Lebaran diibaratkan sebagai ceremony atau perayaan. Apakah betul lebaran sebagai perayaan? Saya rasa hilang semua esensi lebaran di hari itu. Tidak ada yang berbekas. Termasuk menahan nafsu, apalagi yang berkaitan dengan makan dan minum.
Sebelumnya, tulisan ini saya tulis atas keresahan saya, yang melihat realitas keadaan disekitar. Saya melihat orang-orang disekitar saya, makan hingga 4x-5x dalam waktu tidak sampai 1 hari penuh. Apakah ini pelajaran yang dibawa dari puasa yang dirayakan saat lebaran?
Saya rasa betul saja jika puasa hanya dijadikan sebagai sebagai perintah yang dilaksanakan untuk tidak makan dan minum. Tidak mencari nilai didalamnya. Memang, harus ada yang dirubah dari pola pikir beribadah kita. Bukan hanya menjalankan perintah, tetapi juga mencari nilai didalam nya. (Nilai disini bukan berarti nilai angka seperti disekolah ya.)
Dari nilai tersebutlah kita belajar. Lalu dari mana kita mulai? kita mulai dari bertanya (?), kita harus terbiasa dengan kalimat-kalimat tanya. “Apa yang kita bawa dari Puasa 1 bulan penuh kemarin?” kalau saja kalimat ini terlintas dikepala kita ketika makan dengan porsi yang banyak dengan berlipat-lipat, mungkin akan sedikit berfikir. Kecuali, jika berfikir seperti “Kita puas-puasin makan mumpung tidak puasa lagi”.
Bersumber dari apa yang kita pertanyakan tadi, kita lihat realitas nya yaitu keadaan sekitar kita. Barulah kita melihat apa yang benar-benar terjadi dimasyarakat. Dimana masyarakat kita terlalu terlena dengan kebiasaan-kebiasaan yang dibentuk, ntah oleh siapa. Tidak mau berfikir ulang, apa dan kenapa peristiwa itu lahir (bahasa sederhananya sebab-akibat).
Selain di rumah, dengan makanan yang mewah dan banyak (ntah siapa yang makan itu). Setelah itu di pasar (tradisional maupun modern/mall), ya ini sebenarnya bagus untuk menggerakkan ekonomi pasar, baik mikro maupun makro. Tetapi ketika melihat realitasnya, apakah ini yang kita pelajari dari puasa? Membeli secara berlebihan? Mari berfikir ulang tentang apa yang kita lakukan.
Belanjaan dengan keresek besar, tidak lupa membeli pakaian didalamnya. Pikir saya, ketika berfikir positif, mungkin pakaian lamanya tidak cukup karena badanya yang membesar. ketika berfikir negatif, mungkin dia tidak puas dengan model yang lama, mau berganti dengan model baru. Kira-kira mana yang betul ya?
“Sudah terlanjur beli baru nih, gimana dong?” kalau memang terjadi tidak ingin mengganti pakaian yang mengecil, atau bahasa sederhannya ingin mengganti model baru. Bisa meyumbangkan pakaian lamanya untuk orang-orang yang membutuhkannya, agar pakaian tersebut tetap bisa digunakan.
Berbicara tentang berbagi kepada yang membutuhkan. Dari sini saya bertanya lagi atas suatu fenomena yang sering kita temui. Ketika terdapat yang minta-minta (kebetulan dia ‘manusia kardus’ didaerah antilop jakarta timur). “Apakah dengan saya memberi memperbaiki keadaan dia dengan memberi?” bisa iya, bisa tidak.
Kenapa? Jika saja dia menggunakannya untuk hal-hal yang produktif atau yang menghasilkan suatu produk, maka sah-sah saja. Kalau dia menggunakannya dengan suatu yang sia-sia, maka kita akan memperburuk keadaan, dengan mendorong dia untuk konsumtif atau terlena dengan pemberian.
Lalu bagaimana memberi tahu dia untuk produktif? Ya, jawabanya besarnya dan singkatnya, dengan pendidikan. Berbicara pendidikan untuk masalah ini, memang hanya bisa berharap dengan pendidikan yang terdapat subsidi oleh pemerintah atau lembaga-lembaga yang memang fokus terhadap pendidikan. Tidak dengan pendidikan yang dibebaskan secara keuangan dalam bahasa lain merupakan liberalisasi pendidikan.
Dari membahas puasa berkaitan dengan menahan nafsu. Lalu makanan yang berlebihan. Terkahir, berbelanja dan berbagi, lalu pendidikan. Ada satu hal yang mengganjal berkaitan dengan pidato atau ceramah saat hari raya lebaran.
Pidato atau ceramah keagamaan, hanya dominan dengan doktrin-doktrin agama. Dalam perspektif lingkungan akademik, pidato atau ceramah, merupakan bentuk orasi/presentasi ilmiah baik itu hasil penelitian, tugas, atau tulisan riset nya.
Lalu pertanyaan kenapa tidak memasukan perspektif lingkungan akademik dalam pidato atau ceramah keagamaan? Sebagai pencemarah apakah dia telah melakukan riset terlebih dahulu ketika pidato atau ceramah keagamaan, baik itu secara metode kualitatif/kuantitatif atau riset pustaka buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan dan isu yang diangkat.
Satu lagi, dalam lingkungan akademik biasa dengan kritik dan pertanyaan atas argumen yang disampaikan. Sebagai penceramah dan pendengar keagamaan harus tahu akan hal itu, sehingga terjadi dialektika.
Dengan begitu, mimbar pidato atau ceramah keagamaan akan segar dengan ilmu-ilmu pengetahuan bukan hanya sekedar doktrin keagamaan.
Contoh saja, kemarin dalam pidato atau ceramah yang dibawakan ditempat ibadah saya mengenai ekonomi saat lebaran. Alangkah lebih baiknya, dia tidak hanya memberikan argumen pendukungnya dengan doktrin-doktrin ‘berbagi’ dalam agama, namun juga dari perspektif keilmuan ekonomi baik mikro maupun makro dalam hal ‘berbagi’.
Akhir kata, perwujudan sebagai ritual satu tahun sekali tidak hanya menjadi suatu perintah untuk melaksanakannya lalu diakhir merayakannya dengan melepas nilai-nilai yang seharusnya kita implementasikan (dengan perayaan pula), tetapi menjadi suatu perwudujan nilai yang diimplementasikan dikehidupan sehari-hari. Dengan begitu, Hakikat suci pada hari lebaran agaknya bisa terlaksana dibandingkan dengan realitas kita saat ini.