Pria itu hampir mencuri dompet saya, pada minggu 15 maret 2020 siang hari, di sekitar alun-alun Bandung. Saya mencengkram tangannya secara kasar, namun segera ditepis. Belum sempat melabrak, ayah menarik saya menjauh. Beberapa orang berhenti dan melihat, namun menjadi lengang kembali secepat kejadian tadi.
Beberapa tahun sebelumnya, saya pernah mengalami pencurian. Kali ini Handphone dan tas milik saya benar-benar lenyap, di sebuah masjid kampus. Masing-masing di waktu yang berbeda, tapi berdekatan. Tentu saja, hal yang saya lakukan setiap kecurian selalu sama: mengutuk keteledoran diri sendiri dan menyumpahi pelaku.
Mudah dan akan selalu lebih mudah menyerapahi pelaku, ketimbang menggali akar permasalahan yang sebenarnya. Setiap hal, tentu saja, memiliki hubungan sebab akibat. Namun, Apakah sebab seseorang melakukan kejahatan? Dan terutama, apakah kejahatan itu?
Sudarto, dalam karyanya berjudul “Hukum pidana 1” mengartikan kejahatan sebagai perbuatan yang bertentangan dengan tata yang bercokol di masyarakat. Dalam ilmu kriminologi, lanjut Sudarto, kejahatan dipandang sebagai gejala masyarakat.
Sedangkan Soesilo membagi kejahatan dalam dua sudut pandang, yakni yuridis dan sosiologis. Dari kacamata yuridis, kita mendapati bahwa setiap kejahatan adalah tindakan yang bertentangan dengan undang-undang. Sedangkan melalui sudut pandang sosiologis, kita mengetahui kalau kejahatan adalah tindakan yang dinilai merugikan korban dan masyarakat.
Menilik dari perspektif moral, seseorang dikatakan melakukan kejahatan jika memiliki niat dan tanpa paksaan orang lain. Dari situ saja kita bisa menyimpulkan bahwa Tindakan yang dinilai merugikan orang lain, Tindakan yang bertentangan dengan tata yang terbentuk atau dibentuk dalam masyarakat bisa disebut sebagai sebuah kejahatan.
Berdasarkan sifat alaminya, Havelock Ellis mengelompokkan kejahatan dalam empat bentuk yakni, Politik, hasrat, penyakit jiwa, dan musiman. Ringkasnya begini: Kejahatan politik adalah setiap hal yang dinilai pemerintah sebagai tindakan yang menganggu stabilitas negara.
Kategori itu membuat negara ibarat dewa yang menstandarisasi moral berdasarkan kekuasaan. Apa yang mengganggu kekuasaan dan tatanan politiknya, maka bisa dikategorikan sebagai kejahatan politik. Perilaku negara yang seperti itu bisa dikatakan sebagai kejahatan yang sesungguhnya. Banyak orang yang dianggap pahlawan oleh masyarakat, menjadi korban kebiadaban standar moral ini karena melawan kekuasaan yang korup.
Kejahatan dengan hasrat muncul karena seseorang merasa lingkungannya menekan secara tidak adil. Perasaan itu menimbulkan seseorang ingin membnentuk sesuatu yang menurutnya adalah keadilan. Singkatnya, keadilan bagi diri sendiri. Seseorang seperti ini biasanya adalah orang baik di lingkungan yang tidak adil dan menindas dirinya. Maka dari itu, ketidaktahanan dirinya atau mungkin semangat memberontak membuatnya melakukan sesuatu yang bertentangan dengan nilai yang ada di lingkungannya.
Kejahatan yang sakit jiwa tidak dapat dikategorikan sebagai kejahatan, meskipun beberapa orang masih dengan seenaknya menganggapnya sebagai kejahatan. Orang yang mengalami gangguan mental, ketika melakukan tindakan yang merugikan, tidak bisa serta merta dianggap sebagai kejahatan. Orang seperti ini tidak bisa dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya. Dan pada dasarnya, kata Havelock Ellis, Ia berada dalam kondisi seperti anak kecil
Kejahatan musiman, lanjut Havelock Ellis, memiliki populasi terbesar dibanding tiga jenis tadi. Bisa dibilang, banyaknya kejahatan jenis ini, merupakan ancaman terbesar dalam kesejahteraan sosial masyarakat.
Sigmund Freud mengatakan ketidakseimbangan dalam diri manusialah yang menyebabkan dirinya melakukan tindak kejahatan. Kejahatan, lanjut Freud, dihasilkan dari perasaan bersalah yang berlebihan sebagai akibat dari superego. Mereka sadar bahwa mereka bersalah dan ingin menerima hukuman dengan cara melakukan tindak kejahatan.
Namun, mengapa seseorang memiliki psikologis yang kacau sehingga membuatnya melakukan kejahatan? Faktor keturunan mungkin berlaku. Tapi, secara tegas saya katakan, adalah tidak adil menimbang faktor psikologis apalagi faktor keturunan sebagai faktor yang paling dominan. Saya sedari dulu, meyakini bahwa setiap manusia dilahirkan suci. Bahwa nanti ia melakukan kejahatan itu sedikit banyak dipengaruhi dan didorong oleh lingkungan sosial dan ekonominya.
Masalah ekonomi dan kejahatan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Kejahatan adalah hasil dari kondisi ekonomi dan ketidakadilan sosial. Seseorang yang memiliki psikologis yang buruk lalu melakukan tindak kejahatan adalah hasil pengaruh orangtuanya yang dahulu, bisa jadi, memiliki pengalaman ekonomi dan sosial yang sama buruknya.
Ekonomi yang terpuruk membangkitkan keinginan seseorang untuk mengambil sesuatu yang mungkin bukanlah haknya. Lingkungan sosial dan ekonomi membentuk perilaku manusia. Singkatnya, kalau lingkungan sosial dan ekonomi seseorang sehat, maka kejahatan akan menemui ajalnya.
Setiap masyarakat, kata Emma Goldman, memiliki para penjahatnya sendiri. Quetelet dan Lacassagne bahkan memandang masyarakat sebagai kelompok yang mempersiapkan kejahatan. Para penjahat hanyalah instrumen pelaksananya
Dikutip dari republika, kriminolog Universitas Indonesia, Bambang Widodo Umar menilai, melemahnya ekonomi Indonesia erat kaitannya dengan naiknya kriminalitas. Keadaan terdesak membuat setiap manusia, dengan nalurinya untuk bertahan hidup, melakukan hal-hal yang dianggap sebagai kejahatan.
Maka dari itu, betapa tidak adil kalau kita hanya melihat sebuah kejahatan dari segi psikologis dan biologisnya. Pada akhirnya, relasi sosial dan ekonomi yang menghimpit seseorang merupakan faktor yang paling dominan. Dan menyingkirkan sebab-sebab terjadinya kejahatan jelas lebih masuk akal ketimbang menghukum seseorang karena melakukan kejahatan.
Referensi tulisan dari beberapa media online dan buku.