Jumat, Maret 29, 2024

Bagaimana Televisi Membentuk Citra Donald Trump?

Selma Kirana Haryadi
Selma Kirana Haryadi
A passionate writer with a big interest in politics, gender, cultural and media studies. Currently studying journalism at Padjadjaran University.

Belum lama ini, sesosok politisi yang penuh ketidakbiasaan muncul di dunia politik Amerika Serikat. Donald Trump, kader Partai Republik, memenangkan Pemilihan Presiden AS tahun 2015. Trump berhasil mengalahkan mantan ibu negara, Hillary Clinton dari Partai Demokrat. Meski tergolong baru di dunia politik, Donald Trump bukanlah nama yang asing di dunia hiburan dan pertelevisian Amerika.

Sejak tahun 2004 sampai tahun 2017, Trump aktif terlibat dalam reality show atau reality TV berjudul The Apprentice. Selama empat belas musim pertama, Donald Trump adalah host dari program TV ini. Sepak terjang Trump di dunia pertelevisian berlangsung sejak tahun 80-an. Di awal kemunculannya, Trump kerap menjadi cameo untuk banyak progrm komedi dan reality show seperti The Fresh Prince of Bel Air, dan The Nanny.

Hal itu membuat Trump memahami kekuatan TV dan reality TV, bahkan sejak sebelum pencalonannya sebagai presiden AS. Harsin (2015), dalam Regimes of Posttruth, Postpolitics, and Attention Economies berpendapat bahwa kita telah beralih dari rezim kebenaran menjadi rezim pascakebenaran.

Rezim baru ini mencirikan kekuatan pascapolitik dan pascademokrasi, yang mengeksploitasi kebebasan yang ada untuk memproduksi dan menyebarkan suatu paham. Caranya ialah melalui aktor politik yang memiliki banyak uang yang berusaha menggunakan pengetahuan dan data analytic untuk mengarahkan partisipasi publik.

Strategi itulah yang digunakan Trump untuk meraih suara. Pengalamannya di dunia reality show membuatnya lebih memahami kekuatan media kontemporer ketimbang lawan politiknya.

Trump melakukan hal yang sama untuk meraih empati, seperti menyampaikan perasaan yang tak tersampaikan oleh publik, dan yang terpenting, mengangkat interpretasi yang subjektif tentang kebenaran. Trump memiliki kemampuan untuk menghidupkan suasana reality show dengan komentar-komentar khasnya yang liar dan bahasa tubuh yang unik. Keunikan diri Trump membuat stasiun TV yang meliput berita tentangnya meraih rating yang tinggi.

Televisi telah membuat Donald Trump menjadi sebuah nama yang diperhitungkan. Karir panjang Trump di dunia pertelevisian memungkinkannya mencitrakan dirinya sendiri sebagai sosok yang ia ingin publik ketahui mengenai dirinya.

The Apprentice menggambarkan Trump sebagai seorang pengusaha sukses dan miliarder yang penuh wibawa. Padahal, sesungguhnya bisnis Trump kerap mengalami kemunduran. Kasus penipuan yang melibatkan Trump University hingga kebangkrutan-kebangkrutan lain seolah tak terendus oleh publik.

Minimnya ekspos TV tentang bagaimana sesungguhnya bisnis Trump berjalan termasuk kemerosotan yang kerap dialaminya, membuat publik hanya mempelajari tentang kemahsyuran Trump. Meski publik mengetahui kemerosotan usaha Trump, hal itu tak lantas mengubah pandangan mereka terhadap sosok Trump yang sukses dan kaya raya, karena apa yang mereka saksikan di TV tidaklah berkata demikian.

Dampaknya berlanjut pada saat Trump menyalonkan diri menjadi presiden Amerika Serikat. Keputusan Trump terbilang sangat mengejutkan, terlebih karena dirinya tidak memiliki latar belakang apapun di dunia politik.

Tak sedikit pihak yang mencemooh dan mempertanyakan pencalonan diri Trump. Proses pencalonan diri Trump menjadi presiden Amerika Serikat pun bukan berlangsung tanpa tantangan.  Ada beberapa nama selain Trump dari Partai Republik yang dicalonkan untuk menjadi calon presiden. Namun, Trump berhasil melampaui para pesaing itu dalam hal ketenaran nama. Hal itu tak lain dan tak bukan disebabkan oleh pengaruh televisi.

Media massa, khususnya televisi, diyakini memiliki pengaruh yang besar atas sikap dan perilaku penontonnya (behavior effect). Hal itu ditunjukkan dengan hasil pemilihan. Trump memenangkan pemilihan dan berhasil mengalahkan Clinton, yang diprediksi oleh berbagai lembaga survey akan memenangkan pemilihan.  Dalam penggalangan suara, Hillary berhasil mengalahkan Trump dengan selisih sekitar 2 juta suara. Namun, kemenangan tetap jatuh kepada Trump karena berhasil meraih lebih banyak suara electoral.

Dilansir dari bbc.com, atas beberapa alasan, kenyataannya memang banyak warga AS yang memilih Trump. Menariknya, kunci kemenangan Trump ada pada fakta bahwa warga yang tak menyukai Trump tetap memilihnya di pemilihan presiden.

Data bbc.com menunjukkan, 18 persen responden yang merasa Trump tak kompeten untuk menjadi presiden, tetap memilih Trump.  Begitu juga halnya dengan 20% dari seluruh responden yang merasa Trump tak memiliki temperamen yang tepat untuk menjadi presiden, tetap memilihnya.

Kemudian, 2 persen responden yang merasa takut bila Trump memenangkan pemilihan, tetap memilih Trump. Dibandingkan dengan Clinton, hanya 1 persen dari seluruh responden yang tetap memilihnya meski takut bila dirinya memenangkan pemilihan presiden  (Menurut survey Edison Research for ABC News, CBS News, CNN, Fox News, NBC News).

The Apprentice mengubah Trump dari seorang tokoh tabloid New York menjadi seorang bintang TV yang terkenal di “negara bagian merah”. Negara bagian merah sendiri merupakan istilah untuk wilayah pendukung Partai Republik.  Terbukti, terkenalnya Trump di wilayah itu  berpengaruh besar terhadap hasil pemilihan presiden. Negara bagian merah atau Midwest merupakan wilayah penting dalam kampanye Trump dan berhasil membuatnya meraih banyak suara dari wilayah itu.

Televisi menggambarkan Trump sebagai sesosok pengusaha yang angkuh, nyeleneh, dan tegas. Trump bahkan pernah menolak untuk disebut sebagai jutawan di TV. Trump meminta untuk disebutkan sebagai “ziliuner” karena ingin dipandang sebagai seseorang yang sangat kaya raya. Itulah yang publik pelajari mengenai Trump. Di akhir cerita, sikap nyeleneh dan komentar-komentar tajam Trump justru menjadi alasan kuat publik menggemari dan memilih sosoknya.

Kesulitan para penonton televisi untuk membedakan mana yang realitas dan mana yang bukan mengenai sosok Trump dapat ditanggulangi dengan mengonsumsi informasi melalui media yang bervariasi. Hal tersebut bertujuan agar publik bisa mendapatkan bahan pertimbangan yang lebih banyak dan matang dalam menilai seseorang.

Selma Kirana Haryadi
Selma Kirana Haryadi
A passionate writer with a big interest in politics, gender, cultural and media studies. Currently studying journalism at Padjadjaran University.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.