Kata Bahlul sering muncul dalam perbincangan sehari hari. Kebanyakan orang menggunakannya sebagai ejekan (mockery) – baik secara serius atau sekadar candaan-bermakna gila atau bodoh. Karena itu, mendapat sebutan bahlul menjadi salah satu hal yang kurang menyenangkan bagi siapapun.
Kata Bahlul berasal dari kosa kata Arab buhlul. Kejamakan lidah orang lantas mengubahnya menjadi bahlul. Meski demikian, lema ini sudah diserap ke dalam bahasa Indonesia serta dicantumkan di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai salah satu daftar cakapan bermakna bodoh.
Kata bahlul menarik ditelaah dari dua sudut utama. Pertama, makna buhlul di dalam mufradat (kosa kata) Arab lebih mengandung citra positif ketimbang negatif. Kita bisa mengambil contoh di dalam kamus Al Mu’jam As-Sari’, kata buhlul dengan bentuk jamak bahalil adalah abjektiva menunjuk kepada pemimpin penyandang banyak atribut kebaikan (al sayyid al jami li shifat al-khair). Sementara kata bahlul atau buhlul dengan denotasi bodoh tidak dijumpai.
Di kamus yang lain, buhlul dengan arti bodoh memang muncul, akan tetapi makna dengan konotasi yang lebih santun tetap berada di daftar teratas. Misalnya di dalam mu’jam al-lughat al-arabiyah al-mu’ashirah, kata buhlul yang bermakna bodoh muncul sebagai salah satu alternatif makna terjemahan positif di atas. Di kamus Al-munawwir karangan Kiai Haji Ahmad Warson Munawwir, buhlul diterjemahkan sebagai pelawak, sementara makna bodoh tidak ditemukan.
Kedua, kata buhlul yang sudah berubah menjadi bahlul, masyhur di dunia Islam sebagai nama lakab salah satu tokoh sufi nyentrik terkemuka asal Irak bernama asli Abu Wahib Bahlul bin Umar bin al-Mughirah. Bahlul ini dikenal anti arus utama dalam beberapa sisi keberagamaan yang ditampilkan. Atas citra nyeleneh ini Bahlul mendapat sebutan tambahan majnun, yang berarti gila.
Sangat dimungkinkan dari karakter sufi inilah, kata bahlul mendapatkan denotasi populer berupa gila atau bodoh. Kalaupun eksposisi ini benar, karakter gila atau bodoh yang disandang Bahlul kurang tepat jika dipahami secara harfiyah sebagai sebuah olokan. Kenyataannya, Bahlul dikenang sebagai salah satu sufi besar sekaligus pujangga andal dalam sejarah Islam yang namanya dapat disandingkan dengan Abu Nuwas.
Lakon kocak keduanya dengan Harun Ar-Rasyid, salah satu khalifah terkenal Bani Abbasiyah, menanggalkan jejak-jejak hikmah yang terus dikenang. Abul Qasim Hasan bin Huhammad bin Habib memasukkan nama Bahlul ke dalam daftar para sufi yang dijulukinya sebagai “si gila yang sangat waras” atau ‘uqalau al-majanin. Julukan ini sekaligus menjadi nama judul kitab yang ditulis oleh penulis yang wafat 406 hijriyah tersebut.
Uniknya, kata Bahlul di dalam pengucapannya lebih sering digunakan sebagai sebuah olokan. Tidak hanya di Indonesia, di tanah asalnya juga demikian. Kenapa makna ejekan lebih melekat kepada bahlul di dalam pengucapan sehari-hari?
Bahasa adalah simbol tanda yang paling penting, demikian menurut para konstruksionis sosial. Sistem tanda itu kita pertukarkan dalam proses interaksi sosial yang terus berlangsung sehari-hari. Pengulangan simbol tertentu guna merujuk makna tertentu dalam proses interaksi melahirkan apa yang disebut sebagai tipifikasi dalam lensa konstruksi sosial. Pelambangan ini kemudian semakin memadat melalui proses pelembagaan (institusionalisasi) sehingga makna yang ada diterima dan dipatuhi sebagai makna yang melekat. Tahap ini adalah konvensi sosial yang menegaskan bahwa simbol tertentu memiliki makna tertentu.
Meski bahasa bersifat arbitrer, namun pemilihan kata tertentu bukan berarti lahir dari ruang kosong. Konvensi terhadap satu bahasa selalu merepresentasikan konteks sosial masyarakat tertentu. Ketika kata bahlul menyemat makna yang sepenuhnya negatif, maka itu melambangkan – meminjam Peter Berger- warna stok pengetahuan sosial (social stock of knowledge) di suatu waktu mengenai lema tersebut juga negatif. Persepsi negatif ini terus direproduksi sehingga makna tersebut tetap melekat hingga kini.
Fase awal infiltrasi kata bahlul ke dalam kosa kata percakapan sehari-hari menjadi konteks yang bisa menjelaskan citra awal pemakaian kata tersebut di Indonesia. Saya meyakini, kata bahlul masuk ke nusantara dalam bentuk satu paket dengan makna negatifnya. Paket lema dan makna ini yang kemudian diadopsi dan diapropriasi secara aksiomatis oleh orang-orang lokal tanpa menelisik makna asalnya di dalam kosa kata Arab.
Bahlul dan Orientasi Fikih
Penyerapan kata bahlul dengan makna populernya saat ini sangat mungkin tidak bisa dilepaskan dari warna keberagamaan yang dipraktikkan oleh para penutur awal. Catatan Ibnu Khaldun di dalam kitab prolegomena terkenalnya muqaddimah dapat sedikit menjelaskan bagaimana persepsi terhadap bahlul terbentuk. Ibnu Khaldun menyebut bahlul sebagai representasi sekelompok orang yang memiliki kedudukan spesial di sisi Allah. Dia menyebut mereka orang-orang bahlul, qaumun bahalilu.
Mereka ini tampak menyerupai orang gila dan pandir, tetapi sejatinya kedudukan mereka di sisi Allah sangat mulia. Di luar apresiasi tersebut, Khaldun menjelaskan pandangan antitesis terhadap bahlul dari sebagian ahli fikih. Parafuqaha’ mengingkari model keberagamaan nyentrik para bahlul dengan menganggap mereka sebagai orang orang yang tidak layak mendapatkan kedudukan apapun di dalam agama.
Bagi mereka, bahlul adalah orang-orang yang tidak mukallaf(doly capax) di mana kedudukannya seperti orang gila di dalam agama. Pandangan Ibnu khaldun ini bisa menyingkap sedikit pemahaman kepada kita, bahwa kata bahlul dengan konotasi negatif berpotensi muncul dan berkembang di dalam iklim keberagamaan yang berorientasi kuat terhadap fikih, sementara apriori terhadap tasawuf. Ini sekaligus menjelaskan kepada kita, mengapa kata bahlul sangat jarang digunakan sebagai simbol ejekan oleh komunitas muslim yang menerima Islam melalui jalur transmisi dakwah Islam yang memadukan fikih dan tasawuf sebagaimana wali songo.
Kalaupun digunakan, kata bahlul digunakan secara metaforik. Makna yang dikehendaki tidak sampai kepada taraf menghina dan merendahkan. Sama seperti kalangan pesantren ketika menyebut majnun, mereka menghendaki makna yang berbeda dengan citra harfiyahnya. Jika secara harfiyah terjemahannya adalah gila, maka kalangan pesantren menggunakan gila dengan tanda kutip.
Demikian juga kata bahlul hampir tidak pernah digunakan di dalam konotasi yang negatif. Orang-orang pesantren meyakini terdapat kekasih Allah yang fana di dalam kecintaan kepada Allah. Bahlul adalah salah satu representasinya. Tampilan lahir para kekasih Allah ini acapkali menipu pandangan mata.
Komunitas pesantren memiliki apresiasi tinggi terhadap tasawuf. Muslim santri menempatkan orang-orang yang menjalani laku tasawuf di dalam posisi terhormat seburuk apapun tampilan lahir mereka tampak secara kasat mata. Alih-alih merendahkan, memuliakan nama para sufi nyentrik seperti Bahlul adalah keharusan bagi mereka.
Sejatinya, menghormati sosok semacam Bahlul adalah representasi keberagamaan substantif, di mana beragama bukan memamerkan simbol belaka, melainkan juga mengamalkan laku yang selaras dengan pesan terdalam agama, yaitu rahmat. Inilah wajah Islam Nusantara.