Rabu, April 24, 2024

Bahasa dan Citra Islam

Doamad Tastier
Doamad Tastier
Pengajar di MA Sahid Bogor

Bahasa sebagai wujud dari sistem tanda pada dasarnya bersifat arbitrer: berlaku sesuai kesepakatan dari penggunanya. Ketika digunakan sebagai sistem komunikasi biasa maka dia akan menjadi profan.

Sedangkan ketika ia digunakan sebagai wujud untuk terhubung dengan yang sakral maka ia akan menjadi sakral. Meskipun keduanya mempunyai bentuk simbol linguistik yang sama namun memiliki sifat bahasa yang berbeda.

Lalu bagaimana jika bahasa yang awalnya digunakan untuk penggunaan yang sakral digunakan dalam konteks yang profan? Mengikuti pandangan bagaimana konstruksi sosial terbentuk maka ia akan sangat mungkin menjadi profan yang kehilangan kesakralannya. Menjadi lumrah untuk saat ini penggunaan konteks seperti itu terjadi.

Manusia sebagai individu akan melakukan adaptasi dengan lingkungannya, termasuk bahasa yang berlaku di situ. Pada tahap ini ia akan menyesuaikan kognisi bahasanya dengan lingkungan sekaligus menilainya. Interaksi itu kemudian akan membentuk kognisi bahasa yang baru yang merupakan hasil dialektis tersebut, lalu kemudian ditanamkan di dalam kesadaran individu.

Selanjutnya ia akan menjadi kesadaran kognisi yang subjektif yang dia gunakan kembali untuk menilai kenyataan objektif di sekelilingnya. Jika hal tersebut kemudian dilembagakan dan dihabutalisasikan maka ia akan menjadi makna baru yang objektif yang memungkinkan  diwariskan secara turun temurun.

Sebagai contoh, individu akan mempunyai pemaknaan subjektif tersendiri mengenai kata Allahu Akbar. Bahwa Allah adalah dzat yang kebesaranNya melebihi apapun. Kata itu dia pahami sebagai respon ketika dia melihat sesuatu yang menakjubkan, misalnya. Dengan demikian dia memahaminya sebagai kata yang sakral.

Kemudian ketika ia melihat kenyataan objektif di luar dirinya bahwa ada pendistorsian yang tidak lazim, sebagaimana yang dia pahami, yang dilakukan oleh lingkunganya dalam penggunaan kata tersebut, maka interaksi itu akan menegosiasikan yang subjektif dan yang objektif tersebut menjadi makna baru.

Ketika Allahu Akbar digunakan oleh seseorang seraya meledakkan diri untuk membunuh orang lain, digunakan untuk adegan pemenggalan kepala manusia yang diiringi dengan teriakan yang sama, atau untuk mengekspresikan kemarahan kolektif, maka individu sebagai kenyataan subjektif akan melakukan penyesuaian-penyesuaian makna.

Dan ketika tindakan di atas terlembagakan dan terbiasakan dalam praktek yang lazim pada kenyataan objektif tertentu maka pada tahap inilah kata Allahu Akbar akan mengalami pergeseran dari yang sakral menjadi yang profan bahwa kata tersebut merupakan representasi dari sikap barbar dan vandalisme.

Contoh lain, lafal Allahu Akbar yang dipakai untuk mengintimidasi atau mengejek seorang pembicara di sebuah forum duskusi sebagaimana yang dialami oleh Gubernur Jawa Barat bulan lalu, berpotensi untuk pembentukan makna negatif. Gejala inilah yang berbahaya saat ini dan harus segera diluruskan.

Dalam contoh wacana yang lebih besar, kita bisa mengambil contoh penggunaan simbol-simbol yang sakral akan tetapi digunakan dalam wacana yang secara umum dianggap profan.

Kasus penggunaan lafal tauhid, misalnya, yang secara umum dipahami sebagai lafal yang sakral, ketika ia digunakan pada konteks yang profan secara terus menerus maka ia lambat laun akan dipahami sebagai sesuatu yang profan. Tidak ada lagi kesakralan di situ. Tentu ini akan memberikan dampak yang merugikan Islam. Perlu ditekankan, profan disini bukan pada tingkatan esensi, akan tetapi pada tingkatan bagaimana masyarakat memahaminya.

Bahasa juga menunjukkan identitas pembeda dari satu komunitas. Selain itu bahasa juga merupakan representasi alam pikir dari pemakainya. Sehingga pengidentifikasian melalui bahasa akan berdampak sangat signifikan terutama berkaitan dengan interaksinya dengan komunitas, masyarakat atau bangsa lain. Merebut kembali makna-makna dari bahasa maupun simbol yang didistorsi dan dibajak untuk kepentingan yang jauh dari nilai-nilai Islam menjadi tugas kita bersama.

Maka memunculkan konteks yang sakral pada penggunaan konteks bahasa yang tepat untuk memenangkan interaksi dialektis tersebut menjadi salah satu masalah serius saat ini dalam rangka dakwah Islamiyah.

Bagaimanapun orang di luar Islam, bahkan umat Islam sendiri, memandang Islam salah satunya adalah dengan melihat bagaimana umat Islam mengartikulasikan ajarannya. Dan bahasa adalah salah satu wujud artikulasi tersebut. Bagaimana umat Islam menggunakan bahasa, apalagi bahasa yang sakral, dalam kehidupan sehari-hari akan menjadi kenyataan objektif yang dieksternalisasikan oleh subjek di luar Islam untuk menilai Islam.

Doamad Tastier
Doamad Tastier
Pengajar di MA Sahid Bogor
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.