Jumat, November 8, 2024

Ateis dan Agnostik Bagian dari Kehidupan Urban

dwiatikanurjanah
dwiatikanurjanah
Mahasiswa Jurnalistik-Ilmu Komunikasi UPN "Veteran" Yogyakarta dan volunteer publicist Jogja-NETPAC Asian Film Festival 13.
- Advertisement -

Agama di antara kehidupan kaum urban begitu kompleks. Perubahan dan perkembangan terjadi secara cepat. Sikap beragama secara dinamis bisa berubah. Ada yang taat dan patuh pada agama yang dianut bisa berubah menjadi tak lagi percaya akan keyakinannya, begitu sebaliknya.

Pengaruh lingkungan sepertinya bisa dibilang sebagai faktor utama perubahan pada masyarakat urban. Hiruk pikuk perkotaan dan industri membuat masyarakatnya memiliki interaksi sosial yang unik nan semu. Kehidupan seperti ini mengindikasikan bahwa agama pada akhirnya akan kehilangan makna spiritualitas.

Di masyarakat modern, agama bisa jadi dianggap kuno dan membelenggu kebebasan yang tergantikan dengan pemikiran rasional akan kenyataan. Tidak sedikit di antara mereka menganggap agama hanya sebuah konsep. Hingga memilih sebagai penganut sekuler; tak beragama; agnostik; ateis.

Yang dahulunya sangat taat menjalankan ibadah agamanya, saat tinggal di lingkungan urban dengan segala macam pengaruh. Bisa jadi 180 derajat terbalik, memilih untuk tidak lagi menganut agama yang diyakininya. Hal ini bisa saja dari faktor lingkungan pertemanan ataupun tempat tinggal, dengan mayoritas tak percaya akan Tuhan dan agama yang dimiliki.

Salah satu diantara mereka berpikir bahwa “Untuk apa yakin pada satu agama (yang dianut) jika pada akhirnya merasa lebih superior dari manusia lain (agama)” — dalam salah satu wawancara bersama seorang Agnostik di saluran YouTube Menjadi Manusia. Lebih seperti seseorang mempercayai apa yang dia anut, dia peluk, dia yakini adalah paling benar. Konsep seperti itulah yang membuat orang berubah menjadi sekuler; tak beragama; agnostik; ateis.

Urban bisa mengubah seseorang menjadi ateis dan agnostik karena pengaruh dan cara pikir masyarakat didalamnya. Masyarakat seperti ini memiliki pemikiran yang terbuka dari terpaan pengaruh luar, dikarenakan pemikiran rasional akan suatu fenomena. Memiliki latar belakang pendidikan yang tinggi. Membuat mereka tidak mudah percaya akan sesuatu dan menanyakan akan keberadaan Tuhan berdasar ilmu filsafat yang dipelajari.

Agama bisa jadi bukan hal utama yang harus dimiliki oleh seseorang di lingkungan urban. Orang – orang ini beranggapan bahwa tidak percaya Tuhan atau menjalankan perintah agama adalah urusan pribadi masing-masing orang. Tidak sedikit diantara mereka ternyata tidak beragama atau seorang yang sekuler; agnostik; ateis.

Apalagi terbentuknya komunitas Indonesian Atheists pada tahun 2008 yang lalu oleh Karl Karnadi. Komunitas yang menampung para ateis, agnostik, dan orang tak beragama lainnya di Indonesia. pada waktu itu beranggotakan 1400 orang secara anonim dan terhubung melalui internet.

Untuk jumlah pemeluk sekuler; tak beragama; agnostik; ateis sendiri menduduki posisi ketiga terbesar di dunia, sebanyak kurang lebih 1,2 miliyar atau 16% setelah Kristen dan Islam. Di Indonesia sendiri jumlah ateis dan agnostik tidak bisa dipastikan berapa jumlahnya.

Situasi dan kondisi urban yang modern bisa jadi tempat “terbaik” bagi para ateis dan agnostik. Karena adanya kemungkinan kecil mereka tidak akan mudah untuk dikucilkan dan dihakimi, ketika memilih untuk tidak menganut salah satu dari agama yang diakui oleh UU di Indonesia. Selain itu, perilaku masyarakat perkotaan yang open minded menjadi alasan lain bagi mereka para ateis dan agnostik memilih urban sebagai tempatnya.

- Advertisement -

Akan tetapi tidak semua masyarakat urban bisa menerima. Di Indonesia sendiri, saat sesorang diketahui enggan memeluk salah satu agama yang di akui, maka akan sangat mudah dikucilkan dan dihakimi oleh masyarakat sekitar. Padahal ketika seseorang memilih untuk tak beragama, itu merupakan hak pribadinya.

Mengingat negara ini “memaksakan” masyarakatnya untuk memeluk salah satu dari enam agama yang dianggap. Padahal, nyatanya Indonesia bukanlah negara sekuler atau negara Islam.

Tetapi, melihat sila pertama Pancasila tentang “Ketuhanan yang Maha Esa”, maka Tuhan dan agama menjadi sangat penting untuk warga negara. Terbukti saat pengisian data KTP ataupun identitas lainnya, mengharuskan adanya pencantuman agama (Pasal 61 dan 64 UU No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan). Pada akhirnya mereka yang ateis maupun agnostik tetap mencantumkan agama dari salah satu agama yang terdaftar di Indonesia, hanya untuk memenuhi persyaratan administratif.

Ateis dan agnostik memang bukan kelompok yang tampak di permukaan. Alasannya sudah jelas, masyarakat dan negara belum bisa menerima fakta bahwa ada bagian dari Indonesia yang tidak percaya kepada Tuhan dan agama.

Orang–orang ini percaya bila melakukan sesuatu dengan dasar kebaikan memang sudah sewajarnya untuk dilaksanakan. Tanpa harus berpedoman pada agama dan perintah Tuhan. Seperti perkataan Gus Dur bahwa “Kalau kamu berbuat baik maka tidak ada orang yang bertanya apa agamamu”.

Jumlah kelompok ini memang tidak diketahui pasti ada berapa, akan tetapi sudah pasti tidak sedikit. Khususnya pada tatanan kehidupan urban, dengan situasi sosial yang unik ini.

dwiatikanurjanah
dwiatikanurjanah
Mahasiswa Jurnalistik-Ilmu Komunikasi UPN "Veteran" Yogyakarta dan volunteer publicist Jogja-NETPAC Asian Film Festival 13.
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.