Pada (11/02/2023) ialah hari yang bersejarah. Pemerintah melalui presiden, mengakui telah terjadi kecelakaan kemanuisaan yang berimbas kepada Hak Asasi Manusia (HAM). Kondisi demikian melahirkan pelbagai telaah mengapa bangsa ini melakukan tindak kriminal hingga berakibat pertumpahan darah.
Beberapa media meruyak menyampaikan informasi ini. Terpampang begitu jelas, Presiden Joko Widodo dan jajarannya menyampaikan ada dua belas peristiwa penting bagaimana Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia digadaikan. Salah satu yang paling familiar dikenang yaitu pertarungan ideologis tiada akhir dengan pembantaian yang terjadi di tahun 1965.
Pasca peristiwa itu, timbul pelbagai peraturan-peraturan yang mengkerdilkan keturuan beberapa kelompok yang terlibat secara perseorangan ataupun kelompok. Majalah Tempo (12/05/1990) memberikan informasi yang begitu menohok. Anak keturuan partai terlarang itu, harus kesulitan untuk menggapai cita-cita karena aturan yang dibuat oleh rezim atas ketakutan ideologi komunis masuk kembali.
Presiden Soeharto waktu itu mengetuk kebijakan bernama Kepres (Kebijakan Presiden) bertanggal 17 April 1990. Kebijakan itu begitu tegas. Tidak memperbolehkan ABRI, Pegawai Negeri Sipil (PNS), sampai jurnalis diisi oleh anak cucu partai terlarang. Kondisi demikian membuat cemberut anak keturunan partai terlarang itu. Mereka hanya menghela napas panjang menggantungkan nasib cita-citanya.
Lain sisi dari kebijakan itu ialah, pemberian tanda “ET”, pada Kartu Tanda Penduduk (KTP). Menurut Dalam Negeri Rudini, kegunaan tanda itu sebagai acuan dalam penelitian tentang keterlibatan seseorang dengan bekas partai komunis PKI. Jadi ada harapan bagi keturuan partai terlarang agar mengetahui seberapa berat dan lemah kakeku atau buyutnya terlibat dalam persekonkolan dengan partai terlarang.Namun untuk menyoal aktualisasi di ruang-ruang seperti Jurnalistik, PNS ataupun ABRI, mereka tetap masih kena semprit.
Beberapa tokoh diwawancarai menyoal kebijakan baru yang dibuat oleh rezim waktu itu. Putri dari Omar Dani, -Dria Candra Adityanti harus mengubur tuntas cita-cita nya untuk menjadi dosen di Universitas Indonesia. Perempuan paru baya yang kerap kali dipanggil Cica, harus menghela napas, karena ayahnya ialah Omar Dani. Omar Dani yang pada waktu itu dituduh terlibat dan terlalu dekat dengan Partai Komunis Indonesia, alhasil Cica kena imbas, masuk dalam lingkaran merah “bersih lingkungan.”
Bersih lingkungan sebutan masyarakat orde baru untuk dapat membredel apapun yang beraroma komunisme. Bisa dibayangkan bagaimana tertekannya anak cucu yang tak tahu menahu menyoal peristiwa lalu kakek buyutnya harus merasakan getahnya. Di Sumatera Selatan, sekretaris daerah bernama Syafril Ahmad. Ia harus menelan pil pahit ternyata ayah mertuanya pernah terlibat dalam peristiwa G30S/PKI. Alhasil jabatannya dicopot.
Memilukan dan miris. Memang itu narasi yang bisa kita rasakan. Mereka tak melakukan bahkan menyebarkan ide-ide partai terlarang, harus terkena imbasnya sampai tujuh turunan. Masih banyak lagi kisah-kisah memilukan yang harus dihadapi oleh anak cucu dari kesalahan kakek buyutnya itu. Kondisi itu alhasil merampas Hak Asasi Manusia anak bangsa untuk berkembang dengan bebas.
Sebuah Pengakuan
Pengakuan pemerintah atas kecelakaan HAM, membuat kita menghela nafas sejenak sembari merefleksikan coretan sejarah bangsa ini. Mengaku berarti harus bisa dewasa meniti kembali fakta sebenarnya untuk menjadi bangsa yang besar. Tak terkecuali menyoal sumber pengetahuan yang perlu diperbarui tanpa tedeng aling-aling.
Menyoal pengakuan, teringat Adolf Eichman yang didakwa karena telah terlibat simultan atas pembantaian di beberapa titik daerah di Eropa oleh Nazi pada 1961. Hannah Arendt begitu lantang bersuara ketika pengakukan-pengakuan oleh pelaku pembantaian masal etnis Yahudi di Aushwich terjadi.
Eichman dengan kepala lumayan botak dengan kacamata kotak termangu terpotret rapi ketika diadili di Yerusalem. Hannah Arendt menyaksikan. Wajah Arendt begitu muram karena pengakukan Eichman bertindak karena utusan dari atasan untuk bisa dipatuhi. Sebuah Holocaust telah terjadi menyiratkan penderitaan bagi hak hidup umat manusia tanpa pandang bulu.
Filsafat Arendt tampak dalam kategori pikiran atau kesadaran. Tindakan ialah aspek turunan dari buah kesadaran menuju sebuah tindakan. Ketidak tampakan gamang sama sekali raut wajah Eichman ketika diadili, menandakan tidak ada kesadaran bahwa tindakan yang dilakukannya menyimpang.
Arendt mengkritik tindakan Eichman karena banalitas kejahatan yang dibalut dengan pengaruh kuasa memberangkus kesadaran. Eichman menganggap apa yang ia lakukan ketika kekuasaan Nazi bercokol tidaklah salah. Namun bila ditilik secara filsafat tindakan Arendt, Eichman tak menentukan arah nurani yang ia miliki alhasil sikapnya terpatok oleh paku fasis.
Menyoal Aushwitz dan pengakuan. Masyarakat Jerman mengakui secara gamblang atas dosa besar yang telah dilakukan Nazi menggunakan tanda bangsa Jerman. Opini Sindhunata dalam Majalah Basis (Nomor 03-04, tahun ke-56, Maret-April 2007) berjudul Politik Pengampunan, menjabarkan gagasan Arendt beserta praksisnya menyoal sejarah kelam yang membuntuti.
Sejarah bukan hanya pembakuan tentang masa lalu, namun sejarah ialah pencairan masa depan. Kendati demikian, pemahaman menyoal sejarah pilu nan kelam akan dibaca masa depan. Subyek kelompok masa depan akan menilai. Menilai tanpa tedeng aling-aling termasuk menyoal Hak Asasi Manusia.
Pengakuan atas peristiwa masa silam yang menyeret kasus HAM berat ialah sebuah gerbang awal dari sebuah kesadaran. Kesadaran untuk menata menjadi bangsa yang bijak memahami Hak Asasi Manusia. Selanjutnya tabir-tabir itu penting untuk direfleksikan agar mencabut segala bentuk stigma yang mengkerdilkan, membumihanguskan salah satu kelompok atau kalangan. Sekian.