Selasa, Oktober 8, 2024

Ayo Pensiun dari Cebong dan Kampret

Riduan Situmorang
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Doloksanggul, Aktivis Antikorupsi, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF), Medan.

Penyakit ini sudah lama mendera kita. Dimulai dari Pilpres 2014, sempat sembuh meski tak total, lalu kambuh pada Pilkada DKI sebelum akhirnya kembali memuncak di Pilpres 2019. Artinya, lebih dari lima tahun kita sudah mengidap penyakit ini: bangga jadi cebong, bahagia jadi kampret.

Melihat itu, teman saya lantas berujar dengan nada konotatif: baru kali ini kita bahagia menjadi binatang, kampret dan cebong. Tetapi, entah mengapa, saya justru membacanya denotatif, yaitu sebenarnya kita sempat (sebenarnya juga masih sedang) bangga menjadi binatang. Barangkali pengertian ini terlalu sadis. Namun, bagaimana bisa kita membantah jika di sekitar kita bergelimang tindakan tak manusiawi?

Seumur-umur, karena pilkada atau pilpres, kita belum pernah sebrutal ini: menghujat, memfitnah, menggoblok-goblokkan orang lain dengan bebas, mengafir-ngafirkan, memolitisasi mayat, lalu berteriak curang tanpa bukti.

Padahal, jauh-jauh hari, setelah Amerika, konon negara kita dicap sebagai negara demokrasi terbaik. Kita bangga atas predikat itu, tentu saja. Namun, predikat itu ternyata semu. Buktinya, jauh di balik predikat demokrasi terbaik itu tersimpan berbagai kebrutalan. Saya jadi heran: apakah definisi demokrasi terbaik adalah bebas menjelek-jelekkan orang lain sehingga kita hidup tanpa norma dan etika, apalagi ilmu pengetahuan?

Apakah memang demokrasi seperti itu: bebas berbuat apa saja dan kepada siapa saja sehingga bertebaranlah foto olok-olok (sekadar menyebut contoh) yang mengedit foto presiden jadi foto makhluk hidup selain manusia dan tumbuhan, misalnya?

Saya selalu berpikiran baik bahwa kehidupan berbangsa kita tak sebrutal dan sebanal itu. Maksudnya, rakyat akar rumput belum sampai bermusuhan hebat, kok. Jadi, jika kini ada marak pertengkaran dan perkelahian, itu bukanlah sesuatu yang alami dari masyarakat. Yang alami dari masyarakat kita sejak dulu adalah hidup guyub, bergotong-royong, hormat-menghormati, serasi, dan harmonis.

Proyek Elite

Artinya, yang sesungguhnya berkelahi adalah para elite politik. Akar rumput kita hanya terimbas. Pasalnya, demi politik kekyasaan, elite nyata-nyata memprovokasi rakyatnya. Mereka jadi penikmat devide et impera. Alih-alih meneduhkan, elite seakan hanya hadir untuk membuat gaduh. Dengan terminologi lain, kegaduhan ini sebenarnya proyek para elite. Itulah sebabnya, dari dulu, kita sangat mengharapkan pertemuan damai antara kubu X dan kubu Y. Itulah kerinduan kita sehingga manakala mereka bertemu, kita langsung bahagia.

Itu terlihat ketika dua tahun lalu, SBY dan Megawati bersalaman di Istana Merdeka. Pose salaman itu hanya sebentar. Namun, perhatian rakyat jatuh kepada pose itu. Pose itu bahkan seakan menjadi tema utama sehingga berita itu cepat menjadi trending topik.

Apa artinya ini bagi kita? Artinya sederhana: rakyat kita sebenarnya haus akan perdamaian dua kubu politik yang selama ini dicitrakan bertentangan. Rakyat muak dipecah belah. Arti yang lain: selama ini negara ini justru tak tentram adalah justru karena elite politik. Agaknya tak berlebihan jika saya menyebut mereka sebagai Belanda gaya baru.

Dalam pada inilah kita harus membaca berbagai kegaduhan belakangan ini. Ada yang menjadi cebong, ada yang menjadi kanpret. Hanya dua kubu itu. Memang ada satu kubu lain, yaitu golput. Tetapi, bagi cebong, golput adalah bagian  dari kanpret. Sebaliknya, bagi kampret, golput adalah bagian dari cebong.

Singkatnya, sejauh ini, bangsa kita hanya  terbelah jadi dua bagian. Kita jadi bangsa yang setengah-setengah, tak utuh. Kedua belah kubu inilah yang saban hari tak lelah dan tak bosan-bosannya berseteru. Untunglah kegaduhan ini bukan sesuatu yang alami yang tumbuh dari masyarakat. Seperti disebutkan di atas, itu semua adalah proyek para elite politik yang kekanak-kanakan: mau menang, bahkan mengklaim kemenangan sendiri.

Karena itulah, sebagai akar rumput, sebagai sesuatu yang alami di negara ini, kita pantas mengajak agar kedua elite politik di dua kubu ini harus memberi keteduhan. Pilpres sudah selesai, kok. Jangan sampai penyakit cebong dan kampret ini masih berlanjut lagi hingga seabad kemudian.

Jangan beri rakyat teladan yang tak pantas. Saya yakin sekali, jika kedua elite politik sudah berdamai, masyarakat akar rumput akan kembali berdamai. Mereka akan menanggalkan jas kampret dan cebongnya. Mereka akan berhenti saling hujat. Mereka akan pensiun jadi komprador politik. Mereka akan tarik diri sebagai peternak kebencian. Dunia media sosial kita pun akan kembali renyah. Dari media sosial ini akan beranjak lagi ke dunia nyata.

Di dunia nyata, tukang becak akan kembali menjadi tukang becak. Mereka akan kembali membicarakan tentang susahnya hidup karena penumpang semakin langka. Tukang jualan akan kembali berjualan.

Mereka mungkin juga akan mengeluh tentang rendahnya daya beli masyarakat. Nelayan akan kembali ke laut. Mereka akan membahas dan berandai-andai semoga cukong laut lenyap. Warga desa akan kembali bertani. Mereka akan mengeluhkan kebijakan impor yang kadang tak ramah. Mereka membahas harga pupuk yang mahal. Mereka juga akan membincangkan mengapa lahan semakin dirusak oleh para elite politik dan pebisnis.

Dengan keadaan demikian, warga kembali ke habitat alaminya. Mereka akan tahu bahwa siapa pun presidennya ternyata tak banyak berdampak. Elite akan tetap menggarong. Pengusaha akan tetap menyuap sehingga warga akan tetap menjadi korban. Melihat itu, alih-alih saling hujat, rakyat akan kembali saling sapa.

Mereka akan kembali saling mengunjungi. Tali persahabatan yang sempat putus akan disambung kembali. Mereka akan saling memaafkan tentang mengapa di hari-hari lalu mereka bertengkar. Mereka akan berjanji untuk tetap bersatu meski di kemudian hari, elite politik pasti hadir memecah belah mereka karena ternyata pesta lima tahunan telah kembali.

Jangan Kekanak-kanakan

Ulasan ini sebenarnya saya tujukan untuk warga Indonesia. Namun, karena saya sadar, kericuhan dan keributan ini semua adalah hasil proyek licik dari para elite politik, cendekiawan yang dibayar, hingga tokoh yang dibeli, maka saya tujukan tulisan ini kepada elite secara khusus.

Mereka inilah yang pertama sekali harus membuka jas cebong dan kampretnya. Jika mereka sudah melakukan, tanpa diperintah, rakyat akan segera pensiun. Lagipula, rakyat kecil mana yang tak bosan-bosan ribut jika tak diprovokasi? Masih lebih enak membincangkan perut yang lapar daripada politik yang heboh. Karena itu, berkali-kali dimohonkan, elite berilah teladan yang baik kepada akar rumput. Jangan siksa mereka dengan perpecahan!

Lebih dari itu, jangan mengaku-ngaku patriot, nasionalis, negarawan jika memberi contoh saja tak bisa seakan kalian sudah teramat berjasa. Apa jasa kalian untuk negara ini? Saya jadi teringat pada Agus Noor yang mengatakan bahwa satu-satunya alasan mengapa negara ini tidak jatuh menjadi negara yang gagal adalah karena negara ini masih mempunyai rakyat yang waras.

Pernyataan ini seolah menyiratkan bahwa selama ini yang tidak waras adalah elite politik yang sering kali lebih cenderung sebagai racun bagi negara ini daripada madu. Karena itu, wahai elite, rendahkanlah tensimu dan kembalilah waras.Kembalilah menjadi nasionalis dan negarawan sejati. Jangan kekakan-kanakan.

Riduan Situmorang
Riduan Situmorang
Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Doloksanggul, Aktivis Antikorupsi, Pegiat Literasi di Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) dan Toba Writers Forum (TWF), Medan.
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.