Rabu, April 16, 2025

Apakah Santet termasuk Tindakan Pidana di Indonesia?

Ahmad Fahmi
Ahmad Fahmi
Mahasiswa Aktif - S1 Hukum, UIN Jakarta
- Advertisement -

Di tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang kaya akan unsur budaya dan kepercayaan mistis, istilah “santet” bukanlah hal asing. Dalam percakapan sehari-hari, santet kerap dikaitkan dengan praktik-praktik gaib yang bertujuan mencelakai orang lain, baik melalui penyakit misterius, penderitaan mental, hingga kematian yang tak dapat dijelaskan oleh nalar medis. Bahkan, beberapa bentuk lain seperti gendam, guna-guna, hingga sirep pun sering dimasukkan ke dalam ranah santet karena memiliki benang merah yang sama: memanipulasi kenyataan dengan kekuatan non-fisik.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, santet adalah salah satu bentuk sihir. Tapi masyarakat kerap kali menafsirkannya lebih luas tidak hanya sekadar sihir dalam bentuk “ilusi” atau “sugesti”, melainkan sesuatu yang diyakini benar-benar dapat memanipulasi realitas secara konkret. Misalnya, cerita tentang korban yang ditemukan dengan paku di perutnya tanpa bekas luka luar, atau orang yang tiba-tiba mengikuti suara mistis ke tempat tertentu tanpa sadar.

Selama bertahun-tahun, praktik semacam ini memang dianggap berbahaya. Tapi ironisnya, dalam perspektif hukum positif Indonesia, perbuatan semacam itu sempat “tertolak secara yuridis” karena tidak memiliki dasar normatif yang kuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) lama. Akibatnya, masyarakat yang merasa menjadi korban kerap mengambil tindakan sendiri karena hukum tidak bisa menjangkaunya.

Kekosongan Hukum dan Bahaya “Main Hakim Sendiri”

Sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP baru, Indonesia sebenarnya menghadapi kekosongan hukum yang serius dalam menindak perbuatan-perbuatan berbau santet. Tidak adanya aturan pidana khusus yang mengatur tentang praktik-praktik magis semacam ini membuat banyak kasus berhenti di ruang spekulasi masyarakat. Ketika seseorang tiba-tiba sakit tanpa sebab, dan ada dukun yang “menunjuk” si A sebagai pelaku santet, maka si A bisa jadi korban penghakiman sosial, bahkan bisa dihakimi secara fisik oleh massa.

Inilah yang kemudian menjadi problem. Ketika hukum negara tidak bisa hadir sebagai pelindung rasa keadilan masyarakat, maka masyarakat cenderung mencari keadilan sendiri dengan cara mereka, walau itu artinya melakukan pelanggaran hukum lainnya. Maka dari itu, kehadiran Pasal 252 dalam KUHP baru menjadi semacam “jembatan hukum” antara dunia rasional (hukum positif) dan dunia irasional (kepercayaan mistis masyarakat).

Pasal 252 KUHP Baru: Menyentuh yang Tak Terjamah

Pasal 252 KUHP Baru adalah angin segar, walau belum tentu menyejukkan. Di dalamnya disebutkan bahwa:

  1. Setiap orang yang menyatakan dirinya memiliki kekuatan gaib, menawarkan jasa yang bisa menimbulkan penyakit, kematian, atau penderitaan fisik/mental terhadap orang lain, diancam pidana penjara maksimal 1 tahun 6 bulan atau denda maksimal Rp200 juta.
  2. Jika perbuatan itu dilakukan demi keuntungan, sebagai profesi, atau kebiasaan, maka pidananya ditambah sepertiga.

Pasal ini tak secara jelas menyebut “santet”, tapi frasa “menyatakan dirinya mempunyai kekuatan gaib” dan “menawarkan jasa” yang dapat mencelakai orang lain jelas merujuk pada praktik serupa. Yang menarik, penekanan pasal ini bukan pada efek dari santet itu sendiri apakah benar korban sakit atau meninggal karenanya tapi lebih pada perilaku menyatakan dan menawarkan jasa gaib kepada orang lain. Maka dari itu, pasal ini disebut sebagai delik formil, bukan delik materiil. Artinya, perbuatan pidana sudah dianggap terjadi saat pernyataan dan tawaran itu dilakukan, bukan saat korban benar-benar menderita akibatnya.

Tantangan Pembuktian: Di Mana Letak “Perbuatannya”?

Meski telah diatur, tantangan besar berikutnya ada pada soal pembuktian. Hukum pidana tidak bisa sekadar percaya pada cerita dari mulut ke mulut atau keyakinan masyarakat. Ia harus dibuktikan dengan alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, yakni:

  1. Keterangan saksi
  2. Keterangan ahli
  3. Surat
  4. Petunjuk
  5. Keterangan terdakwa

Masalahnya, bagaimana membuktikan “santet” dengan alat-alat bukti tersebut?

Misalnya, seorang korban merasa dirinya disantet setelah sakit parah secara misterius. Untuk melapor, korban harus mampu membuktikan bahwa seseorang benar-benar pernah menawarkan jasa gaib padanya atau kepada pihak lain yang berniat mencelakainya. Bisa jadi ada bukti rekaman percakapan, chat, atau kesaksian orang yang pernah mendengar pelaku mengaku bisa menyantet. Itu pun harus diverifikasi secara objektif, karena keterangan saksi saja tak cukup tanpa dukungan bukti lain.

- Advertisement -

Apalagi bila bicara soal keterangan ahli. Hingga kini, belum ada standar formal tentang siapa yang bisa disebut “ahli santet”. Yang paling mungkin adalah dokter forensik atau dokter radiologi yang menemukan benda asing dalam tubuh korban. Tapi itu pun belum tentu bisa dikaitkan langsung dengan “kekuatan gaib”.

Ketika Pengguna Jasa Melapor: Antara Penipuan dan Santet

Menariknya, pasal ini juga bisa digunakan oleh pengguna jasa santet yang merasa tertipu. Misalnya, seseorang datang ke dukun lalu membayar sejumlah uang untuk “menyantet” musuhnya. Namun ketika tidak terjadi apa-apa, ia merasa dirugikan dan melaporkan si dukun. Dalam konteks ini, pembuktian akan lebih mengarah pada tindak pidana penipuan. Maka alat bukti seperti kuitansi, bukti transfer, atau rekaman percakapan akan menjadi krusial.

Tapi persoalan moral juga muncul di sini: bagaimana mungkin seseorang yang mencoba mencelakai orang lain justru mengadukan pelaku yang dia sendiri cari jasanya? Di titik ini, hukum dituntut untuk bersikap objektif dan tetap memproses laporan sesuai hukum yang berlaku, tanpa mencampuradukkan pertimbangan etika dengan mekanisme penegakan hukum.

Kehadiran Pasal 252 KUHP Baru adalah upaya negara untuk mengatur sesuatu yang sebelumnya “diluar jangkauan hukum positif”. Tapi tentu saja, pasal ini masih menyisakan banyak ruang abu-abu, terutama dalam aspek pembuktian. Tidak mudah membuktikan bahwa seseorang memiliki kekuatan gaib, apalagi bila si pelaku tidak mengaku dan tidak ada alat bukti yang sahih.

Namun setidaknya, pasal ini menjadi tanda bahwa negara mulai menyadari pentingnya menjawab realitas sosial yang sudah terlalu lama dianggap “tidak bisa dijangkau hukum”. Ia mungkin tidak sempurna, tetapi ia bisa menjadi dasar bagi pengembangan hukum pidana di masa depan, baik lewat revisi, yurisprudensi, maupun interpretasi hakim.

Karena bagaimanapun, dalam masyarakat yang hidup berdampingan antara logika dan mistika, hukum tidak bisa terus menutup mata terhadap hal-hal yang diyakini nyata oleh sebagian besar rakyatnya. Santet mungkin tak bisa diukur secara empiris, tapi efek sosialnya begitu riil. Dan hukum dalam perjalanannya harus selalu relevan dengan realitas walau realitas itu tak selalu rasional.

Ahmad Fahmi
Ahmad Fahmi
Mahasiswa Aktif - S1 Hukum, UIN Jakarta
Facebook Comment
- Advertisement -

Log In

Forgot password?

Don't have an account? Register

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.