Kalau kata pepatah, “Menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri.” Itulah gambaran nyiyiran warganet yang budiman terhadap aksi ketok mejik ibu kota yang dilakukan pemerintah DKI menjelang Asian Games 2018 kemarin.
Penanganan Kali Item, rumput dadakan, sampai pengadaan jalur sepeda lengkap dengan rintangan-rintangan yang harapannya akan meningkatkan keimanan para pesepeda karena sering istighfar. Itulah air yang yang kita tepuk-tepuk dan terpercik ke muka sendiri.
Apa maksudnya? Coba kita berkaca, jangan di Kali Item, tapi di media sosial kita agar jelas. Kalau mau posting selfies di instagram, apa kita (baik, baiklah, mungkin kecuali kamu, oke) tidak mengedit penampakan supaya terlihat ‘sedap’ di mata?
Ada yang kulitnya dibikin bersinar bak lampu neon; ada yang curve bagian badannya agar kelihatan panjang, pendek, montok, berotot, kurus, sampai kadang latar gambarnya ikut meliuk-liuk; ada juga yang #nofilter #noedit tapi kameranya sudah dari sononya mengelabui, seperti cermin ajaib dalam kisah Putri Salju; itu pun harus dengan tahan napas, jinjit, manyun-manyun biar kelihatan singset dan kawaii.
Nah, kalau kita punya mode kamera beauty face, photo editor, dan filter, Jakarta punya pasukan oranye yang harus menjalankan fungsi mengedit kota, walau sebenarnya mereka tidak terlatih untuk itu. Lihat sendiri kan gambar-gambar bertema Asian Games di jalanan seperti apa? Jika diumpamakan feed medsos kita, seperti foto-foto hasil editan MS Paint.
Lain lagi ceritanya tentang pengadaan jalur sepeda dan rumput dadakan, yang konon akan dibongkar sesuai perhelatan itu. Sungguh kepura-puraan gaya hidup yang hakiki. Itu ibarat orang yang biasanya alergi makan sayur lantas suatu hari mengunggah foto salad di sebuah restoran dengan caption “Ini lho gaes rahasiaq biar tetep bugar” atau yang hobi mencoba baju-baju di mal lalu foto-foto tapi tidak beli.
Apa semua itu tidak ada faedahnya? Sebelum menjawab itu, mari pelajari dulu sisi baiknya, yang konon untuk mempromosikan Indonesia di mata dunia, agar terlihat gagah, agar banyak yang makin kenal Indonesia dan berkunjung, kan itu nanti bisa jadi pemasukan. Sama seperti kita yang harus mengeluarkan modal banyak, sampai berhutang mungkin, supaya citra di medsos apik, terus diminta endorse dan balik modal syukur-syukur banjir untung.
Nah sekarang pertanyaannya, apa benar semua pencitraan ini akan menghasilkan keuntungan riil? Kalau kita sekaliber Syahrini yang sudah bermandikan followers ya bisa saja sih untung, tapi kenyataan sering lebih pahit dari jamu gendong rapet wangi. Boro-boro ngasil, wong kebanyakan audiensnya auto-follow, sesama selebgram baru yang baru menetas dan cari endorse-an.
Kalau mau menengok ke belakang, sudah ada Olimpik 2004 di Atena dan Piala dunia 2014 di Rio de Janeiro. Dua-duanya kisah pilu rugi besar gara-gara habis-habisan mengadakan perhelatan akbar itu. Sudah duitnya ambyar, jumlah wisatawan yang ke sana juga tidak ada bedanya tuh.
Di banyak negara lain yang pernah mengadakan acara serupa juga tidak terbukti bahwa sektor pariwisatanya terbantu banyak. Kalau tuan tamunya negara-negara adidaya itu lain lagi. Selain infrastrukturnya sudah memadai dan penampilan kota-kotanya sudah cantik, mereka sebagai tuan rumah didukung oleh citra positifnya yang sudah melekat di imaji warga dunia.
Seperti Paris yang akan jadi tuan rumah Piala Dunia 2024, venues-nya bukan main megah, plus para wisatawan memang sudah gemar plesir ke sana sejak zaman kapan tauk. Diibaratkan selebgram, katakanlah Paris itu Dian Sastro, yang baru bangun belum cuci muka atau pakai bedak tabur saja endorse-annya bisa berapa juta, sementara Jakarta ya seperti influencer kemarin sore yang harus dempulan dan separo telanjang, itu pun cuma dapet produk gratis (murah lagi, duh).
Jadi, intinya sulap-menyulap tampang Jakarta ini tidak penting? Kita tanya diri sendiri saja. Jika kita merasa perumpamaan-perumpamaan di atas sering kita temukan di kehidupan sehari-hari, atau malah dalam diri kiita sendiri, ya siap-siap saja muka kecipratan kalau masih lanjut nyinyirin.
Buktinya banyak juga kan yang suka nyinyir tapi datang menonton pembukaan acaranya? Dengan penuh euforia, lagi. Tak ubahnya pentolan-pentolan media sosial yang menghadiri pertemuan sosial nan elit. Elit, lah, biaya yang digelontorkan trilyunan!
Mungkin yang tidak seberuntung lainnya yang bisa menonton langsung hanya bisa nyinyir di rumah sambil diam-diam menikmati acaranya juga. Dalam hatinya, ia berharap bahwa prasangkanya salah, bahwa Indonesia memang sudah sekaya itu.