Jika kamu merasa kasihan terhadap peminta-minta di jalan, sehingga ada keinginanmu untuk memberi sedikit uang, kemudian hidupmu berlanjut dengan biasa saja, bahkan terkadang kau menyembunyikan sekepal rasa bangga karena dari kesuksesanmu kamu dapat memberi dan berlaku dermawan, itu bukan empati rasanya, tetapi hanya rasa belas kasihan dengan bumbu sedikit kepedulian.
Belas kasih yang melahirkan sifat filantropis di antara sesama membuat solidaritas antar manusia semakin menipis. Filantropis semakin popular karena semakin menjadinya ketimpangan kaya-miskin yang dilahirkan oleh praktik industri global dalam bingkai pasar bebas dan globalisasi.
Empati, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keadaan mental yang membuat seseorang merasa atau mengidentifikasi dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain. Orang bisa mengernyitan dahi ataupun menangis untuk menyatakan empati. Empati adalah sikap paling lunak dari peduli. Jika kamu menangisi tragedi yang terjadi pada manusia, maka kamu sedang berempati. Jika kamu menangisi satu tragedi yang terjadi pada kelompokmu sendiri tetapi tidak mampu menangisi tragedi yang sama yang terjadi pada kelompok lain diluar dirimu, maka kamu hanya berempati dengan kelompokmu, tapi tidak dalam tahap peduli.
Peduli adalah sikap paling tegas dari kesamaran empati. Di dalamnya, terdapat berlapis-lapis sikap, dari yang terluar yaitu welas asih, empati, hingga solidaritas tanpa batas. Kepedulian itu universal. Kepedulian tidak seperti PMI, yang baru datang ketika ada perang. Kepedulian adalah bagaimana perang, yang paling banyak merugikan warga sipil, tidak berlanjut dan meluas. Kepedulian menuntut nilai kemanusiaan yang tajam. Kepedulian menuntut kita berlaku adil.
Bagi Setya Novanto (SN), berlaku dermawan merupakan salah satu agenda tahunan dalam hidupnya. Beberapa waktu lalu, setelah keluar dari rumah sakit karena komplikasi penyakit yang dideritanya, SN berkunjung ke pengungsi bencana Gunung Agung, Bali. Ditengah kesibukannya menjadi politikus kelas wahid di NKRI, SN menyapa warga dengan hangat dan ramah, sembari menawarkan motivasi yang bijak bestari dan adiluhung. Sosok SN yang sungguh demawan nan tampan juga flamboyan juga diikuti oleh banyak korporasi-korporasi “blue chips” yang ingin turut andil dalam program pembangunan, pemberdayaan dan kemanusiaan di bumi “hindia belanda” ini.
Diluar kewajibannya sebagai pihak swasta untuk menyalurkan dana CSR sebagai bentuk “kontribusi nyata” bagi masyarakat Indonesia, program-program bersifat karikatif ini perlu dicermati dalam hal bentuk, sifat dan asal-usul perusahaan tersebut.
Perusahaan multinasional yang berada di sebuah desa dari kabupaten yang tidak terlalu besar dan diperhitungkan, membagikan berpuluh karton susu kemasan ke kantor kepala desa guna dibagikan lagi kepada warganya yang mempunyai anak balita. Perusahaan tersebut juga membangun beragam fasilitas pendukung bagi warga, khususnya peternak di desa tersebut, seperti instalasi biogas di beberapa titik rumah warga. Dari biogas tersebut, warga yang berutung dapat menghemat pengeluaran untuk membeli LPG.
Dalam perusahaan yang sama, kita juga dapat menemukan kasus dimana pekerja (yang juga warga sekitar)dapat diberhentikan secara sepihak, tidak diangkat menjadi karyawan tetap, walau telah mengabdi selama bertahun-tahuan (melebihi kuota tahun yang ditetapkan pemerintah selama 3 tahun), sengketa dengan warga yang melibatkan preman dan militer, juga kasus kecelakaan kerja yang merugikan pihak pekerja (dengan langsung diberhentikan).
Warga sekitar yang umumnya tidak memiliki pendidikan tinggi, dengan mudah direkrut dan juga dipecat dengan alasan-alasan yang tidak proposional, sehingga kerap terjadi gesekan dengan skala kecil (seperti tidak menerima alasan pemecatan atau limbah perusahaan yang mencemari lingkungan dan lahan petani) yang ditanggapi dengan beragam cara, mulai dari persuasif hingga aktif-strategis dengan melibatkan aparat juga preman. Menjaga hubungan yang baik dan mutualis dengan aparat, menjadi strategi bagi perusahaan-perusahaan dengan permasalahan yang kompleks. Menjaga stabilitas produksi dan distribusi barang adalah kunci meraih keuntungan.
Jika perusahaan mengadakan CSR untuk meraih simpati dan meningkatkan awereness kepada brand, maka karyawan “kerah putih”-nya tak mau ketinggalan dalam hal ber-peduli-nan-selfish-ini. Beragam brand infaq-sodakoh yang memajang foto anak-anak yang memelas korban dari perang yang tak kunjung usai hingga bencana alam menjadi incaran untuk “mengurangi sedikit tabungan” yang lumayan itu. Sisanya, mungkin ingin disisihkan untuk traveling, membeli mirorless, atau menggelar resepsi yang megah dan meriah.
Lembaga-lembaga dengan embel-embel agama pun siap menampung uang para filantropik ini. Mulai dari seribu hingga rombongan, pundi-pundi dilembaga ini tidak pernah surut atau mengalami musim paceklik bak petani tembakau Manisrenggo yang mengalami kerugian secara beruntun sejak 2 tahun yang lalu. Menjamurnya lembaga penyalur uang dari para dermawan tersebut mungkin bisa dikaitkan dengan ketidak-jelasan peyaluran dana pajak yang tampak tidak berdampak apa-apa pada kehidupan masyarakat. Menjamurnya lembaga-lembaga filantropik tersebut adalah bukti ketidak-becusan pemerintah dalam menangani warganya.
Bagaimana sikap peduli yang baik?
Saya percaya bahwa kepedulian itu perlu diasah. Mengasah kepedulian berarti juga mengembangkan kepekaan, juga kemanusiaan. Dari keduanya, kemudian melahirkan kesadaran-kesadaran baru, yang menentukan sikap kita pada suatu persitiwa. Memberi donasi saja tidak cukup jika peristiwa yang dihadapi adalah penggusuran sepihak pada petani oleh swasta, bahkan negara misalnya. Kamu juga perlu menentukan sikap dengan beragam cara, baik di media sosialmu atau juga bisa ikut turun ke jalan mengikuti aksi membela yang tertindas tersebut.
Uangmu tidak dapat merubah apa-apa. Bahkan bisa melanggengkan kesengsaraan yang ada. Dengan begitu, hidup akan terus hitam-putih. Yang rajin dan penurut sudah pasti sukses dan kaya. Yang bodoh dan bebal sudah pasti merana dan meliuk lapar. Para motivator akan terus punya lahan penghidupan. Juga pengemplang pajak. Mereka berdua adalah dua penyumbang terbesar dari sikap keseragaman, kerumitan, kedigdayaan juga keputus-asaan generasi ini.