Jumat, Maret 29, 2024

APBN di Persimpangan Keberpihakan

fauwazar
fauwazar
Mahasiswa Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya & Presidium Alumni ISPE INDEF

APBN merupakan sebuah rencana anggaran pendapatan dan belanja yang disusun pemerintah dalam membiayai seluruh program dalam satu tahun. Tentunya program yang direncanakan pemerintah diselaraskan dengan prioritas pembangunan yang telah disepakati bersama dalam satu periode. Periode Presiden Joko Widodo menitikberatkan kepada sektor pendidikan dan sektor infrastruktur, yaitu masing-masing sebesar Rp 444,1 triliun dan Rp 410,7 triliun.

Mungkin ketika kita berjalan di tengah hiruk-pikuk perkotaan dan melihat pembangunan jalan tol, dapat dipastikan pembangunan jalan tol tersebut merupakan hasil rancangan APBN pemerintah.

Selain itu, ketika kita hendak mengisi bensin, tanpa disadari pemerintah memainkan perannya dengan mensubsidi BBM kita dengan APBN. Tanpa kita sadari, APBN sangat bermanfaat bagi masyarakat Indonesia. Manfaat APBN tidak hanya terbatas pada subsidi BBM dan pembangunan infrastruktur, melainkan ada program JKN, Kartu Indonesia Pintar, Kartu Indonesia Sehat dan sebagainya, yang secara tidak langsung meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Terlepas dari seluruh manfaat APBN yang diterima masyarakat, tentu APBN memiliki makna lebih dari sekedar ‘daftar belanjaan’ melainkan juga sebuah keberpihakan, maka “APBN adalah sebuah keberpihakan”. Keberpihakan tersebut secara tidak langsung dimanifestasikan dalam angka-angka yang dialokasikan pemerintah kepada tiap sektor, yaitu sektor kesehatan, pendidikan dan infrastruktur.

Pertanggal 31 Juli 2018, posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia sebesar Rp 358 miliar dolar AS, yang diantaranya Rp 180,8 miliar dolar AS untuk utang pemerintah dan bank sentral dan Rp 177,1 miliar dolar AS untuk utang swasta atau sebesar Rp 5.191 triliun dengan kurs Rp 14.500 per dolar AS.

Alih-alih khawatir, pemerintah justru merasa bahwa posisi hutang Indonesia masih dalam batas aman. Pemerintah mengeluarkan selusin rasio-rasio hutang terhadap APBN yang mereka yakini dapat menjadi pembelaan dan pengaman di tengah kehebohan publik atas meningkatnya hutang Indonesia.

Dari tahun 2014 hingga 2018, pemerintah Indonesia telah membayar hutang secara berurutan sebesar Rp 237 triliun, Rp 226,26 triliun, Rp 322,55 triliun, Rp 350,22 triliun dan Rp 492, 29 triliun. Dengan pembayaran hutang Indonesia sebesar Rp 492,29 triliun atau 26 persen, dari Rp 1.878,4 triliun hanya digunakan untung membayar hutang, padahal belanja negara di tahun 2018 sebesar Rp 2.204,4 triliun harus dipenuhi. Jika tidak, maka pemerintah akan mencari dana pinjaman untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

“hutang itu harus produktif maka kami akan membangun infrastruktur dengan baik!” begitu pembelaan mereka, sehingga dengan percaya dirinya mereka melakukan hutang kembali. Sekali lagi perlu ditekankan bahwasannya alokasi APBN bukan hanya masalah produktif (dalam hal ini alokasi infrastruktur) melainkan masalah keberpihakan.

Gencarnya pembangunan infrastruktur kerap kali membuat pemerintah hilang arah, bahwa ada sesuatu yang lebih penting dari pada membangun ‘beton berdiri’ yaitu riset dan pengembangan teknologi. Di tahun 2018 anggaran Risbang dan Inovasi Kementerian Ristek Dikti sebesar Rp 1,7 triliun dengan porsi sebesar Rp 1,59 triliun untuk Riset dan Pengembangan dan Inovasi Rp 145,2 miliar.

Idealnya, kebutuhan atas riset berkisar 1-2 persen dari GDP, tapi saat ini hanya berkisar 0,25 persen. Berdasarkan publikasi Global Innovation Index 2017, Indonesia menempati urutan ke-82 dalam pengembangan bidang riset, sementara Singapura menetapi urutan ke-7, Jepang ke-14 dan Korea Selatan ke-11.

Ini yang tidak disadari oleh pemerintah Indonesia, bahwa seharusnya saat ini APBN memberikan keberpihakannya kepada bidang pendidikan, khususnya riset dan pengembangan teknologi.

Negara-negara seperti Jepang, Singapura, Amerika, Jerman, Korea Selatan dan sebagainya merupakan negara yang telah memanen hasil kerja kerasnya selama ini atas pengalokasian APBN mereka kepada bidang riset dan pengembangan teknologi, sehingga mereka layak memanen hasil kerja keras mereka.

Walaupun alokasi anggaran sektor pendidikan lebih besar dari sektor infrastruktur, nyatanya anggaran sektor pendidikan masih berorientasi pada kebutuhan pendidikan dasar-menengah seperti program BOS, Tunjangan Profesi Guru, Program Indonesia Pintar, Pembangunan Sekolah dan Bidikmisi, sehingga kebutuhan atas riset dan pengembangan teknologi kurang diprioritaskan. Inilah kenyataan yang harus dihadapi pemerintah, bahwa saat ini APBN Indonesia sedang ‘kebingungan’ mencari arah pulang, sehingga keberpihakannya tidak menentu.

APBN saat ini harus berkaca, bahwa Human Development jauh lebih bermanfaat dalam jangka panjang jika dibandingkan dengan Infrastructure Development. Sebab pembangunan terbaik adalah pembangunan yang berorientasi kepada pembangunan manusia. Jika dianalogikan, Indonesia saat ini adalah sebuah rumah tangga yang memiliki pendapatan pas-pasan dengan kebutuhan rumah tangga yang terlalu berlebihan, sehingga menanggalkan kebutuhan masa depan anak-anaknya di masa depan kelak.

Tetapi saat ini kita perlu bersyukur atas manfaat APBN yang kita rasakan, seperti subsidi gas LPG, subsidi listrik, subdisi BBM, program KIS dan sebagainya, tetapi dalam jangka panjang alokasi anggaran perlu dialihkan kepada sektor pendidikan, khususnya riset dan pengembangan teknologi, sehingga APBN tidak kebingungan di persimpangan keberpihakan.

fauwazar
fauwazar
Mahasiswa Ilmu Ekonomi Universitas Brawijaya & Presidium Alumni ISPE INDEF
Facebook Comment

ARTIKEL TERPOPULER

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.