Bagaimana pandangan anda tentang Arab Saudi? ya sebagian besar menjawab negara dengan sistem pemerintahan monarki, menjadikan Islam sebagai ideologi negara, masyarakat konservatif dan bersikap menolak segala sesuatu yang baru. Benar, begitulah gambaran Arab Saudi dalam pemahaman kita. Beberapa dekade, tampuk kepemimpinan silih berganti, pemikiran dan orientasi politik setiap pemimpinnya berbeda-beda.
Tetapi, saya baca berita baru-baru ini cukup mengagetkan rasasnya ketika Saudi Arabia mengeluarkan kebijakan berupa partisipasi perempuan dimuka publik, dimana Perempuan Saudi diperbolehkan mengemudi. Tentu hal tesebut menurut hemat saya sebagai sebuah perubahan positif. Karena selama ini Arab Saudi membatasi ruang gerak perananan mereka. Sebenarnya, wacana ini telah dibicarakan beberapa tahun sebelumnya, senada dengan yang disampaikan oleh Ahmed Zulfa anggota dewan konsultatif Syura mengatakan dua tahun lalu, kami sudah mempertimbangkan agar mengizinkan perempuan mengemudi. Bahkan beberapa pejabat dan ulama setuju karena dogma Islam tidak melarang wanita untuk mengemudi.
Tidak mengherankan kemudian banyak kalangan menilai kebijakan Arab Saudi sebagai sebuah pertanda dibukanya keran kebebasan. lalu pertanyaannya adalah apa alasan dibalik kebijakan tersebut?
Menurut laporan Adam Taylor, kebijakan Arab Saudi itu bertujuan untuk merevitalisasi ekonomi domestik. Pasalnya dengan jumlah penduduk mencapai 32 juta jiwa dan kondisi ekonomi yang makin membaik berbanding terbalik dengan pekerja pada sektor transportasi. Karena data menunjukkan setidaknya terdapat 800.000 pekerja mayoritas berasal dari Asia Selatan, bekerja sebagai supir bagi wanita Saudi dengan gaji rata-rata 400 dollar per-bulannya. Tentu saya menilai kebijakan pemerintah itu sudah tepat mengingat pemerintah Saudi memberi kesempatan bagi setiap warganya untuk berpartisipasi dan memiliki hak untuk bekerja. Disamping itu, adanya Saudi Vision 2030, program yang memiliki tujuan strategis berupa pembangunan infrastruktur hingga inovasi dalam teknologi maju, menciptakan 20.000 lapangan kerja domestik, 250.000 pekejaan bidang konstruksi yang akan meningkatkan GDP hingga 6,3 % menjadi dasar pertimbangan kenapa perempuan sudah bisa berperan serta membangun ekonomi negara.
Saya melihatnya, transformasi Arab Saudi dalam bidang ekonomi dan sosial memiliki beberapa tujuan. Pertama, sebagaimana kita ketahui Arab Saudi secara politis dianggap sebagai representasi dari kekuatan negara Islam saat ini. Kedua, Arab Saudi ingin mejadi negara yang dianggap pemimpin di negara-negara Arab dan Timur Tengah pada umumnya. Karena, kelihatannya “persaingan” antara negara-neagra Teluk tejadi begitu ketat, Dubai memiliki Burj Khalifa sementara Arab Saudi memiliki Abraj al-Bait Tower, jadi persaingan-persaingan sebagai siapakah lebih dominan tetap terjadi. Ketiga, pandangan kita terhadap negara-negara Arab selalu berakar pada Islam. persoalan yang dihadapai oleh Islam salah satunya bagaimana penerimaan umat terhadap modernisme yang membawa misi kemajuan, sekulerisme, liberalisme industri asimilasi budaya dan lain-lain. Arab Saudi nampaknya akan mencoba Meruntuhkan tembok pandangan itu. Mereka ingin memperlihatkan, selain sebagai pusat ibadah umat, Islam Arab Saudi juga mencerminkan modernitas dan sejalan searah dengan semangat modernisme.
Senada dengan disampaikan oleh Putra Mahkota Mohammad Bin Salman al-Saud bahwa: “Saudi Arabia is a modern nation; Islam is a religion of moderation. Islam is not against modernization, and we have seen the step of allowing Saudi women to drive … all these steps have restored Saudi Arabia’s standing as the leader of the moderate and proud Muslim world where there is no room for extremism,”
Selain kebijakan membolehkan perempuan mengemudi, Arab Saudi ingin menjadi cerminan dan kembali kepada Islam Moderat yaitu Islam yang mencerminkan karakter khusus baik dalam pandangan pelaksanaan dan penerapan kehidupan sehari-hari dimana Islam moderat diidentikkan sebagai dogma yang mengikuti jalan tengah antara berlebih-lebihan dan sikap ekstrimisme. Entahpenyataan putra mahkota beberapa waktu lalu adalah sebuah rencana real dianggap sama pentingnya dengan visi 2030.
Apabila wacana “Islam Moderat” benar adanya maka bisa dipastikan Arab Saudi akan menjadi corong umat Islam yang sebenarnya. Pasalnya, masyarakat Arab telah mengalami semacam penyekit kronis intelektual. Sejak bangsa-bangsa Eropa melakukan invasi dan membentuk teritorial kekuasaan, dari sana pula selalu lahir para pemikir anti-Barat dengan jargon semangat kembali kepada Islam sebagai sistem politik ideal dan Barat adalah cerminan kegagalan dan menjadi penyebab mengikisnya solidaritas umat yang selama ini dibangun.
Maka, tidak mengherankan jika sumber kelompok radikal lahir dari negara-negara Arab mulai dari Ikhwanul Muslimin, Hamas, Islamic State, Aqap, al-Qaida, Haiah Tahrir Syam merupakan sederet gerakan utopis yang ingin menghapuskan serta menolak tegas modernitas.
Saya meyakini, ungkapan kembali kepada Islam Moderat hanya lain di mulut dan citra politik baik ala Arab Saudi untuk menggaet Worldview . tidak berlebihan jika saya mengatakan demikian, dalih ingin mengcounter terorisme justru membiayai faksi-faksi yang dianggap teroris, bukankah menjadi aneh. Bahkan Wahabisme kerap kali melahirkan pandangan radikal, cenderung dan intoleran terhadap ajaran lain membuat penganut Wahabisme rentan terhadap radikalisasi.
Oleh sebab itu, jika pemerintah Arab Saudi komitmen kembali kepada “Islam Moderat” maka pasti akan berakibat pada kekacauan. Benih-benihnya sudah mulai, terbukti slema ini santer terdengar kabar ada tindakan represif pemerintah terhadap ulama-ulama yang membangkang dan tidak setuju terhadap pemerintahan.