Ketika sedang berada di luar negeri, umumnya mahasiswa dan masyarakat Indonesia tetap mengidolakan Bakso sebagai menu santap yang dinanti-nantikan. Tidak terkecuali bagi mahasiswa dan masyarakat Indonesia yang ada di Southampton.
Bukan karena Bakso tidak dapat ditemukan di swalayan terdekat, tetapi lebih daripada itu, Indonesian meatballs are incomparable, tak tergantikan. Oleh karena itu, untuk meneropong fenomena Bakso di komunitas mahasiswa dan masyarakat Indonesia di Southampton, maka aspek legacy, identitas dan diplomasi kuliner menjadi fokus tulisan ini.
Bakso yang bernuansa khas Indonesia tidaklah mudah di dapat karena sangat terbatasnya orang yang memproduksi Bakso ala Indonesia. Oleh karena itu, untuk mengatasi kelangkaan ini, ada seorang mahasiswa Indonesia yang dengan rela mengorbankan waktunya untuk berkesperimen membuat Bakso bercita rasa Indonesia. Dengan beragam cara dan upaya serta usaha, akhirnya Bakso yang diinginkan berhasil di buat.
Awalnya ilmu produksi Bakso ini baru dikuasai oleh kalangan terbatas. Namun selanjutnya, sejarah Bakso di Soton memiliki sisi unik. Ilmu Bakso ini tidak copy right melainkan copy left artinya Ilmunya dapat ditularkan kepada siapa saja yang ingin belajar dan memproduksinya.
Jadilah, ilmu Bakso menurun dari satu generasi ke generasi selanjutnya sehingga menjadi peninggalan (legacy) yang bernilai amal jariyah. Dengan diturunkannya ilmu ini secara berantai, bagi mereka yang punya ghirah (semangat) yang tinggi dan waktu luang yang memadai, jadilah Bakso menjadi menu andalan di dapur.
Tidak hanya itu, Bakso juga bernilai ekonomis tinggi. Buktinya, Bakso dimanfaatkan sebagai produksi rumahan yang tidak hanya untuk memenuhi pasar masyarakat dan mahasiswa di Southampton, tetapi juga di UK secara umum.
Setelah mendapat ilmu turun-temurun, ilmu pembuatan Bakso ini juga mengalami inovasi. Beberapa informasi yang di dapat emak-emak yang terhimpun dalam grup Soton Ladies, baik dari bertanya dengan sesama Bakso producer, juga dari pengalaman-pengalaman warga baru.
Sharing ilmu dan pengalaman dalam hal produksi Bakso dilakukan melalui pertemuan-pertemuan informal emak-emak di grup Soton Ladies. Dengan saling melengkapi, maka dari hari ke hari ilmu Baksonya semakin lengkap dan hasilnya juga semakin ciamik. Dengan cara inilah, warisan ilmu per-bakso-an di Southampon bisa bertahan sampai sekarang. Dibagikan dan diturunkan dari warga lama ke warga baru secara berkesinambungan.
Selain menjadi legacy, Bakso juga bahkan menjadi bagian dari identitas masyarakat Indonesia di tengah komunitas muslim di University of Southampton (UoS). Sebagai sebuah identitas, Bakso secara konsisten disajikan sebagai menu oleh Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Southampton di setiap perayakan festivity of Eid Mubarak, di kampus UoS.
Minimal, sudah lima tahun terakhir, komunitas muslim dari negara lain sebutlah Malaysia, Bruneid Darusalam, Saudi Arabia, Aljazair, Eropa, dan (keturunan) Pakistan, India dan Bangladesh, mengasoasiakan Bakso sebagai Indonesian culinary. Ini artinya, ketika terkait dengan kuliner, maka ingatan mereka te-recall kepada Bakso. Kuliner Indonesia adalah Bakso.
Oleh karena itu, untuk menunjukkan identitas ini, Bakso yang disiapkan oleh mahasiswa Indonesia di kegiatan tersebut dibuatkan banner bertuliskan “Indonesian Meatballs”. Ini adalah salah satu upaya memperkuat identitas Bakso Indonesia berbeda dengan Bakso-Bakso yang ada, yang dijual di beberapa swalayan di Southampton.
Pernah suatu waktu, di swalayan halal saya sedang memesan boneless beef dan boneless chicken lalu di campur menjadi mince (daging giling). Tiba-tiba ada seorang pelanggan bule yang bertanya, intinya kamu mencampur apa dan untuk apa hasil gilingan tersebut. Saya jawab, beef and chicken. I want to make meatballs. Dia berkomentar penuh keheranan, I have never seen it before. Karena umumnya mince yang di jual di swalayan campuran beef dan lamb.
Mencampur beef and chicken kelihatan aneh bagi mereka. Tapi tidak bagi kita, karena Bakso yang dihasilkan dari campuran beef and lamb kurang bagus dan kurang maknyus. Inilah salah satu rahasia yang membedakan Bakso Indonesia dengan bakso-bakso yang ada di pasaran.
Sebetulnya, sebagai sebuah identitas, Bakso sudah pernah naik daun di Amerika. Setelah kepulangan dari kunjungannya ke Indonesia, mantan Presiden Amerika, Obama banyak di quote oleh media di sana karena kesukaan Obama kepada Bakso selain nasi goreng dan sate. Saking interestnya, salah satu situs yakni Nola.com, secara khusus memuat tulisan dengan tema bakso berjudul “Bakso: the soup President Obama loved as a child”.
Salah satu aspek yang mungkin memperkuat identitas bahwa Bakso adalah kuliner Indonesia adalah Bakso juga sangat digemari masyarakat serumpun Malaysia. Dari sedemikian banyak jenis makanan, Bakso selain Tempe, merupakan salah satu kuliner yang tidak bisa di produksi mahasiswa Malaysia di Southampton.
Selalu ketika berjumpa dan bercerita tentang Bakso, mereka mengakui gagal dalam membuat Bakso. Oleh karena itu, mereka akan sangat senang jika di tawari untuk membeli apalagi kalau bisa dapat gratisan. Tidak akan pernah menolak.
Selanjutnya, makanan, dalam hal ini Bakso juga berfungsi sebagai media diplomasi. Dalam dunia per-kuliner-an, terdapat dua istilah yang berkembang yakni culinary diplomacy dan gastrodiplomacy. Diplomasi jenis pertama lebih bersifat antar pemerintah (government to government), sedangkan jenis yang kedua bersifat dari pemerintah untuk public.
Dengan demikin, culinary diplomacy, umumnya adalah jamuan kenegaraan saat pemimpin suatu negara berkunjung ke negara lain. Gastrodiplomacy, dapat dilihat dalam kegiatan open house saat lebaran, dimana pihak Istana menjamu masyarakat yang datang saat kegiatan tersebut, atau misalanya melalui festival kuliner di sebuah negara.
Sementara, ahli gastronomi, Paul Rockower, membaginya menjadi diplomasi kuliner privat dan publik. Kedua jenis diplomasi ini sama dengan pengertian di atas. Diplomasi kuliner privat dilakukan pada level pemerintah dengan pemerintah. Sementara Diplomasi kuliner public sama maknanya dengan gastrodiplomacy, yaitu penggunaan makanan sebagai alat diplomasi publik yang bertujuan untuk mengenalkan dan mempromosikan masakan suatu negara kepada publik negara lain secara luas.
Oleh karena itu, meskipun bukan dilakukan oleh pemerintah, melainkan oleh komunitas bernama Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Southampton, penyajian Bakso saat Iedul Fitri yang dinikmati oleh masyarakat dari beragam negara, merupakan wujud dari gastrodiplomacy. Sebuah soft-diplomacy, yang tidak hanya menenteramkan pikiran tetapi juga mengenyangkan perut.
All in all, Bakso bagi mahasiswa dan masyarakat Indonesia di Southampton, tidak hanya pelapas rindu terhadap kuliner bercita rasa Indonesia, tetapi juga warisan yang bernilai ekonomis tinggi serta mengeratkan kohesivitas sosial, menjadi simbol identitas kuliner di tengah interaksi dengan masyarakat, khusus nya muslim, dan menjadi sarana diplomasi kuliner yang efektif di University of Southampton pada khususnya, dan di City of Southampton pada umumnya.