Kamis, November 13, 2025

Badai Seroja dan La Niña: Menguji Kesiapsiagaan Indonesia

Intan Fitria Itsnaini
Intan Fitria Itsnaini
Mahasiswa S1 Ilmu Informasi dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga
- Advertisement -

Peringatan tentang fenomena cuaca ekstrem semakin menegaskan bahwa Indonesia berada dalam situasi genting. Dua peristiwa yang menggambarkan eskalasi risiko iklim — La Niña dan Badai Tropis Seroja — menghadirkan pertanyaan besar tentang kesiapan negara menghadapi dinamika iklim baru. Dalam konteks perubahan iklim global, Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan pendekatan penanganan bencana yang reaktif dan serba mendadak.

La Niña dan Dampaknya yang Meluas

La Niña terjadi ketika suhu permukaan laut (SPL) di Samudra Pasifik bagian tengah dan timur mengalami anomali negatif (lebih dingin dari normal), yang mengubah pola sirkulasi atmosfer dan angin. Di Indonesia, La Niña identik dengan curah hujan yang lebih tinggi dari rata-rata, musim hujan yang lebih panjang, potensi banjir dan tanah longsor, serta gangguan sektor pertanian.

Sebuah penelitian oleh Alfiqri et al. (2024) mencatat bahwa di Laut Sulawesi dan pesisir Sulawesi Utara, selama periode La Niña 2007-2021 ditemukan bahwa intensitas curah hujan meningkat dibanding kondisi normal nilai tertinggi intensitas hujan tercatat 0,73 mm/hari pada Desember 2020. Namun data menunjukkan bahwa pengaruh La Niña tidak selalu meningkatkan curah hujan secara signifikan di semua wilayah. Misalnya, studi di Sulawesi Tenggara terhadap La Niña 2020-2021 menunjukkan bahwa 58% wilayah mengalami penurunan curah hujan dengan rata-rata penurunan sebesar 37% dari normalnya. Artinya meski secara umum La Niña membawa hujan lebih banyak, dampaknya sangat bervariasi antar wilayah tergantung kategori La Niña (kuat/moderat/lemah) dan kondisi lokal (tata ruang, topografi, pola monsunal).

Badai Seroja: Peringatan Keras dari Timur

Badai Tropis Seroja yang terjadi awal April 2021 menjadi simbol nyata dari perubahan pola cuaca ekstrem yang tak terduga di Indonesia. Menurut studi, badai ini tercatat dengan kecepatan angin maksimum sekitar 70 knot (≈130 km/h) dan gelombang laut tinggi hingga 14,24 meter di wilayah jalurnya. Infrastruktur pesisir pun terpengaruh dimana sebuah studi di Pulau Sabu-NTT mencatat abrasi hingga 34,97 m dan laju abrasi 46,28 m/tahun akibat gelombang dan arus yang dipicu badai. Dampak bagi wilayah NTT sangat besar seperti banjir bandang, tanah longsor, kerusakan infrastruktur, warga mengungsi. Badai Seroja mematahkan anggapan lama bahwa wilayah Indonesia timur relatif aman dari siklon tropis. Pemanasan laut regional, kondisi atmosfer yang mendukung, dan interaksi sistem cuaca global membuka kemungkinan badai tropis yang lebih kuat memasuki wilayah Indonesia.

Kelemahan Respons Negara

Kedua fenomena tersebut memperlihatkan pola yang sama yaitu negara lebih sibuk memadamkan krisis ketimbang mencegahnya. Ketika bencana terjadi, pemerintah cepat melakukan evakuasi, bantuan, perbaikan darurat namun langkah jangka panjang sering tertinggal.

Tantangan-nya antara lain:

  • Integrasi data cuaca dan risiko antar pusat dan daerah masih terbatas.
  • Tata ruang dan pembangunan infrastruktur tidak selalu berbasis peta risiko bencana.
  • Infrastruktur mitigasi (drainase, penahanan longsor, pengamanan pesisir) masih belum memadai.
  • Literasi bencana masyarakat rendah; banyak yang tidak tahu apa yang harus dilakukan saat peringatan datang.

Tanpa perubahan struktural, jika terjadi La Niña atau badai seperti Seroja akan kembali maka akan menimbulkan kerugian besar.

Agenda Mendesak Kesiapsiagaan Iklim

Indonesia membutuhkan langkah struktural, bukan sekadar respons jangka pendek.

1. Reformasi Sistem Peringatan Dini

Sistem peringatan harus cepat, akurat, dan menjangkau hingga tingkat nasional ke daerah terpencil. Studi untuk Seroja menunjukkan bahwa prediksi dengan asimilasi data satelit (RTTV/CRTM) memperbaiki estimasi kecepatan angin dan tekanan minimum badai.

2. Tata Ruang Berbasis Risiko

Pembangunan di zona rawan banjir, longsor, dan pesisir harus ditinjau ulang. Badai Seroja yang meninggalkan abrasi pesisir 45 ha di Pulau Sabu adalah bukti bahwa kerentanan pesisir butuh mitigasi.

- Advertisement -

3. Infrastruktur Tahan Cuaca Ekstrem

Drainase perkotaan, tanggul sungai, konservasi daerah resapan, rumah tahan bencana yang harus menjadi orientasi pembangunan baru.

4. Peningkatan Literasi Publik

Masyarakat perlu memahami ancaman cuaca ekstrem, bagaimana meresponnya, dan apa yang harus dilakukan. Studi pengaruh La Niña pada curah hujan menunjukkan bahwa efeknya bervariasi, sehingga informasi publik harus tepat agar tidak salah interpretasi.

Iklim Berubah, Negara Harus Berubah

La Niña dan Badai Seroja telah memperlihatkan bahwa Indonesia berada dalam era ketidakpastian iklim yang semakin intens. Tidak cukup hanya menunggu dan bereaksi — negara harus bergerak dari pola “siaga saat bencana datang” ke pola “siap sebelum bencana terjadi”.

Kesiapsiagaan iklim adalah investasi sosial, ekonomi, dan kemanusiaan. Dengan memperkuat sains, peringatan dini, edukasi masyarakat, dan infrastruktur, Indonesia dapat menghadapi tantangan iklim dengan lebih percaya diri dan tangguh. Jika tidak, La Niña berikutnya atau badai tropis serupa Seroja hanya akan menjadi bab baru dari siklus tragedi yang seharusnya bisa dicegah.

Intan Fitria Itsnaini
Intan Fitria Itsnaini
Mahasiswa S1 Ilmu Informasi dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.