Jika kita membaca UUD 1945 Pasal 36 Bab XV, di sana tercantum bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa resmi negara kita tercinta, Indonesia. Artinya, bahasa Indonesia merupakan jati diri bangsa. Ia berfungsi sebagai bahasa pemersatu bangsa Indonesia yang majemuk dalam berbagai hal, mulai dari suku, budaya, agama, dan lain-lain. Bayangkan jika tidak ada alat pemersatu bangsa. Apa yang akan terjadi dengan nasib bangsa ini?
Hal di atas memberikan pesan secara eksplisit kepada kita, sebagai warga negara, untuk mempelajari, memahami, menghayati serta mengamalkan bahasa Indonesia tersebut dalam kehidupan sehari-hari sehingga bahasa Indonesia akan menjadi tuan rumah di negerinya sendiri, bahkan mendunia kelak.
Dalam konteks mendunia, ada amanat untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa Internasional. Lihatlah UU Nomor 24 Tahun 2009 Pasal 44 tentang bendera, bahasa, dan lambang negara, serta lagu kebangsaan yang menegaskan pemerintah untuk meningkatkan fungsi bahasa Indonesia menjadi bahasa Internasional secara bertahap, sistematis, dan berkelanjutan. Dalam hal ini, lembaga kebahasaan menjadi koordinator penggeraknya.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah amanat undang-undang di atas sudah menjadi realitas di lapangan? Seberapa jauh penghormatan setiap warga negara terhadap bahasanya sendiri? Seberapa banggakah warga negara menggunakan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari di kantor, sekolah, kampus, lembaga pemerintah, dan seterusnya? Dan sejumlah pertanyaan sejenis lainnya.
Faktanya, bahasa Indonesia, di ruang publik, semakin lama justru semakin mengkhawatirkan. Ia seolah termarjinalkan oleh hadirnya bahasa asing. Pasalnya, intervensi bahasa asing terhadap bahasa Indonesia terlalu dominan. Ditambah pula masyarakat saat ini lebih bangga menggunakan bahasa asing ketimbang bahasa Indonesia. Mereka menganggap, dengan menggunakan bahasa asing, lebih keren, gaul, eksis dan modern. Di mana penghormatan dan penghargaan warga negara terhadap bahasa resmi negaranya sendiri?
Konsekuensinya, bahasa Indonesia menjadi asing di negerinya sendiri. Kita ambil satu contoh-contoh kecil saja; Berapa persen masyarakat yang menggunakan kata “kudapan” ketimbang “snack” dalam perbincangan sehari-hari? Masih banyak pengunaan kata-kata asing lain yang terpaksa masyarakat memakainya karena ketidaktahuan mereka terhadap padanan kata dalam bahasa Indonesia.
Melihat kondisi bahasa Indonesia yang kian terpuruk dan mengkhawatirkan. Kiranya perlu ada aturan tegas dari pemerintah agar bahasa Indonesia tetap digunakan di ruang publik oleh masyarakat. Bahasa Indonesia harus menjadi utama digunakan, bukan sebagai penyanding, di ruang publik. Di lapangan, banyak lemabaga negara justru sebaliknya, mengutamakan bahasa asing daripada bahasa resmi negara.
Di beberapa hotel atau tempat publik lainnya, kita sering melihat kata “welcome to…” terpampang di depan pintu gerbang atau jalan menuju masuk lokasi, kemudian dibawahnya terlihat “selamat datang di……”. Dan beberapa contoh lain yang secara tidak langsung telah menganaktirikan bahasa Indonesia bahkan meniadakannya.
Bahasa asing sungguh telah mengancam eksistensi bahasa resmi negara kita, terutama dalam bidang ekonomi dan budaya. Bahkan di lingkungan pendidikan pun bahasa Indonesia kerap dinomorduakan. Maka wajar jika kompetensi peserta didik dan mahasiswa dalam berbahasa, baik lisan maupun tulisan sangat rendah. Berapa persen peserta didik yang nilai UN Bahasa Indonesianya tinggi? Sangat sedikit sekali, ironis memang.
Sebagaimana kita ketahui bahwa bahasa negara itu adalah bagian dari jati diri bangsa. Artinya, jika ia hilang maka identitas dan jati diri bangsa pun akan tiada. Sungguh menyedihkan. Hal ini tentu tak kita inginkan terjadi.
Tetapi persoalan ini pun adalah sebuah pilihan. Mau tetap menggunakan bahasa asing dalam berekonomi, berbisnis dan berinvestasi atau mau kehilangan jati diri bangsa? Sebuah pertanyaan yang bisa terjawab oleh realitas di lapangan.
Penting sekali memagari bahasa resmi negara dari ancaman dan serbuan bahasa asing yang tak bisa dibendung karena efek globalisasi. Eksistensi bahasa negara di ruang publik harus dijaga dengan sebuah regulasi. Pemerintah daerah di seluruh Indonesia seharusnya menerbitkan peraturan daerah (pergub, perbup, atau perwal) soal penggunaan bahasa resmi negara dalam rangka hal di atas.
Penggunaan bahasa asing di ruang publik berpotensi menggerus bahasa Indonesia yang sudah ada dan dipakai selama ini. Apalagi jika para penggunanya adalah pihak-pihak yang memiliki kekuatan memengaruhi publik. Misalnya, lembaga pendidikan, kantor pemerintahan juga swasta.
Penting bagi pemerintah, yang diwakili oleh Badan Bahasa Bagian Pengendalian dan Penghargaan, untuk menyosialisasikan serta membangkitkan kesadaran masyarakat untuk berbahasa Indonesia di ruang publik. Badan tersebut juga harus terus mengadakan pemantauan bahasa asing di suatu wilayah dalam rangka pengendalian di atas.
Disamping itu, Badan Bahasa juga bertugas untuk mengubah objek bahasa asing di ruang publik. Tugas lain yang tak kalah pentingnya adalah menggelar berbagai aksi lomba bahasa negara di berbagai lembaga, baik pemerintah maupun swasta.
Menurut Maryanto, Kepala Bagian Pengendalian dan Penghargaan Badan Bahasa, bahasa asing memang tetap penting dan justru harus dikuasai. Akan tetapi, jangan sembarangan dalam penggunaannya di ruang publik. Bahasa Indonesia harus tetap diutamakan di atas bahasa lainnya. Masih menurutnya, saat ini ruang publik menjadi tempat rebutan bahasa lain. Terjadi persaingan merebut ruang publik dan bahasa negara kita, bahasa Indonesia, harus tetap berdaulat (Bandung, 12/4/2018).
Mulai saat ini, jika kita melihat lembaga negara apapun termasuk lembaga pendidikan mengutamakan bahasa asing dalam praktek administrasi, operasional dan urusan teknis lainnya, maka kita harus laporkan ke Ombudsman atau ke Balai Bahasa. Hal ini kita lakukan sebagai bukti kepedulian terhadap nasib bahasa negara kita sendiri.
Terakhir, saya ingin mengajak kepada seluruh mayarakat Indonesia, lembaga pemerintah, lemabaga swasta, para pejabat negara, politisi, mahasiswa, peserta didik serta pendidik untuk mencintai serta menggunakan bahasa resmi negara, bahasa Indonesia, di ruang publik.
Utamakan bahasa negara dalam segala hal. Jangan malu dan gengsi serta minder terhadap bahasa negara sendiri. Siapa lagi yang peduli selain warga negaranya sendiri. Belajarlah dari Negara Jepang yang masyarakatnya konsisten, loyal, dan penuh kesadaran mencitai bahasa negaranya sendiri di tengah arus globalisasi yang tak terbendung.
Merawat bahasa resmi negara sama artinya dengan merawat khazanah budaya bangsa. Cintai dan lestarikan bahasa Indonesia sejak dini agar anak cucu kita mengerti arti penting persatuan dan kesatuan bangsa. Jayalah negeriku, lesatarilah bahasaku!