Status kebebasan di Indonesia pada tahun 2018, menurut Freedom House, tidaklah memuaskan yakni dinyatakan sebagai Partly Free. Secara kuantitatif, skor Political Rights (Hak Berpolitik) tergolong bagus (yakni mendekati kebebasan). Berbeda hal dengan Civil Liberties (Kebebasan Sipil) yang mendekati ketidakbebasan.
Kebebasan sipil untuk berpartisipasi secara ekstra-parlemen di dalam tatanan sosial-politik sarat dengan konflik. Konflik itu tak seimbang; negara (beserta media) begitu hegemonik sehingga berhasil merebut dukungan banyak anggota masyarakat. Sipil yang menggunakan hak bersuaranya kemudian ditekan setekan-tekannya oleh sesamanya, negara, dan/atau swasta.
Hal itu dapat dilihat pada awal bulan Desember 2018. Konflik antara pemerintah, ormas, dan mahasiswa (Aliansi Mahasiswa Papua dan beberapa organisasi lainnya) terjadi di Surabaya. Banyak dari masyarakat kita, kemudian, dengan mudah percaya bahwa para mahasiswalah yang salah. Oleh sebab itu, pentinglah untuk meninjau kembali posisi masyarakat kita dalam hal demokrasi.
Merefleksikan Kebebasan Masyarakat Sipil
Apa yang perlu dicatat dari Human Rights Watch (HRW) terkait Indonesia adalah bahwa kalangan minoritas terus menghadapi pelecehan, intimidasi, dan kekerasan yang dilakukan kelompok Islam militan, pejabat, dan aparat keamanan. Terkait dengan konflik mahasiswa-kepolisian di Surabaya, sesungguhnya pejabat pemerintahan Indonesia, melanjutkan keterangan HRW, membatasi akses wartawan asing dan pemantau hak asasi manusia ke Papua.
Perlu juga dicatat juga bahwa janji penuntasan kasus HAM berat pada masa lalu hanyalah sebatas impian. KontraS mengungkapkan bahwa menjelang berakhirnya masa pemerintahan Jokowi-JK tidak ada satu pun kasus yang berhasil dibawa ke Pengadilan HAM Ad Hoc serta menggiring para pelaku untuk diadili.
Jadi, dalam perjalanannya, kebebasan kita tidak genap, terus ditekan, bahkan kemanusiaan tak begitu diperhatikan. Kemanusiaan bagi sejumlah orang di Indonesia ditunda-tunda, bahkan tidak dihargai. Hal ini juga terjadi pada orang-orang yang berusaha membantu korban penindasan semacam ini.
Menurut Freedom House, partisipan dalam perkumpulan yang mendukung kelompok minoritas atau topik sensitif umumnya mengalami mengalami intimidasi atau kekerasan dari vigilante garis keras atau polisi. Tidak hanya pada 2017 saja, penangkapan dan penahanan kepada mahasiswa Papua serta aktivis yang berpartisipasi dalam protes terkait Papua masih terus ada sebagaimana pada tanggal 1 dan 2 Desember lalu.
Sedangkan itu, melanjutkan sebelumnya, pihak keamanan dan pertahanan negara justru “aman” dan “dipertahankan”. Militer yang melakukan kekerasan kepada penduduk memang diadili dalam pengadilan militer. Namun itu terjadi tidak secara adil dan seringkali sekedar menerima hukuman ringan. Pantas saja skor pada illegitimate use of physical force adalah salah satu skor terendah.
Selain persoalan pada keamanan dan pertahanan, masyarakat kita diselimuti oleh bayang-bayang UU ITE ketika hendak menyampaikan sesuatu melalui elektronik. SAFEnet mencatat bahwa baru-baru ini ada dua aktivis dan satu jurnalis yang terjerat kasus UU ITE, dan dijelaskan bahwa:
“Pola pemidanaan kasus UU ITE ada bermacam-macam contohnya dengan bentuk balas dendam, barter kasus, membungkam kritik, shock therapy dan persekusi kelompok. Rudy Lombok dilaporkan oleh Badan Promosi Pariwisata Daerah NTB karena beliau menemukan dugaan penyalahgunaan anggaran dan rekening pribadi di badan tersebut, Ichwansyah (Jogja) diancam dengan UU ITE karena memperjuangkan hak-hak pekerja. Di dalam prosesnya banyak terjadi intimidasi berupa penahanan di saat status korban masih sebagai saksi bahkan tiba-tiba berstatus tersangka padahal korban tidak pernah diminta keterangan.”
Masuk akal jika jumlah aktivis sangatlah sedikit, dan malangnya, mereka menerima sejumlah kedzaliman. Lebih menyedihkannya lagi, teriakan mereka akan adanya abuse itu disepelekan banyak orang. Tak jarang, luka-luka yang mereka peroleh dianggap pantas diterima. Entah bagaimana, mereka diasingkan dan dipandang sebelah mata hanya karena berargumen dan mempublikasikannya.
Parrhesia dalam Demokrasi
Pada masa Yunani Kuno, para pengguna parrhesia (disebut juga sebagai parrhesiastes) adalah orang-orang yang sangat penting dalam proses demokrasi. Mereka inilah yang menentang raja, peramal, dan dewa-dewa.
Parrhesiastes ini adalah orang yang tulus, mengutarakan pikirannya (seringkali pikiran itu benar), berani mengkritik pihak yang lebih berkuasa, dan oleh sebab itu dia selalu berada dalam ancaman fisik bahkan nyawa. Tapi, karakteristik penting lainnya, dia adalah orang yang merasa bahwa pengkritikan itu adalah kewajiban. Foucault memperjelas:
“…seorang guru tatabahasa mungkin menyampaikan kebenaran kepada anak-anak didiknya, dan mungkin memang tidak diragukan lagi bahwa apa yang ia ajarkan ini benar. Kendati ini…ia bukan seorang parrhesiastes. Namun, tatkala seorang filsuf berbicara dihadapan seorang penguasa, dihadapan seorang tiran, dan menegaskan bahwa tiraninya mengganggu dan tidak menyenangkan karena tirani tidak sejalan dengan keadilan, maka sang filsuf telah berbicara benar, dan lebih dari itu, juga mengambil risiko (karena sang tiran dapat saja menjadi murka, mungkin menghukumnya, mungkin mengasingkannya, mungkin membunuhnya).”
Pentingnya orang-orang semacam itu dalam demokrasi nampaknya tak terjadi di Indonesia. Malahan ada yang mengecam parrhesiastes. Dianggapnya bahwa mereka mengganggu kestabilan, bahwa mereka menghambat jalannya pembangunan, dan semacamnya. Ironinya, banyak dari pengecam itu adalah orang-orang yang tidak mau mengenal langsung tindakan parrhesiastik ini. Para pengecam terjebak dalam diskursus maha benarnya negara.
Bisa dibayangkan betapa susahnya penegakan demokrasi dari masyarakat sipil. Para pejuang HAM, para aktivis, menjalani hidup yang dipenuhi tekanan dari sesama masyarakat dan negara. Belum lagi kalau ada intel yang mengintai. Lengkap sudah tekanan terhadap praktik ekstra-parlemen. Mau tidak mau, kebebasan sipil menjadi hal yang semu karena takut sana-sini.
Ruang publik kemudian menyusut tak dekat dengan impian-impian demokratis pasca-reformasi. Hak-hak demokratis kita dipotong-potong hingga makin kecil. Ironinya, banyak orang bangga dan merasa beginilah seharusnya hidup.
Referensi
Foucault, M. (2018). Parrhesia: Berani Berkata Benar. (J. Pearson, Ed., & H. Cahyadi, Trans.) Serpong: Marjin Kiri.
Freedom House. (2018). Freedom in the World 2018. Retrieved from Freedom House: https://freedomhouse.org/report/freedom-world/2018/indonesia
Human Rights Watch. (2018). Indonesia. Retrieved from Human Rights Watch: https://www.hrw.org/id/asia/indonesia
KontraS. (2018, Desember 11). Mendesak Presiden Joko Widodo Menyelesaikan Kasus Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu. Retrieved from KontraS: https://kontras.org/2018/12/11/mendesak-presiden-joko-widodo-menyelesaikan-kasus-pelanggaran-ham-berat-masa-lalu/
Marshall, J. D. (1989). Foucault and Education. Australian Journal of Education, 33(2), 99-113.
Safenet Voice. (2018, November 4). [Rilis Pers] PAKU ITE Serukan Hapus Seluruh Pasal Karet UU ITE. Retrieved from SAFEnet: http://id.safenetvoice.org/2018/11/rilis-pers-paku-ite-serukan-hapus-seluruh-pasal-karet-uu-ite/