Sejatinya teknologi informasi memiliki peran yang penting dalam ranah demokrasi dan tata kelola pemerintahan. Karakteristik teknologi informasi dan internet yang menyebarkan informasi secara cepat dan langsung, mendorong beberapa akademisi mengembangkan konsep Demokrasi digital dan E-demokrasi yang berupaya mengimplementasikan serta menyatukan konsep demokrasi dengan teknologi informasi. Asumsi awal dari konsep ini adalah teknologi informasi dapat menjadi sarana untuk memperbaiki demokrasi, dimana kecepatan informasi yang ada dapat mempermudah masyarakat sipil dalam melakukan hal hal yang lumrah di dalam demokrasi.
Tren E-government di Indonesia direpresentasikan dengan lahirnya berbagai macam superapp terintegrasi yang berguna untuk pelayanan publik. Dalam konteks pemerintahan provinsi JAKI, Laporgub masyarakat. Hal ini tentu menjadi hal yang baik karena meningkatkan efisiensi dan efektifitas dari pelayanan publik, aduan publik, dan hal hal yang berkaitan dengan administrasi pemerintahan. Namun apakah E-government di Indonesia dan penggunaan teknologi informasi telah melahirkan proses demokrasi yang lebih substantif?
Berdasarkan beberapa literatur E-democracy sebagaimana, konsep E-demokrasi merupakan sebuah konsep yang memiliki beberapa dimensi yakni E-public, E-voting, dan E-partisipasi. Dalam aspek demokrasi E-partisipasi menjadi aspek yang penting. Dalam konteks E-partisipasi. Dalam literaturnya dijelaskan bahwa tipologi E-participation dibagi berdasarkan fungsinya menjadi 3 yakni monitoring yang terdiri dari bentuk bentuk partisipasi seperti “E-information, E-deliberation dan E-complaints” Kini pertanyaannya adalah “apakah superapp yang menjadi manifestasi E-government di Indonesia telah memberikan partisipasi politik yang bermakna bagi masyarakat atau hanya menjadi wadah aduan masyarakat?
Sebagai contoh konkrit kita dapat melihat fitur fitur yang berada pada aplikasi JAKI (Provinsi DKI Jakarta) dan Laporgub masyarakat (Provinsi Jawa Tengah). JAKI, sebagai super-app kebanggaan Jakarta, telah berhasil menghadirkan berbagai fitur inovatif yang menjawab kebutuhan masyarakat kota secara menyeluruh dengan mengimplementasikan konsep E-government dan smart city.
Melalui fitur JakLapor, warga dapat dengan mudah melaporkan berbagai masalah kota, seperti jalan rusak atau sampah menumpuk, dan mendapatkan respons cepat dari pemerintah. Berdasarkan data yang diambil dari CRM (Cepat Respon Masyarakat) disebutkan bahwa mayoritas laporan yang masuk berkaitan dengan “Jalan” sehingga dapat dikatakan bahwa laporan yang ada terkait dengan jalan berlubang, atau rusaknya ruas jalan. Selain itu dalam konteks aplikasi laporgub masyarakat yang dikembangkan pemerintah provinsi Jawa Tengah, fitur yang dihadirkan cenderung lebih sempit dan tidak selengkap fitur Jakarta Kini. Fitur yang tersedia di dalam laporgub masyarakat hanyalah hal hal yang bersifat aduan masyarakat yang dibungkus dengan aplikasi.
Dalam konteks E-partisipasi yang ada mayoritas partisipasi yang dilakukan masyarakat merupakan partisipasi yang bersifat aduan seperti jalanan rusak, pohon rubuh, air mati, dan hal hal lain. Hal ini tentu masih masuk kedalam kategori E-partisipasi politik yakni E-complaints.
Tentu pengaduan menggunakan E-government merupakan hal yang positif namun kita perlu bertanya mengapa aplikasi E-Government di Indonesia sering kali identik dengan tempat mengadu jalan rusak. Namun, di negara lain seperti Taiwan dan Islandia, teknologi ini justru digunakan untuk memprakarsai kebijakan yang lebih demokratis? Namun idealnya sebuah fitur superapp yang menjadi manifestasi E-government mampu meningkatkan E-partisipasi secara lebih substantif dan mampu memenuhi keseluruhan parameter konsep E-partisipasi dalam demokrasi digital. Aplikasi seperti JAKI atau Laporgub masyarakat belum mampu untuk merangsang partisipasi politik masyarakat yang substantif.
Berbeda dengan model E-Government di Indonesia yang masih sebatas menampung aduan, beberapa negara telah berhasil menerapkan E-Government sebagai alat sarana demokrasi substantif. Bagaimana maksud dari partisipasi politik elektronik yang substantif?. Dalam literatur yang dituliskan Lita Akmentina seorang akademisi smart city menyebutkan Partisipasi politik yang substantif dapat tercermin dari budaya E-demokrasi dimana teknologi informasi mampu memberikan ruang bagi masyarakat untuk berdiskusi terkait kebijakan publik.
Dalam penerapan teknologi informasi berdasarkan kajian literatur yang dilakukan terdapat 2 negara yang menerapkan E-partisipasi yang bermakna melalui teknologi informasi. Negara pertama adalah Taiwan dengan platform vTaiwan dan yang kedua adalah Islandia dengan platform “Better Reykjakvik”.Platform vTaiwan memungkinkan masyarakat Taiwan untuk berpartisipasi dalam pembuatan kebijakan melalui mekanisme diskusi digital berbasis teknologi dan AI.
Prosesnya dimulai ketika pemerintah, parlemen, atau masyarakat sipil mengajukan isu yang perlu dibahas, Selanjutnya isu tersebut dibuka secara online menggunakan platform Pol.is, yang memungkinkan warga menyampaikan pendapat dan memberikan dukungan atau penolakan terhadap gagasan tertentu.
AI dalam Pol.is kemudian menganalisis dan mengelompokkan opini masyarakat berdasarkan kesamaan pola pikir, sehingga memperjelas titik temu yang paling banyak disetujui. Setelah diskusi digital selesai, hasilnya dibawa ke forum tatap muka antara perwakilan masyarakat, akademisi, dan pemerintah untuk dibahas lebih lanjut. Jika mayoritas mendukung suatu konsensus, pemerintah mempertimbangkan hasil deliberasi ini dalam perumusan kebijakan. Salah satu contoh keberhasilan mekanisme ini adalah perubahan regulasi Uber di Taiwan, yang disesuaikan berdasarkan masukan dari vTaiwan.
Better Reykjavik adalah platform e-partisipasi di Islandia yang memungkinkan warga Reykjavik untuk mengajukan ide, berdiskusi, dan memberikan suara terhadap kebijakan kota. Platform ini bersifat independen karena dikembangkan oleh organisasi nirlaba, bukan pemerintah, sehingga lebih transparan dalam mendukung demokrasi digital. Mekanismenya dimulai dengan warga mengunggah ide kebijakan, yang kemudian dapat dikomentari dan didukung oleh pengguna lain. Sistem akan memprioritaskan ide dengan suara terbanyak, dan setiap akhir bulan, 5 ide teratas serta 1 ide terbaik dari setiap kategori dibawa ke rapat dewan kota untuk dievaluasi lebih lanjut.
Kedua contoh tersebut baik pada negara Taiwan dan Islandia menunjukan bagaimana partisipasi politik yang dijalankan melalui teknologi informasi telah mencakup tingkatan E-partisipasi yang lebih kompleks dan bermakna seperti E-consultation, hingga E-initiatives. Hal ini menunjukan adanya partisipasi politik yang “meaningful” dan menciptakan iklmi demokrasi substantif yang semakin nyata. Pengembangan superapp E-government seperti JAKI dan Laporgub masyarakat telah meningkatkan efisiensi pelayanan publik, tetapi masih terbatas dalam mendorong partisipasi politik yang substantif.