Sabtu, April 20, 2024

Babak Baru Ketegangan AS-Iran, Perang Dunia III?

Faruq Arjuna Hendroy
Faruq Arjuna Hendroy
Researcher at The Westphalian Institute

Sudah puluhan tahun berlalu sejak meletusnya Perang Dunia II yang konon menewaskan 60 juta jiwa. Sejak saat itu, eskalasi konflik di beberapa belahan dunia terus terjadi, meskipun tidak sampai berujung pada meletusnya Perang Dunia III. Namun, melihat realita geopolitik saat ini yang terus memanas, prediksi pecahnya Perang Dunia III tidak dapat dikesampingkan.

Banyak pengamat yang memprediksi Perang Dunia III akan meletus dalam waktu dekat. Tahun 2018 silam, beberapa pengamat yang menulis di kolom berita internasional memprediksi bahwa ada dua wilayah yang akan menjadi pemicu pecahnya Perang Dunia III. Dua wilayah itu adalah Suriah dan Laut China Selatan. Di Suriah, Amerika Serikat (AS) berkonfrontasi dengan Assad, Rusia, dan Iran. Sementara di Laut China Selatan, AS berkonfrontasi dengan China.

Namun, baru-baru ini muncul prediksi baru bahwa Perang Dunia III akan dipicu oleh Iran menyusul tewasnya Jenderal Korps Garda Revolusi Iran, Qassem Suleimani, dalam sebuah operasi militer AS di wilayah Irak. Prediksi ini tidak disampaikan oleh pengamat, melainkan didengungkan oleh warganet di seluruh dunia. Tagar terkait Perang Dunia III seketika menjadi trending di media sosial Twitter. Apalagi setelah pemerintah Iran menyatakan bersumpah akan membalas AS atas kematian jenderal terbaiknya itu.

Qassem Suleimani bisa dikatakan orang terpenting kedua setelah Pemimpin Agung, Ayatullah Khamenei. Posisinya sebagai Jenderal Korps Garda Revolusi Iran membuatnya menerima mandat lansung dari Ayatullah Khamenei.

Sebagai informasi, Korps Garda Revolusi Iran adalah pasukan elit khusus yang beroperasi untuk mengamankan kepentingan Iran di luar negeri, terutama di negara-negara sekutu. Korps Garda Revolusi Iran terlibat dalam mendukung milisi pro-Iran di Irak, Suriah, hingga Lebanon secara militer. Konon, berkat jasanya Iran berhasil menyebarkan pengaruhnya di Timur Tengah.

Tewasnya Qassem Suleimani sebenarnya dipicu oleh ketegangan yang sudah cukup berlangsung lama antara AS dan Iran. Dirunut dari kronologinya, ada tiga peristiwa kunci yang melatar-belakangi tewasnya jenderal top Iran itu. Pertama, serangan roket yang diduga dilakukan oleh milisi Syiah pro-Iran ke pangkalan militer AS menewaskan satu orang kontraktor sipil dan melukai sejumlah tentara AS.

Merespon serangan tersebut, militer AS membalas dengan melancarkan serangan ke basis Kataib Hizbullah, yang diduga sebagai pihak yang bertanggung jawab, dan menewaskan 25 pejuang kelompok tersebut dan melukai 50 orang lainnya. Balasan AS ini menjadi peristiwa kunci yang kedua. Tidak senang dengan agresi militer AS tersebut, terjadilah peristiwa kunci yang ketiga, di mana ribuan milisi Irak pro-Iran menyerbu Kedutaan Besar AS di Irak dan membakar beberapa bangunan. Setelah dua hari mengepung Kedubes AS, para milisi itu pun membubarkan diri.

Pengepungan Kedubes AS itu menuai kecaman dari pemerintah AS. Tak berselang lama kemudian, militer AS membalas lagi dengan mengirimkan serangkaian rudal ke kawasan bandara Baghdad dan menghantam iring-iringan yang membawa Qassem Suleimani dan beberapa petinggi milisi Irak pro-Iran. Serangan itu lah yang menewaskan Qassem Suleimani. Tubuhnya hancur berkeping-keping dan hanya dapat dikenali dari cincin di potongan jarinya. Belakangan diketahui serangan itu direstui oleh Presiden AS, Donald Trump. Terlepas dari tiga peristiwa kunci itu, hubungan AS-Iran memang kembali memanas sejak Trump berkuasa.

Melihat pentingnya sosok Qassem Suleimani bagi Iran selama ini, ditambah sumpah Iran untuk membalaskan dendamnya, mengindikasikan ketegangan AS-Iran memasuki babak baru yang lebih serius. Potensi pecahnya perang terbuka di antara kedua negara ini terbuka lebar. Ayatullah Khamenei bahkan langsung menunjuk pengganti Qassem Suleimani, begitu juga sejumlah milisi pro-Iran telah bersumpah akan membalas kematian sang Jenderal. Sementara AS telah mengimbau warganya agar segera meninggalkan Irak secepat-cepatnya.

Akan tetapi, jika perang AS-Iran disebut akan memicu Perang Dunia Ketiga, maka diperlukan kehati-hatian dan analisa yang lebih mendalam. Pasalnya, belum ada indikasi negara-negara besar seperti Rusia, China, dan Eropa akan ikut terlibat dalam perselisihan AS-Iran tersebut dengan memihak ke salah satunya. Rusia, China, dan Perancis sebagai anggota tetap Dewan Keamanan PBB justru meminta kedua belah pihak agar dapat menahan diri agar tidak terlibat dalam eskalasi militer yang lebih besar. Ketiganya juga tengah mendiskusikan langkah-langkah rekonsiliasi untuk AS dan Iran.

Perang mungkin akan terjadi, namun terlokalisir di wilayah Timur Tengah saja. Khususnya di Irak yang menjadi ladang perebutan pengaruh antara AS dan Iran dalam beberapa tahun terakhir. Besar kemungkinan, Irak akan menjadi medan perang. Saat ini, AS memiliki personel militer aktif di Irak sekitar 6.000 orang.

AS bisa saja kembali menempatkan tambahan personel militer di Irak. Sementara Iran bergantung pada berbagai pasukan milisinya yang tersebar di Irak. Tidak menutup kemungkinan, Iran juga akan menerjunkan personel militernya sendiri ke Irak menyusul peristiwa terbaru ini.

Jika perang benar-benar meletus, maka Irak akan ikut merasakan dampak geopolitik. Nasib Irak ke depan akan ditentukan oleh pemenang perang. Jika Iran yang menang, maka Irak akan jatuh di bawah pengaruh Iran sepenuhnya. Sementara jika AS yang menang, Iran lah yang harus angkat kaki dari Irak dan AS akan semakin dominan dalam menancapkan pengaruhnya di Irak.

Memang, Irak saat ini tak ubahnya seperti sepotong pizza yang tengah diperebutkan. Irak berada dalam posisi tidak berdaya dalam menentukan pilihan, apakah memihak ke AS atau Iran. Sebab, pada realitanya, Irak membutuhkan keduanya.

Namun itu semua hanya hitung-hitungan analisa. Tentu kita berharap perang terbuka antara AS dengan Iran tidak akan pernah terjadi, apalagi sampai memicu Perang Dunia III. Kita bisa bayangkan, berapa banyak rakyat sipil yang akan menjadi korban jika perang benar-benar meletus.

Belum lagi adanya kerugian materiil yang akan memberatkan anggaran masing-masing negara. Sampai tulisan ini dibuat, publik AS sendiri masih lantang bersuara untuk menolak perang dengan tagar “No War With Iran” yang disampaikan melalui demonstrasi jalanan dan cuitan di media sosial. Mari berharap, dunia kita baik-baik saja.

Faruq Arjuna Hendroy
Faruq Arjuna Hendroy
Researcher at The Westphalian Institute
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.