Dalam sekejap, nama politisi dari Fraksi PDI-P, Arteria Dahlan menjadi topik pembicaraan hangat di jagat twitter Indonesia. Ya, hal tersebut merupakan imbas dari perkataan yang ia lontarkan terhadap Prof. Emil Salim dalam acara mata najwa yang bertajuk Ragu Perpu.
Prof. Emil yang saat itu tengah menyampaikan argumennya, tiba-tiba ‘diserang secara brutal’ oleh Arteria Dahlan. Dengan nada tinggi, ia pun mencoba melawan dan menyela setiap pembicaraan Prof. Emil.
Itulah segelintir kisah panas perdebatan antara Politisi Arteria Dahlan dengan Prof. Emil Salim. Sekilas, tindakan yang dilakukan Arteria Dahlan memang kurang pantas dilakukan di depan publik. Terlebih lagi, orang yang menjadi lawan debat adalah seorang Profesor yang usianya lebih tua darinya. Tentu, dalam kacamata budaya Indonesia, hal semacam ini menjadi sesuatu yang tidak patut dicontoh.
Jika dilihat secara substansial, sebenarnya isi pandangan Arteria dan Emil Salim sama bagusnya. Arteria berupaya membela dirinya dan Lembaga DPR RI. Pun demikian dengan Prof. Emil yang juga menekankan pentingnya upaya pemberantasan korupsi dengan mendukung KPK.
Yang menjadi sorotan masyarakat luas adalah sikap dari anggota DPR Fraksi PDI-P tersebut yang kurang pantas dilakukan terhadap Prof. Emil yang, notabene lebih tua daripada Arteria. Dengan perkataan dan bahasa tubuh yang menggebu-gebu inilah, Arteria` kemudian berani mengambil alih pembicaraan. Lalu, bagaimana sebaiknya perdebatan di ruang publik itu dilakukan?
Kita sudah memahami bahwa perdebatan itu menjadi sesuatu yang lumrah. Apalagi, bagi dunia barat yang sudah terbiasa melakukan itu demi memperoleh pandangan terbaik dan meyakinkan. Tak jarang jika kemudian tradisi debat ini, seringkali disinyalir sebagai penanda kemampuan berpikir kritis sebenarnya yang dimiliki setiap bangsa dan peradaban.
Akan tetapi, dalam kasus ini, seperti ada yang terlupakan. Ya, soal memahami etika dalam berdebat terhadap orangtua yang seharusnya itu tidak boleh dikasari. Lalu, bagaimana seharusnya kesantunan dalam berdebat?
Seorang filsuf Prancis, Andre Comte Sponville, pernah mengatakan bahwa moralitas dalam suatu perdebatan itu dimulai dari dasar dan harus lewat kesantunan yang kita pelajari.
Sementara, Hinck dan Ellerton berpendapat setidaknya ada dua halangan yang menghambat kemampuan seseorang untuk berdebat dengan santun. Yakni keyakinan kuat yang mengalahkan logika berpikir, serta target debat yang bergeser lebih luas mencakup penonton, dan berpindah dari menyerang subjek ke individu.
Kondisi itu pun persis seperti apa yang dikatakan oleh Joanne Freeman. Menurutnya, hilangnya kesantunan politik lebih disebabkan tenor politik nasional seperti “Ketidakpercayaan regional, permusuhan pribadi, tuduhan, kecurigaan, implikasi, dan kecaman.”
Agaknya, anggota DPR RI Fraksi PDI-P ini harus membuka kembali dan belajar lebih lama mengenai tata cara menghormati orang yang lebih tua yang tertuang dalam kitab Ta’limul Muta’allim buah karya Syeh Ibrahim bin Ismail.
Sumber foto: reqnews.com