata?

Pra dan Paska Supersemar

Menurut sejarahwan, Baskara T. Wardaya dalam sebuah tayangan sejarah di televisi swasta bahwa dulu sebelum supersemar ini pemerintahan itu didominasi oleh sipil, tetapi setelah supersemar malah didominasi militer. Pernyataan Baskara ini menginterupsi pikiran banyak kalangan terhadap realitas Demokrasi Terpimpin (1959-1967).

Sebagian besar orang berasumsi Demokrasi Terpimpin adalah rezim anti-demokrasi, didominasi elite militer dan pangkal keterpurukan Indonesia. Padahal, perpindahan kekuasaan dari Demokrasi Terpimpin ke Orde Baru tidak sebatas pemberantasan kaum kiri dan nasionalis Soekarno, melainkan melebernya kaum militer ke dalam ruang-ruang sipil sehingga kaum sipil secara strategis kehilangan gelanggang politiknya. Dengan begitu, telah terjadi perubahan kultur politik dari tradisi sipil kepada militer.

Di tengah euphoria sebagian masyarakat terhadap tentara yang telah melenyapkan kambing hitam makar pada 1965, maka rezim ini dengan lentur dan leluasa memunculkan wajah mesianik bagi masyarakat yang kala itu tertekan secara ekonomi dan politik. Walhasil, rezim Orde Baru dengan ideologi militer mendapat ruang dalam nurani sebagian masyarakat Indonesia yang merindukan pembangunan. 

Setelah 65 narasi sejarah mesianik ini disusun dan dituangkan secara akademik menjadi buku juga menjadi museum, monument dan diorama. Akan tetapi, cara-cara itu tidak cukup populis dan masif sehingga narasi mesianik itu dihadirkan dalam bentuk film sejarah. Film sejarah adalah salah satu medium Orde Baru untuk mempromosikan ideologi militer dan kultur kekerasan.

Tampaknya, Orde Baru menyadari bahwa film sejarah merupakan instrumen propaganda yang paling efektif di Indonesia ketimbang melalui buku dan monumen-monumen sejarah. Di dalam buku dan monumen-monumen bersejarah minim ruang bagi dramatisasi dan fiksionalisasi sehingga tidak merangsang imajinasi publik tentang peran heroisme tentara dalam sejarah Indonesia.

Malah, memicu pemikiran kritis dalam masyarakat yang sadar akan literasi. Akhirnya, Orde Baru memproduksi beberapa film sejarah dan dalam film itu cenderung menekankan peran dominan militer dalam sejarah perjuangan Indonesia sambil melemahkan peranan kaum intelektual (pejuang sipil) yang berjuang melalui tulisan, diskusi, retorika massa, dan upaya diplomasi dengan dunia internasional. Film sejarah besutan rezim ini adalah asali dominasi heroisme militer dalam paradigma masyarakat. Film itu bertujuan sebagai legitimasi rezim Orde Baru dan pemakluman tradisi kekerasan dalam dinamika sosial, politik dan budaya di Indonesia.

Kaum Intelektual dalam Lintasan Sejarah 

Dalam hal ini, kita perlu menyikapinya dengan kritis sehingga film sejarah itu harus dilihat sebagai produk kebudayaan popular sehingga dramatisasi dan fiksionalisasi lebih dominan ketimbang kebenaran historis. Satu-satunya jalan keluar dari kekangan propaganda ini adalah kembali kepada sejarah itu sendiri sehingga kita dapat memiliki perspektif yang luas. Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia kaum intelektual juga melibat dalam pergulatan kemerdekaan Indonesia.

Bahkan, peranan kaum intelektual dalam pentas sejarah nasional lebih dahulu dan dominan daripada peranan kaum berseragam. Tampaknya, kesadaran terhadap penindasan dan kemerdekaan akan sulit tumbuh dan berkembang tanpa pengetahuan yang mendalam. Oleh karena itu, paska Perang Dunia I, generasi terpelajar Hindia Belanda menyadari bahwa ilmu pengetahuan adalah alat untuk mencapai kemajuan dan memperkuat posisi dihadapan pemerintah kolonial Belanda. Berbekal imajinasi generasi terpelajar itu maka lahir kaum intelektual yang mendedah persoalan sosial-politik sampai memicu kesadaran untuk merdeka.

Tan Malaka adalah pejuang dengan latar belakang guru dan pemikir, bahkan istilah “Republik Indonesia” merupakan sumbangan pemikiran Tan malaka dalam Naar de Republiek Indonesia. Hatta dan Sjahrir adalah penggagas pendidikan politik di Hindia Belanda melalui Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baru), karena aktivitas pendidikan kritis ini Hatta dan Sjahrir mengalami pembuangan. Soekarno juga termasuk intelektual yang rajin menulis artikel di beberapa media seperti Fikiran Ra’jat, Pandji Islam dan Suluh Indonesia Muda.

Dari pekerjaan intelektual itu maka bertumbuh imajinasi dan kesadaran tentang kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda. Akhirnya, diperlukan kejujuran terhadap sejarah agar Indonesia dapat menata-ulang peradabannya. Dengan begitu, sebagai bangsa kita sadar bahwa republik ini lahir dan berdiri dari dan di atas intelektualitas bukan semata senjata dan kekerasan.

Fially Fallderama
Fially Fallderama
Alumnus Lab-School of Democracy (LSoD) dan Sekolah Tinggi Filsafat Teologi (STFT) Jakarta
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.