Kamis, April 25, 2024

Aroma Orba Kian Terasa

M. Hariansyah
M. Hariansyah
Lahir : Kota Tengah, 10 Mei 1997. Seorang Mahasiswa PPKn Fis Unimed, Alumni Climate Blogger, Bogor 2017 dan Alumni Anti-Corruption Youth Camp, Bandung 2017

Memasukkan elite militer ke dalam sektor pemerintahan merupakan pola kepemimpinan di masa Orde Baru. Tujuannya sederhana, yaitu untuk menjaga stabilitas nasional dan menstabilkan sistem politik yang diselenggarakan pemerintahan Orde Baru. Secara tidak langsung, pola demikian membuat militer memiliki andil dalam menjaga kelanggengan rezim penguasa ketika itu, karena menjadi pilar penopang pemerintahan.

Imbasnya, terjadi perubahan relasi antara militer dengan pemerintah yang semula sebagai alat negara, menjadi alat kekuasaan. Tidak heran jika kemudian mantan Pangkopkamtib Soemitro mengatakan, kondisi demikian mencerminkan militer (ABRI) mengalami proses down graded (penurunan derajat), dari alat negara menjadi alat kekuasaan politik (Salim Said, 2006).

Militerisme semakin menguat diberi jalan dan akses di pemerintahan. Selain Idrus Marham ada nama Moeldoko, jenderal TNI yang diangkat menjadi Kepala Staf Presiden menggantikan Teten Masduki. Penggantian ini kontras. Yang satu (Teten Masduki) adalah nama yang identik dengan hak asasi manusia dan masyarakat sipil, sementara yang satu lagi (Moeldoko) adalah nama militer. Militer yang notabene sering jadi pelaku kekerasan dan pelanggaran HAM oleh negara.

Peran tentara dalam meredam hak politik masyarakat tidak asing bagi para keluarga korban pelanggaran HAM yang saban Kamis berdiri dengan payung hitam di seberang Istana Negara. Aksi Kamisan, begitu disebutnya, menuntut penuntasan kasus dari kejadian yang menghilangkan nyawa orang terkasih. Begitu banyak memori buruk dampak dari adanya akses militer yang offside mencampuri urusan sipil. Kesan Orde Baru bangkit lagi di era Jokowi semakin kuat.

Belum lagi keputusan kontroversial Menteri Dalam Negeri yang mengangkat pejabat dari kalangan kepolisian untuk jadi pelaksana tugas gubernur (pengganti gubernur) di daerah yang melangsungkan Pilkada. Ini sarat akan konflik kepentingan, karena pelaksana tugas bisa menggerakan aparat negara untuk memenangkan calon tertentu. Apalagi ada jendral polisi yang maju jadi calon kepala daerah. Presiden kita sebagai lambang supremasi politik dan sipil belum menunjukkan kepekaannya untuk urusan serius ini.

 

Rasa Orba

Setahap demi setahap tentara terkesan hendak kembali mengatur persoalan masyarakat sipil. Nota kesepahaman yang diteken Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal Tito Karnavian dan Panglima Tentara Nasional Indonesia Marsekal Hadi Tjahjanto semakin menguatkan kecenderungan itu.

Perjanjian enam lembar bertajuk “Perbantuan Tentara Nasional Indonesia pada Kepolisian Negara Republik Indonesia Dalam Rangka Memelihara Keamanan dan Ketertiban Masyarakat” tertanggal 23 Januari 2018 itu, antara lain, menyebutkan perbantuan tentara dalam menangani unjuk rasa, mogok kerja, kerusuhan, dan konflik sosial. TNI juga dilibatkan untuk “menjaga kegiatan masyarakat dan pemerintah yang rawan ricuh” (Tempo.Co 7/2/18).

Dalam Nota kesepahaman Nomor B/2/2018 dan Nomor Kerma/2/I/2018 soal pengamanan demonstrasi tertuang pada Pasal 2. Berbunyi; Pasal 2 Ruang Lingkup (l) Ruang lingkup Nota Kesepahaman ini tentang tugas perbantuan pihak kedua kepada pihak pertama dalam rangka Harkamtibmas. (2) Tugas perbantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam hal: a). Menghadapi unjuk rasa maupun mogok kerja; b). Menghadapi kerusuhan massa; c). Menangani konflik sosial; d). Mengamankan kegiatan masyarakat dan/atau pemerintah di dalam negeri yang bersifat lokal, nasional maupun internasional yang mempunyai kerawanan; dan e). Situasi lain yang memerlukan bantuan pihak kedua sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan

Butir perjanjian pemimpin kedua institusi bersenjata itu mengancam kebebasan menyampaikan pendapat, yang membolehkan adanya unjuk rasa dan mogok kerja. Poin yang sama juga menyalahi prinsip pemisahan fungsi TNI dan Polri. Konstitusi memberi kewenangan menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat kepada kepolisian. Sedangkan militer bertugas mempertahankan kedaulatan negara dari serangan luar.

Undang-Undang TNI pun jelas menyebutkan, tugas pokok TNI adalah menegakkan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah, serta melindungi bangsa. Pemisahan kedua institusi itu merupakan salah satu hasil terpenting dari reformasi 1998. Aturan yang jelas tersebut semestinya tidak ditafsirkan seenaknya dengan nota kesepahaman antara Panglima TNI dan Kepala Polri, yang tidak memiliki kekuatan hukum.

Keterlibatan tentara dalam urusan sipil telah meruntuhkan kehidupan demokrasi sepanjang Orde Baru. Dengan konsep Dwi Fungsi, militer masuk ke birokrasi, politik, dan berbagai kehidupan sipil. Hak-hak asasi manusia diberangus atas nama stabilitas. Kita semestinya tidak kembali ke zaman kegelapan itu.

Jika mengacu kepada sejarah, keterlibatan militer dalam ranah politik bukanlah sesuatu yang baru. Militer (khususnya Angkatan Darat), tidak pernah menganggap dirinya sebagai suatu organisasi atau institusi yang tidak berpolitik. Yahya Muhaimin berpendapat, bahwasanya militer sejak lahirnya sudah committed dengan urusan-urusan non militer, termasuk dalam bidang politik, terutama dengan adanya para tokoh militer yang berpengaruh dan berkontribusi besar dalam perjuangan kemerdekaan, seperti Jenderal Sudirman, A.H. Nasution, TB Simatupang dan pewira lainnya.

Peranan ABRI dalam memberantas beragam peristiwa yang mengancam keamanan nasional, seperti pemberontakan PKI di Madiun, PRRI/Permesta, dan pemberontakan lainnya, bukan saja terdorong oleh fungsi TNI sebagai alat pertahanan negara, namun juga unsur keterlibatan secara politik (Yahya Muhaimin, 2005). Keberadaan tokoh dan fenemona tugas militer tersebut membuktikan bahwasanya militer terlibat langsung dalam sejarah berdirinya republik ini. Perjuangan untuk mendapatkan kemerdekaan, dilakukan militer dengan strategi atau kegiatan kesemestaan, maksudnya militer tidak hanya melakukan pertempuran secara fisik, tetapi juga terlibat dalam strategi penyusunan pendirian bangsa Indonesia.

Secara lebih dalam, Harold Crouch mengatakan bahwa ambiguitas ini mulai ada sejak pemuda atau pejuang mulai mengangkat senjata. Para pemuda dan pejuang pada waktu melawan penjajah dahulu, mengangkat senjata tidak didorong oleh keinginan untuk membangun karier di bidang militer, tetapi didorong oleh semangat patriotik terhadap Republik Indonesia (Harold Crouch, 1999).

Perdebatan tentang keterlibatan militer di dalam politik juga mengarah kepada perbedaan pemahaman, sebagai bentuk perbedaan titik pijak pemikiran yang digunakan. Pemahaman dan kesadaran politik ini muncul karena selama perjuangan merebut kemerdekaan atau selama masa revolusi, kepemimpinan militer terlibat dalam permasalahan politik nasional. Ambiguitas ini juga terjadi karena kesenjangan generasional dan kultural.

Sejarah menjadi saksi bahwasanya keterlibatan militer dalam politik sudah mengakar dari era penjajahan Belanda, dalam bentuk perjuangan. Jika ditarik sampai ke era reformasi, dan disesuaikan dengan kondisi zaman, wajar jika terdapat ketidakcocokan. Ambiguitas batas menjadi persoalannya, serta persoalan profesionalisme militer. Sehingga, pembahasan mengenai hak politik militer menjadi sesuatu yang dianggap bertabrakan dengan semangat reformasi dan demokrasi masa sekarang.

M. Hariansyah
M. Hariansyah
Lahir : Kota Tengah, 10 Mei 1997. Seorang Mahasiswa PPKn Fis Unimed, Alumni Climate Blogger, Bogor 2017 dan Alumni Anti-Corruption Youth Camp, Bandung 2017
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.