Jumat, April 19, 2024

Bahaya Dibalik Politik Tagar

Faiz Zawahir Muntaha
Faiz Zawahir Muntaha
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia

Melihat panasnya Pertarungan dan gesekan politik di masyarakat akhir-akhir ini, cukup menarik bagi kita jika kembali membuka buku karya dari Evans dan Kevin Raymond yang berjudul “The History of Political Parties & General Elections in Indonesia”. 

Narasi yang dikembangkan oleh penulis berkaitan dengan perjuangan ideologis partai politik di Indonesia. Jika kita lihat korelasinya dengan situasi politik hari ini, tentunya sangat berkaitan dengan panasnya gesekan politik di masyarakat. Mulai dari dialog santai, saling sindir dan komentar panas di group WA sampai “persekusi” dan gesekan massa yang melakukan perang tagar dan deklarasi.

Untuk mengawali obrolan kita, mari kita mulai dari pertarungan partai politik periode awal kemerdekaan. Pada fase ini konflik antar parpol terjadi bermotif ideologis. Kalau kita lihat secara seksama konflik ideologi ini muncul akibat perbedaan preferensi tentang masyarakat dan negara yang dicita-citakan serta mau diperjuangkan oleh setiap partai politik. Sejarah Indonesia mencatat pada fase awal ini indonesia pernah mengalami berbagai bentuk negara mulai dari serikat ataupun demokrasi terpimpin.

Pertarungan ideologi fase awal kemerdekaan ini tidak terlepas dengan proses pertarungan ideoligi dunia dimana kutub barat dan timur,  sosialis dan kapitalisme sedang bertempur guna memenangkan pertarungan wacana, ideologi dan ekonomi dunia.

Fase kedua adalah fase orde baru. Pada fase ini pertarungan ideologis ataupun deidologisasi mencoba Soeharto hentikan. Hal itu berlandaskan pada pandangan bahwa gesekan ideoligis adalah penyebab dari ketidakstabilan politik. Sehingga usaha deidologisasi sasi ini sangat nampak dan ditandai oleh pemberlakuan pancasila sebagai asas tunggal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Proses deideoligisasi pada fase orde baru memang berjalan dengan cukup panas dan berdarah namun hal itu cukup berhasil dalam meredam konflik politik meskipun kita harus mengkritisi cara-cara refresif yang digunakan penguasa dalam membubarkan partai-partai yg dianggap menjadi pengganjal pemerintah.

Selain dari itu yang menjadikan pertarungan ideologis “meredup” adalah peta pertarungan ideologi dunia telah usai. Karena pada waktu itu “komunisme” telah kalah dan habis. Tidak ada lagi kongres partai komunis internasional. Ya, sebagaimana dibahas oleh Fukuyama dalam the End Of History and the Last Man. Atau meminjam istilah dari Danial Bell adalah fase “the end of ideology” atau zaman kelelahan ideologi. Di mana setiap negara fokus pada pembangunan ekonomi dan infrastructure.

Pasca orde baru jatuh dan awal reformasi kita bisa melihat fase awal kemunculan kembali “pluralisme politik”.

Ya…kemunculan agama atau Ormas keagamaan sebagai basis masa dan doktrin perjuangan partai politik menandai bangkitnya “politik aliran” dan menguatnya isu primordial. Kita lihat dengan munculnya PAN sebagai “partai Muhammadiyah”, PKB “partai NU” yang dipimpin oleh Almarhum Gusdur sebagai pimpinan gerbong yang menjadi “masinis perjuangan politik NU”. Ataupun partai-partai lain yang jadi refresentasi komunitas ataupun organisasi.

Namun, Kemunculan Parpol yang memiliki sejarah kekerabatan dengan ideologi politik dekade 1945-1965 menegaskan bahwa proses deideoligisasi Orba tidak berhasil mengikis orientasi ideologis.

Kebebasan berpendapat, berserikat dan berkumpul yang dinikmati pasca orde baru menemukan titik didihnya menjelang pemilu 2019 ini. Semoga itu bukan pertanda siklus kenegaraan yang per 20-30 Tahun mengalami pergantian yang ditandai oleh gesekan yang sangat dahsyat baik dikalangan elit politik ataupun masyrakat.

Dalam kacamata pembangunan setiap konflik dan peralihan per20-30 tahun ini telah mengacaukan proses perjuangan negara indonesia untuk menjadi negara yang besar. Tahun 1990an indonesia telah bersiap dan berbenah untuk menjadi negara industri karena pembangunan insfrastruktur agraris telah berhasil dan kita berhasil swasembada pangan. Namun krisis 98 telah mengacaukan hal ini. Ibarat pesawat yang siap lepas landas kita ditembak jatuh dan butuh waktu lama untuk memperbaiki.

Menjelang pemilu 2019 gejala bentrokan dan gesekan kembali memanas. Kubu tagar #2019gantipresiden dan #2019tetapjokowi memanas di tiap daerah. Ada penjegalan, pencekalan bahkan hampir terjadi bentrokan fisik Sebagaimana kejadian di surabaya beberapa saat lalu.

Perang komentar panas antar tokoh ormas besar islam begitu terlihat. Ketua Umum Gerakan Pemuda (GP) Ansor Yaqut Cholil Qoumas menyatakan #2019gantipresiden adalah gerakan banci (cnn.com) meskipun begitu membantah ada pengerahan masa banser untuk menghadang gerakan tersebut.

Dan juga pernyataan keras dari Habib Rizieq dari Mekkah yang menyerukan zihad melawan preman bayaran dan siapapun yang bermaksud memecah belah umat dan bangsa serta melakukan persekusi terhadap ulama, tokoh masyrakat dan ibu-ibu. Tentu yang dimaksud oleh Habib Rizieq ini adalah kelompok ormas, yang berseragam ormas yang melakukan penghadangan dan sweeping terhadap kubu #2019gantipresiden.

Harusnya negarawan, tokoh agama, cendekiawan, tokoh ormas dan para da’i itu memberikan komentar yang meneduhkan bahwa 2019 kita hanya akan memilih pemimpin dan perwakilan kita yang akan mengelola negeri ini. Pilihlah pemimpin yang memiliki potensi, prestasi dan berintegritas. Kita bukan mau perang badar atau sedang perang melawan kafir.

Sehingga mereka yang mendukung #jokowi2priode bukan berarti antek asing, kafir dan kapitalisme dan mereka yang menginginkan ganti presiden tidak berarti musuh negara. Atau dalam istilah yang lebih populer yang tidak suka #2019gantipresiden tidak berarti “Cebong” dan yang tidak mendukung #2019tetapjokowi tidak berarti “kampret”.

Seharusnya kedua team sukses dan partai politik keduanya perang gagasan dan program dalam memperjuangkan jagoan masing-masing. Ketika isu SARA menjadi jualan dalam politik menjadi tanda bahwa calon dan pendukungnya tidak memiliki kualitas.

Jangan sampai tragedi 1998, 1965 itu terulang hanya karena ambisi elit politik dan ormas yang menjadikan masyarakat terpecah belah. Terlalu mahal bangsa ini jikalau harus dikorbankan gara-gara tagar. Luka politik masa lalu harusnya menjadikan banga indonesia semakin arif dan bijaksana dalam berpolitik.

Tidak ada tokoh dan partai politik yang lebih berharga daripada NKRI. Jangan sampe kita saling menyakiti dan berperang hanya gara-gara sebuah “tagar”. Dukunglah dengan bijak tanpa saling ejek, caci ataupun persekusi. 2019 adalah pesta demokrasi, selayaknya pesta kita harus menyambutnya dengan senang gembira bukan dengan suasana mencekam dan saling ancam.

Faiz Zawahir Muntaha
Faiz Zawahir Muntaha
Mahasiswa Pascasarjana Universitas Indonesia
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.