Di pertigaan jalan yang sunyi itu, berhenti sebuah mobil Avanza hitam. Seorang pria menurunkan kaca mobilnya dan bertanya kepadaku yang hendak melakukan wawancara dengan para buruh pembibitan, sore itu.
“Dek, coba tanyakan madu di rumah itu” kata pria itu sambil mengarahkan bola matanya ke sebuah rumah panggung beratap rumbia di samping jalan. Sontak, aku berpaling pada kumpulan ibu-ibu yang sedang berkumpul di warung yang tidak jauh dari rumah itu.
“Mama Kai, ada Madu?” teriakku. Wanita tua yang masih telihat bugar pun menghampiri kami dan berkata bahwa bulan ini bukan musimnya. Madu belum bisa dipanen dari hutan. Pria tersebut pun harus pulang tanpa membawa apapun. Dilajukan mobilnya di jalan berbatu yang aspalnya sudah sangat rusak, kemudian bergerak meninggalkan kami.
Daerah itu memang menjadi salah satu penghasil madu hutan yang sering dipesan oleh masyarakat perkotaan. Pria dengan mobil Avanza tadi salah satunya. Produksi madu di kawasan ini menjadi sangat berkurang, jadi sulit untuk memanen madu. Di sisi lain masyarakat belum mengenal ternak lebah, sehingga proses pengambilan madu masih langsung dari hutan.
Aku berpaling kepada perempuan paruh baya yang baru saja menanyakan perihal kedatanganku sore itu. Perempuan itu kupanggil “Mama Kai”. Terlihat jelas kalau nama anaknya adalah Kai.
Aku tidak menanyai nama aslinya karena menurutku kurang sopan. Mama Kai menjadi pencari nafkah keluarganya, mengingat suaminya tidak memiliki pekerjaan tetap. Sebelumnya beliau hanyalah ibu rumah tangga biasa dan peranjut rumbia, karena sudah jarang peminat, membuat ia harus mencari alternatif lain untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Di usianya yang terbilang sudah tidak muda lagi, dia masih harus membiayai dua anak terakhirnya yang belum menikah. Salah satunya adalah Isa. Dia adalah seorang wanita muda yang telah berhenti sekolah sejak sekolah dasar. Memilih untuk membantu ibunya mencari uang. Isa adalah anak terakhir dari Mama Kai yang belum menikah. Jarum jam menunjuk ke arah empat dengan jaruk pendeknya mengarah ke angka sembilan. Aku memutuskan untuk mengakhir sesi ini dan memutuskan untuk kembali ke rumah.
Siang itu, sehabis shalat jumat, aku berkunjung ke rumahnya. Dalam kunjungan ini ia menerangkan mengenai pembibitan. Beberapa tahun yang lalu, Wa Lese dan beberapa ibu rumah tangga lainya, menerima ajak untuk menjadi buruh pembibitan. Sistem perekrutannya tidak menggunakan kualifikasi apapun. Yang penting siap bekerja keras, menggali tanah, membawanya dengan arko, memasukkannya ke dalam polybag, dan beberapa pekerjaan lain seperti menanam bibit dan membersihkan lahan.
Pekerjaan sebagai buruh pembibitan ini lebih banyak dikerjakan oleh perempuan. Selain karena tidak adanya syarat khusus seperti jenjang pendidikan, hal ini juga dikarenakan laki-laki kurang antusias dengan pekerjaan ini karena gaji yang rendah dan berat pekerjaannya, sehingga pekerjaan ini dipandang sebelah mata. Keuntungan lain yang diperoleh adalah ibu-ibu di daerah ini bisa pulang ke rumah karena jaraknya yang dekat. Pekerjaan juga hanya berlangsung sampai siang saja.
Pekerjaan buruh pembibitan adalah pekerjaan yang berat, apalagi untuk perempuan. Hasil kerja di pembibitan tidaklah banyak, bahkan sangat kurang. Ternyata dalam kegiatan pembibitan terdapat beberapa tahap di mana masing-masing tahap memiliki upah tersendiri. Tahap pertama adalah pembersihan lahan, dengan upah rp 50 ribu. Pembersihan ini sendiri menandakan bahwa bibit akan segera dibawa oleh pemilik lahan.
Tahap kedua adalah pengisian polybag, dengan upah 140 ribu untuk 2000 bibit. “Jika seorang diri mengisinya mungkin memakan waktu sampai sepuluh hari” kata Wa Lese. Tahap ini hanya berlangsung ketika kantung polybag yang akan diisi telah tiba. Untuk waktu pengerjaan juga tergantung dari kantung, jika kantungnya habis, pekerjaan selesai. Penerimaan gaji akan dilaksanakan bulan depan sebanyak dengan jumlah kantung yang mereka selesaikan.
Tanah yang dimasukkan juga harus banyak, tebal dan perlu digali dahulu kemudian diangkut pakai arko. Tahap ketiga pembibitan dan pengangkutan, untuk pendanaanya tergantung pada pesanan, jika 6000 bibit, maka dana yang dikeluarkan biasanya 600 ribu dan itu semua akan dibagi rata kepada pengangkut dan pembibit. Pembibitan sendiri tidak dilakukan setiap bulan, melainkan saat ada bibit dan pesanan saja. Bayangkan saja selama sebulan mereka hanya menerima ratusan ribu. Itupun tidak setiap bulan.
Sabtu, tepatnya pukul 05.30 WITA seorang ibu meneriakkan jualannya di samping rumahku. “Mama Ade, O Lapa” katanya sambil menurunkan jualan yang dijunjungnya. Kata O Lapa digunakan untuk menanyai ibuku apakah dia mau membeli lapa-lapa atau tidak?
Lapa-Lapa sebutan untuk makanan khas Sulawesi Tenggara. Dibuat dari beras putih yang dicampur dengan ketan merah yang dimasukkan ke dalam janur yang telah dilipat dan dialasi daun pisang. Setelah beras tadi telah tebungkus, janur kemudian diikat, lalu direbus. Makanan ini biasanya dibuat saat hari raya. Akan tetapi, Wa Lese menjadikannya sebagai mata pencaharian.
Beliau menjual lapa-lapa setiap Sabtu dan Minggu. Pembuatan lapa-lapa sangat bergantung pada janur dan daun pisang yang menjadi ciri khas utama. Keterbatasan janur bisa menghilangkan mata pencaharian Wa Lese. Ibu dengan lima anak ini harus menjadi tulang punggung keluarga, setelah suaminya terserang stroke yang membuat kaki dan tangannya mati sebelah.
Wa Lese adalah salah satu dari sekian banyak model perempuan di desa; menikah muda, tidak berpendidikan tinggi, dan bergantung kepada suami sehingga ketika suami mengalami malasah kesehatan, ekonomi keluarga pun ikut bermasalah. Hal ini kemudian memaksa mereka untuk bekerja serabutan, apa saja yang penting ada, salah satunya yang tersedia adalah buruh pembibitan.
Minggu, kuputuskan untuk menemui pemilik penyemaian. Kuambil kontak whatsappnya melalui seorang buruh pembibitan. Mereka memanggilnya dengan sebutan Boss Bastcam. Saat pertama kuhubungi, ia mengira bahwa aku ingin membeli tanaman. Namun maksudku untuk melihat siapa saja yang memesan bibit.
Bibit yang disemai akan dijual dan bakau menjadi inti perbincangan. Ternyata beberapa pembeli bibit merupakan mahasiswa, yang akan melakukan penanaman bakau di Bypass Kendari. Daerah ini memang berhadapan dengan Teluk Lasolo Kendari. Beben Rachmad dan Yogi Noviadi pernah melakukan pengamatan dan penelitian di sana, hasilnya pantai Lasolo mengalami abrasi. Mungkin ini yang menjadi alasan mengapa mahasiswa menanam bakau di sana.
Bakau memang dapat mengembalikan ekosistem pantai. Tanaman ini mampu mencegah abrasi, menyerap kotoran yang berasal dari sampah manusia maupun kapal, tidak hanya itu bakau juga menyerap semua jenis logam berat sehingga membuat kualitas air menjadi lebih baik dan mencegah tsunami. beberapa lembaga/organisasi salah satunya Polisi Daerah Sulawesi Tenggara, sampai melakukan penanaman bibit bakau sebanyak 2000 pohon oktober lalu. Selain menjual bibit, tanaman, Boss Bastcam juga memberikan bantuan untuk kegiatan sosial secara gratis.
Sebagai penutup perjalanan kali ini. Aku telah bertemu perempuan-perempuan kuat. Sebagaimana yang aku saksikan di areal pembibitan. Bekerja tanpa kenal lelah dengan pendapatan yang tidak seberapa. Bekerja tanpa melihat manfaat jangka panjang yang dihasilkan oleh buah tangan mereka.
Penyemaian bibit membutuhkan benih yang kemudian dijaga dan dirawat oleh ibu-ibu pembibitan. Tentunya tidak singkat. Dirawat sepenuh hati bagai anak sendiri. Dan hal ini hanya dikerjakan oleh perempuan. Dalam pengamatanku tidak ada laki-laki yang terlibat dalam perawatan benih, dikarenakan tidak ada ketertarikan di pekerjaan itu.
Seandainya perempuan tidak terlibat dalam pembibitan, bibit tidak akan siap digunakan untuk projek penanaman bakau dan usaha pelindungan alam lainnya tidak dapat terlaksana. Hanya masyarakat kadang tidak sadar akan hal itu. Mungkinkah tanaman-tanaman yang mereka tanam dapat membuat setidaknya gaji yang mereka terima bisa meningkat, setimpal dengan manfaat dari tanaman itu.